Manajemen Qolbu

Apa Itu Syukur? Ini Arti Syukur Menurut Bahasa dan Istilah

Setiap hari kita menerima nikmat dari Allah, dari hal besar hingga yang paling remeh. Tapi tak semua orang mampu meresponsnya dengan sikap yang benar. Di sinilah pentingnya memahami apa itu syukur. Bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tapi sebuah sikap hidup yang lahir dari kesadaran dan pengakuan terhadap Sang Pemberi Nikmat.

 

Makna Syukur secara Bahasa

Dalam bahasa Arab, syukur (الشُّكر) berasal dari kata kerja syakara–yasykuru (شَكَرَ – يَشْكُرُ) yang berarti menyadari dan menampakkan nikmat. Dalam pengertian lain, syukur juga bermakna mengenali kebaikan yang diberikan lalu menyebarkannya. Lawan kata dari syukur adalah nukrān (النُّكران), yang berarti mengingkari. Ada juga yang mengatakan bahwa kata syukur berasal dari akar kata kasyar (الكشر) yang artinya membuka atau menyingkap. Maka makna dasarnya adalah menunjukkan nikmat yang sebelumnya tersembunyi. Lawannya adalah kufur (الكفر), yakni melupakan dan menutupi nikmat.

Secara lebih konkret, dalam penggunaan bahasa sehari-hari Arab, kata syukur juga digunakan untuk menggambarkan hewan ternak yang tubuhnya terlihat gemuk karena asupan pakan yang cukup. Misalnya dikatakan: syakirat ad-dābbah (شَكِرَتِ الدَّابَّة), artinya hewan itu memperlihatkan hasil dari pakan yang ia makan. Maka hewan yang disebut syakūr (شَكُور) adalah hewan yang tubuhnya memperlihatkan dengan jelas manfaat dari pemberian sang pemilik. Bahkan disebutkan bahwa makna asal syukur juga berkaitan dengan mata air yang penuh (‘ayn syakra / عَيْن شَكْرَى)—yakni penuh dan melimpah. Maka, secara kiasan, syukur berarti hati yang penuh dengan kesadaran dan pujian kepada Sang Pemberi Nikmat.

 

Makna Syukur secara Istilah

Para ulama memberikan definisi syukur dalam berbagai redaksi, namun memiliki inti yang sama:

قال الجَوهريُّ: (الشُّكرُ: الثَّناءُ على المحسِنِ بما أولاكَه من المعروفِ) .

Imam Al-Jauhariy menyebutkan bahwa syukur adalah pujian kepada orang yang berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.

وقال الكَفَويُّ: (الشُّكرُ: كُلُّ ما هو جزاءٌ للنِّعمةِ عُرفًا) .

Al-Kafawiy menjelaskan bahwa syukur adalah segala bentuk balasan atas nikmat menurut kebiasaan umum.

وقال الزَّجَّاجيُّ: (الشُّكرُ: مُقابلةُ المنعِمِ على فِعلِه بثناءٍ عليه، وقَبولٍ لنِعمتِه، واعترافٍ بها) .

Az-Zajjājiy mendefinisikannya sebagai membalas kebaikan dengan pujian, menerima nikmat dengan lapang dada, dan mengakuinya secara tulus.

وقال الجُرْجانيُّ: (الشُّكرُ: عبارةٌ عن معروفٍ يُقابِلُ النِّعمةَ، سواءٌ كان باللِّسانِ أو باليَدِ أو بالقَلبِ.

Al-Jurjāniy menuliskan bahwa syukur adalah balasan atas nikmat, bisa dengan ucapan, tindakan, atau dalam hati. Ada pula yang mendefinisikan sebagai pujian kepada pemberi kebaikan atas apa yang telah ia berikan.

Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah syukur kepada sesama manusia atas kebaikan yang mereka berikan, bukan syukur kepada Allah yang tentunya memiliki pembahasan lebih dalam dan agung.

 

Hamba yang Bersyukur atau Kufur

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Innā hadaynāhu as-sabīla immā syākiran wa immā kafūra.

Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan: 3)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim mengenai ayat ini:

“Dengan kata lain, manusia setelah diberi petunjuk oleh Allah, akan menentukan sendiri jalannya: menjadi hamba yang taat dan bersyukur, atau justru berpaling dan mengingkari nikmat Allah.

Makna ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ariy, bahwa beliau bersabda,

كلُّ الناسِ يَغْدو، فبائعٌ نفسَهُ فمعتقُها أو موبقُها

“Setiap manusia pergi di pagi hari, lalu ia menjual dirinya: ada yang membebaskannya (dengan kebaikan), dan ada yang mencelakakannya (dengan keburukan).”

(HR. Muslim)

Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah,

كلُّ مولودٍ يُولد على الفِطرة، حتى يُعْرِبَ عنه لسانُه، فإذا أعربَ عنه لسانُه، فإما شاكرٌ وإما كفورٌ

“Setiap anak yang lahir berada di atas fitrah, hingga lisannya dapat mengungkapkan (pilihannya). Ketika ia mulai berbicara, maka ia akan menjadi hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur.”

(HR. Ahmad dan lainnya)

Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur, dan jauhkan kami dari kufur terhadap nikmat-Mu.

 

Referensi:

 

____

 

@ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button