Thoharoh

Matan Taqrib: Cara Mencuci Najis Kencing Bayi dan Najis yang Dimaafkan

Bagaimana cara mencuci najis? Mana saja najis yang dimaafkan?

 

 

Cara Mencuci Najis Kencing Bayi

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,

وَغُسْلُ جَمِيْعِ الأَبْوَالِ وَالأَرْوَاثِ وَاجِبٌ إِلاَّ بَوْلَ الصَّبِيِّ الَّذِي لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ فَإِنَّهُ يَطْهُرُ بِرَشِّ المَاءِ عَلَيْهِ.

Mencuci semua kencing dan kotoran adalah wajib kecuali kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan. Membersihkannya cukup dengan memercikkan air ke bagian yang kena.

Penjelasan:

  • Hukum menghilangkan najis adalah wajib ketika ingin menjalankan shalat.
  • Alat untuk bersuci asalnya adalah air.
  • Kencing anak kecil yang belum mengonsumsi makanan itu dihukumi najis. Cara menyucikannya adalah dengan memercikkan air padanya dengan syarat: (a) anak kecil ini adalah anak laki-laki, (b) anak laki-laki ini belum mencapai usia dua tahun, (c) anak laki-laki tersebut belum mengonsumsi makanan dan belum meminum air sebagai asupan makanan pokok (tujuan at-taghazzi).
  • Hal ini dikecualikan untuk makanan anak kecil berupa susu, walaupun susu itu bukan dari ibunya, dengan catatan belum ditambahkan bahan lain seperti gula. Jika susu tersebut sudah dicampuri gula, maka hukum kencingnya sama dengan kencing orang dewasa.
  • Obat yang dikonsumsi bayi juga belum dihukumi sebagai makanan pokok (tujuan at-taghazzi).
  • Tahnik saat bayi lahir juga belum dihukumi sebagai makanan pokok (tujuan at-taghazzi).
  • Kencing bayi perempuan haruslah dicuci, tidak bisa diperciki saja.
  • Memerciki ini terlebih dahulu dengan menghilangkan sifat najis sebagaimana najis lainnya. Yang harus dilakukan adalah menekan tempat kencing atau yang kering hingga tidak tersisa sesuatu yang basah secara terpisah. Hal ini berbeda jika yang basah itu tidak terpisah. Lihat Hasyiyah Al-Baajuri, 1:434.

Dalam hadits Abu Samh, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan bayi laki-laki diperciki.” (HR. Abu Daud, no. 376 dan An-Nasa’i, no. 305. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Baca juga:

 

Najis yang Dimaafkan dari Darah dan Nanah

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,

وَلاَ يُعْفَى عَنْ شَيْءٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ إِلاَّ اليَسِيْرَ مِنَ الدَّمِ وَالقَيْحُ وَمَا لاَ نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ إِذَا وَقَعَ فِي الإِنَاءِ وَمَاتَ فِيْهِ فَإِنَّهُ لاَ يُنَجِّسُهُ.

Tidak ada maaf untuk benda najis apa pun kecuali setetes darah dan nanah serta bangkai kecil yang tidak memiliki darah mengalir. Apabila binatang tersebut jatuh ke dalam bejana, makai a tidak membuatnya najis.

Penjelasan:

  • Berkat rahmat Allah, darah dan nanah yang sedikit dimaafkan. Patokan sedikit ini tergantung pada ‘urf. Hal ini juga berlaku untuk nanah dari bisul atau luka.
  • Hewan kecil yang darahnya tidak mengalir ketika terluka atau mati, seperti lalat dan kutu, maka dimaafkan karena dianggap yasiiroh (sedikit).
  • Jika hewan kecil kecil seperti lebah, lalat, atau kutu yang jatuh ke wadah dengan sendirinya dalam keadaan hidup atau sudah mati, maka status air tidaklah berubah, tetap suci. Adapun jika hewan kecil tadi dijatuhkan ke air dan dalam keadaan sudah mati, maka hewan tersebut menajiskan air walau sekadar masuk.

Baca juga:

 

Najis yang dimaafkan

  1. Ulat yang ada pada buah, cuka, atau keju.
  2. Yang tidak terlihat oleh mata normal.
  3. Kotoran ikan di air selama tidak mengubah air.
  4. Kotoran burung dengan syarat: (a) tidak sengaja berdiri di kotoran tersebut, (b) sulit dihindari.
  5. Asap atau uap yang najis dan debunya.
  6. Air liur yang keluar dari mulut orang yang tidur (ngiler) jika terkena manusia walaupun banyak, dimaafkan.
  7. Tali jemuran karena matahari membuatnya kering dan menyucikannya.

Baca juga: Berbagai Najis yang Dimaafkan

 

Catatan:

Air yang digunakan untuk mencuci najis dari badan dan pakaian jika terpisah lantas air tersebut tidak berubah warna, bau, atau rasa, atau timbangannya bertambah, maka air tersebut suci pada dirinya, lalu jika air itu lebih dari dua qullah (sekitar 200 L), maka air itu suci dan bisa menyucikan yang lain. Namun, jika air tersebut berubah, maka air tersebut dihukumi najis. Air ini disebut al-maau al-ghasaalah.

Baca juga:

 

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
  • Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.

 

 

Ditulis saat perjalanan Gunungkidul – Jogja, 24 Rabiul Awal 1444 H, 20 Oktober 2022

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button