Apa Saja Sunnah Shalat? Pelajari Sunnah Ab’adh dan Hay’ah
Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.
Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib
Kitab Shalat
PENJELASAN SUNNAH AB’ADH
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,
وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان
Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.
Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi.
- Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
- Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir.
Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh
3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.”
Catatan:
– Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi.
– Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh.
– Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.
– Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
ِاللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Catatan:
– Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya.
– Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.
PENJELASAN SUNNAH HAY’AH
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,
ِوهيئاتها خمس عشرة خصلة رفع اليدين عند تكبيرة الإحرام وعند الركوع والرفع منه ووضع اليمين على الشمال والتوجه والاستعاذة والجهر في موضوعه والإسرار في موضوعه والتأمين وقراءة السورة بعد الفاتحة والتكبيرات عند الرفع والخفض وقول سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد والتسبيح في الركوع والسجود ووضع اليدين على الفخذين في الجلوس يبسط اليسرى ويقبض اليمنى إلى المسبحة فإنه يشير بها متشهدا والافتراش في جميع الجلسات والتورك في الجلسة الأخيرة والتسليمة الثانية.
Hay’at shalat ada lima belas:
1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk.
2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.
3. Tawajjuh, membaca doa iftitah.
4. Membaca ta’awudz.
5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya.
6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah).
7. Membaca surah setelah Al-Fatihah.
8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.
9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk.
10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal.
11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.
12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud.
13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat.
14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam.
15. Salam kedua.
Penjelasan
Pertama: Mengangkat kedua tangan
Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat:
- Ketika takbiratul ihram,
- Ketika turun rukuk,
- Ketika bangkit dari rukuk,
- Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga.
Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal.
Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud.
Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri.
Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN.
Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM.
Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat.
Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja.
Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371)
Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah
Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah.
Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah:
- Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua.
- Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad).
- Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail).
- Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas).
Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam:
Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah.
Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori:
- Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa.
- Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha.
- Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas.
Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu
Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392)
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan,
ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما
Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99)
Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat?
Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid).
Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali.
Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat.
Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim.
Catatan:
- Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir.
- Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri.
Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau.
Catatan:
- Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua.
- Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri.
Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk
Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.
Referensi:
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84.
–
Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com