Muamalah

Matan Taqrib: Memahami Akad Sewa Menyewa (Ijarah) dan Ju’alah

Akad ijarah dan ju’alah adalah akad yang kita jalani dalam kehidupan kita. Akad ijarah adalah akad sewa menyewa. Akad ju’alah adalah akad mengupahi ketika hasil yang diinginkan telah tercapai.

 

 

Akad Ijarah

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

أَحْكَامُ الإِجَارَةِ:

وَكُلُّ مَا أَمْكَنَ الاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ صَحَّتْ إِجَارَتُهُ إِذَا قُدِّرَتْ مَنْفَعَتُهُ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ: بِمُدَّةٍ أَوْ عَمَلٍ وَإِطْلاَقُهَا يَقْتَضِي تَعْجِيْلَ الأُجْرَةِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ التَّأْجِيْلُ وَلاَ تَبْطُلُ الإِجَارَةُ بِمَوْتِ أَحَدِ المُتَعَاقِدَيْنِ وَتَبْطُلُ بِتَلَفِ العَيْنِ المُسْتَأْجَرَةِ وَلاَ ضَمَانَ عَلَى الأَجِيْرِ إِلاَّ بِعُدْوَانٍ.

Segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh (tidak berubah), maka boleh menyewakannya jika manfaatnya itu ditentukan dengan salah satu perkara: dengan jangka waktu atau pekerjaan. Ongkos ijarah (sewa) harus dibayar segera, kecuali jika ada perjanjian untuk menangguhkan pembayaran ongkos sewa tersebut.

Ijarah tidak menjadi batal karena meninggalnya salah seorang di antara dua orang yang melakukan akad. Namun, ijrah itu batal karena rusaknya barang yang disewakan. Tidak ada tanggungan bagi si penyewa atas barang sewaan kecuali jika ia rusak karena kecerobohannya.

 

Penjelasan:

Ijarah secara bahasa adalah istilah untuk ujrah (upah).

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

 

Hukum ijarah

Hukum ijarah adalah boleh dengan beberapa syarat. Ijarah ini dibolehkan karena kebutuhan untuk memanfaatkan tempat, peralatan, dan lain sebagainya.

Tentang ijarah ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Bila mereka menyusui anak-anak mereka dari kalian dengan upah, maka bayarlah upah mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al-Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

Catatan:

  • Ijarah adalah jual beli jasa sehingga berlaku di dalamnya hukum jual beli.
  • Segala sesuatu yang boleh dimanfaatkan secara syari dan bendanya tetap, maka sah ijarahnya.

 

Rukun ijarah

Adapun rukun-rukun dalam Ijarah adalah sebagai berikut:

  1. ‘Aaqid atau orang yang menyewakan suatu barang (Mu’ajjir dan Musta’jir).
  2. Ma’quud ‘alaih, adanya upah (ujrah).
  3. Adanya shighah (ijab qabul).

 

Syarat ‘aaqid (mu’ajjir atau musta’jir)

Sama dengan syarat penjual dan pembeli. Dalam ijarah, orang kafir boleh melakukan akad dengan orang muslim, begitu pula sebaliknya.

 

Syarat shighah

Syarat ijab qabul sama dengan jual beli. Perbedaan antara ijarah dan jual beli adalah pada jual beli tidak ada batasan waktu.

 

Syarat sahnya ijarah

  1. Ijarah pada sesuatu yang ada manfaatnya.
  2. Tujuan pemanfaatannya jelas.
  3. Pemanfaatannya diketahui.
  4. Pemanfaatannya mubah (dibolehkan).
  5. Upah ijarah harus jelas.
  6. Yang disewakan tetap ada bentuknya, bukan sesuatu yang bisa musnah seperti pada makanan.
  7. Ada jangka waktu sewa atau sepanjang pekerjaan tertentu, misalnya: menyewa kamar sebulan atau ada yang diupahi selama menyusui.

 

Catatan:

  • Ijarah harus dengan syarat waktu tertentu, tidak bisa ijarah itu tanpa batasan waktu.
  • Asalnya upah ijarah itu segera ditunaikan, kecuali ada syarat penundaan.
  • Jika salah seorang dari yang berakad itu meninggal dunia atau keduanya meninggal dunia bersamaan, maka waktu sewa terus berlangsung hingga waktunya berakhir.
  • Orang yang menyewa sesuatu berarti memegang amanah. Maka ia tidak diperintahkan ganti rugi kecuali karena kecerobohannya.
  • Jika barang yang disewakan itu dijual, maka akad ijarah tidaklah batal. Begitu pula jika upahnya itu bertambah.

 

Akad ijarah itu batal dengan:

  1. Barang yang disewakan rusak atau musnah.
  2. Jika sudah disewakan, tetapi barang yang disewakan belum diserahterimakan.
  3. Barang yang disewakan sudah dikembalikan karena adanya aib atau ada uzur untuk memanfaatkannya.

 

Catatan:

  • Akad ijarah adalah akad mu’awadhoh (cari untung), boleh dipindahkan pada yang lain. Dua orang yang berakad tidak boleh membatalkan kecuali ada uzur.

 

Ada dua akad yang mesti dibedakan:

  1. Akad Ju’alah: mempersyaratkan hasil kemudian mendapatkan upah. Jadi, apabila tidak mendapatkan hasil, maka tidak boleh dapat upah.
  1. Akad Ijarah: jasa dengan bentuk yang jelas, waktu, jasanya, dan upah yang jelas, meskipun tidak dapat hasil.

 

Akad Ju’alah

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

أَحْكَامُ الجُعَالَةِ:

وَ الجُعَالَةُ جَائِزَةٌ : وَهُوَ أَنْ يَشْتَرِطَ فِي رَدِّ ضَالَّتِهِ عِوَضاً مَعْلُوْماً فَإِذَا رَدَّهَا اسْتَحَقَّ ذَلِكَ العِوَضَ المَشْرُوْطَ.

Ju’alah itu diperbolehkan. Misalnya, seseorang mensyaratkan pemberian hadiah tertentu jika ada yang orang yang bisa mengembalikan untanya yang hilang. Jika seseorang mengembalikannya, maka dia berhak mendapatkan hadiah yang disyaratkan tersebut.

 

Penjelasan:

Secara bahasa, ju’alah berarti sesuatu yang dijadikan pada manusia untuk mengerjakan sesuatu.

Secara syari, ju’alah berarti akad yang mengharuskan adanya imbalan yang diketahui secara umum atas pekerjaan yang sudah maklum atau majhul (tidak diketahui atau sukar diketahui).

Dalil tentang ju’alah adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada sekelompok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta agar dilayani sebagai tamu, tetapi akhirnya mereka tidak dilayani. Tiba-tiba ketika ada tokoh kaumnya yang kena sengatan binatang. Ada sahabat nabi yang meruqyahnya dengan membacakan surah Al-Fatihah dengan syarat ia mendapatkan imbalan satu bagian dari domba. Akhirnya tokoh tersebut sembuh dan ia pun mendapatkan imbalan yang disyaratkan tadi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikabarkan hal ini. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bagian dari domba tadi. (HR. Bukhari, no. 5736 dan Muslim, no. 2201).

Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu membacakan Al-Fatihah sebanyak tiga kali. Lantas yang sakit itu sembut dengan izin Allah. Lantas ia mendapatkan imbalan 30 domba dan saat itu jumlah sahabat itu juga 30 orang.

Juga dalil lainnya ada dalam surah Yusuf di mana disebutkan dalam ayat,

قَالُوا۟ نَفْقِدُ صُوَاعَ ٱلْمَلِكِ وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٌ

Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.” (QS. Yusuf: 72)

Catatan: Ju’alah itu dibolehkan karena manusia itu membutuhkannya.

 

Rukun ju’alah

  1. ‘Amal (adanya pekerjaan)
  2. Ju’al (adanya imbalan)
  3. ‘Aaqid (yang melakukan akad)
  4. Shighah (adanya ijab dan qabul)

Syarat yang berakad

  1. Dengan pilihan sendiri, tidak boleh paksaan.
  2. Orang yang melakukan adalah yang dibolehkan melakukan akad.
  3. Orang yang melakukan mengetahui pekerjaannya.
  4. Pekerjaannya tertentu.

Syarat ‘amal

  1. Ada beban pekerjaan.
  2. Tidak ada ta’yin secara syari.
  3. Tidak dibatasi waktu.

Ju’al (reward) adalah yang disyaratkan dalam upah. Yang tidak sah sebagai upah seperti sesuatu yang naji, maka tidak sah menjadi ju’al (reward).

Jika ‘aamil berhasil mengembalikan barang yang hilang kepada pemiliknya, maka ju’al (reward) berhak ia dapatkan.

 

Catatan:

  1. Akad ju’alah boleh pada sesuatu yang pekerjaan yang belum jelas, yang penting upahnya jelas.
  2. Ju’alah adalah akad tidak lazim, boleh dibatalkan sebelum sempurnanya akad. Jika akad dibatalkan setelah akad dimulai, maka ‘aamil mendapatkan ujroh mitsl (upah semisal).
  3. Jika ada yang rusak di tangan ‘aamil, maka tak perlu ada dhaman (ganti rugi).

 

Baca Juga:

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.

 

Ditulis pada Sabtu sore, 16 Safar 1445 H, 2 September 2023 di Ponpes Darush Sholihin

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button