Muamalah

Matan Taqrib: Pengertian, Hukum, Hikmah, Rukun, Syarat, dan Fikih Wakaf

Kali ini kita masuk bahasan pengertian, hukum, hikmah, rukun, syarat, dan fikih wakaf, serta perbedaan antara wakaf dan sedekah biasa.

 

 

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

وَالوَقْفُ جَائِزٌ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ ، وَأَنْ يَكُوْنَ عَلَى أَصْلٍ مَوْجُوْدٍ وَفَرْعٍ لاَ يَنْقَطِعُ ، وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ فِي مَحْظُوْرٍ وَهُوَ عَلَى مَا شَرَطَ الوَاقِفُ مِنْ تَقْدِيْمٍ أَوْ تَأْخِيْرٍ أَوْ تَسْوِيَةٍ أَوْ تَفْضِيْلٍ.

Wakaf itu dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) barang yang diwakafkan bisa dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh, (2) barang yang diwakafkan sudah ada dan merupakan bagian yang tidak terpisah, (3) barang yang diwakafkan bukan untuk perkara yang diharamkan. Penggunaan harta wakaf harus mengikuti persyaratan orang yang mewakafkan; entah itu mendahulukan, menunda, menyamakan, atau melebihkan (pemberian wakaf kepada sebagian dari pihak yang menerima wakaf).

 

Penjelasan:

Pengertian wakaf

Wakaf adalah istilah dalam bahasa Arab. Wakaf secara bahasa berarti:

  • al-habs, yang artinya menahan. Seperti polisi menahan penjahat dan memasukkannya ke dalam penjara sehingga tidak bisa kembali melakukan aksinya.
  • al-man’u, yang artinya mencegah. Seperti seorang ibu mencegah anaknya main api agar tidak terbakar.
  • as-sukun, yang artinya berhenti atau diam. Seperti seekor unta diam dan berhenti dari berjalan.

Dalam ayat disebutkan,

وَقِفُوهُمْ ۖ إِنَّهُم مَّسْـُٔولُونَ

Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS. As-Saffat: 24)

Wakaf secara istilah berarti,

حَبْسُ مالٍ يُمْكِنُ الإِنْتِفَاعُ بِه مَعَ بَقَاءِ عَيْنهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ في رَقَبَتِهِ على مَصْرِفِ مُباحٍ

“Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya bersama keabadian bentuknya, untuk dibelanjakan pada hal-hal yang mubah dan ada.”

 

Hukum wakaf

Hukum wakaf adalah mustahab (sunnah) asalkan memenuhi syarat. Sedangkan penulis Matan Taqrib menyatakan bahwa hukum wakaf adalah mubah (boleh).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, no. 1631). Yang dimaksud dalam hadits ini, sedekah jariyah adalah wakaf. Inilah alasannya kenapa Ibnu Hajar Al-Asqalani memasukkan hadits ini dalam bahasan wakaf dalam Bulughul Maram. Karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi mohon petunjuk beliau tentang pengelolaannya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Yang menurut saya, saya belum pernah memiliki tanah yang lebih baik daripada tanah tersebut. Beliau bersabda,

إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

“Kalau engkau mau, kau tahan pohonnya dan sedekahkan buah (hasilnya).”

Perawi hadits berkata,

فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh jadi warisan. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta. (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 2772; Muslim, no. 1632).

Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang wakaf adalah ayat berikut,

لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

Arab-Latin: Lan tanālul-birra ḥattā tunfiqụ mimmā tuḥibbụn, wa mā tunfiqụ min syai`in fa innallāha bihī ‘alīm

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)

Mengenai ayat di atas bisa perhatikan kisah berikut ini.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia cintai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.”

Anas berkata, “Ketika turun ayat,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’ (Bi’ru Ha, sumur Ha). Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara.

Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai

 

Hikmah disyariatkannya wakaf

Hikmah disyariatkannya wakaf adalah:

  • membuka pintu kebaikan yang banyak dan pahala yang terus mengalir,
  • realisasi iman dengan mengeluarkan harta yang dicintai di jalan Allah (fii sabilillah) dan mengharap rida Allah
  • adanya kebutuhan mendesak agar harta yang diwakafkan terus menerus manfaatnya bagi wakif (yang mewakafkan) baik ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia,
  • agar barang yang diwakafkan terjaga dari kerusakan,
  • orang yang diserahkan wakaf menjaga amanah dan tidak menyia-nyiakan,

 

Perbedaan wakaf dan sedekah lain

  1. Harta yang diwakafkan adalah harta yang punya manfaat yang terus menerus. Sedangkan sedekah biasa, manfaatnnya langsung habis dipakai, itu umumnya.
  2. Manfaat wakaf itu pahalanya terus menerus. Selama harta wakaf masih dimanfaatkan, selama itu pula pahala akan didapat.
  3. Ada pengelola harta wakaf atau disebut nadzir wakaf yang diberikan amanah. Sedangkan sedekah lainnya, seperti zakat, infak, dan lainnya, tidak membutuhkan pengelola dalam arti yang bertanggung jawab untuk memelihara. Harta sedekah diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan harta tersebut.

 

Rukun wakaf

Rukun wakaf: (1) wakif, (2) mawquf ‘alaih (yang mengambil manfaat dari wakaf), (3) mawquf (harta yang diwakaf), (4) shighah

  • Syarat wakif/ waaqif: (1) atas pilihan sendiri, (2) diizinkan syariat untuk melakukan transaksi, maka wakaf tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang diboikot karena terlilit utang.
  • Syarat mawquf: (1) suatu benda, (2) sudah tertentu, tidak boleh majhul (tidak jelas), (3) dimiliki oleh wakif, (4) mawquf bisa dipindah (boleh berpindah dari satu pemilik ke pemilik lainnya), (5) bisa diambil manfaatnya, (6) bisa dimanfaatkan dan bentuknya terus ada (abadi), (7) pemanfaatan benda wakaf itu mubah (dibolehkan), berarti tidak ada wakaf dari alat musik, (8) tujuan pemanfaatannya tertentu.
  • Syarat mawquf ‘alaih: (1) tidak menggunakannya untuk maksiat, (2) sah memiliki
  • Syarat shighah: (1) lafaz yang menandakan wakaf, (2) tidak memakai waktu, (3) tidak menyebut ta’liq (syarat), (4) siapa yang diserahkan harus disebutkan.

 

Catatan: 

  • Menurut pendapat mu’tamad (pegangan madzhab Syafii), wakaf uang (dinar, dirham, dan mata uang saat ini) tidaklah sah sebagai wakaf. Karena uang itu bisa istihlaak (langsung habis) sebagaimana makanan. Karena barang wakaf tidak boleh untuk sewa.
  • Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa wakaf uang itu sah. Wakaf uang saat ini maksudnya adalah untuk investasi di mana uang wakaf menjadi ro’sul maal (modal). Uang wakaf yang jadi pokok tetap dipertahankan dan yang diambil adalah manfaatnya. Lihat bahasan dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 3:609.

 

Ada dua macam wakaf

  1. Wakaf dzurri atau wakaf ahli, yaitu wakaf kepada kerabat, anak, cucu, atau keturunan.
  2. Wakaf khairi, yaitu wakaf umum atau untuk maslahat umum seperti wakaf pada masjid, mujahid, sekolah, orang fakir, dan untuk ulama.

 

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
  • Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Daar Al-Qalam.

 

Diselesaikan 7 Jumadal Akhirah 1445 H, 19 Desember 2023 di perjalanan Panggang – Playen

Direvisi pada 9 Syawal 1445 H, Kamis pagi di Klaten

Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

2 Komentar

  1. rujukan Al-Quran dan haditsnya lengkap disertai surat dan ayat dan nomor hadits juga disebutkan di kitab apa

  2. artikelnya sangat mengena dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi kaum muslimin sehari-hari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button