Thoharoh

Bulughul Maram Tentang Air (Bahas Tuntas)

Kali ini adalah bahasan tuntas dari Kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Kitab Thaharah (Bersuci), Bab Air. Ini adalah bahasan ringkas dengan bersumber dari syarh para ulama terutama dari Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram karya Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dan Syarh Ringkas Bulughul Maram karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Kitab Bulughul Maram

كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ

بَابُ اَلْمِيَاهِ

KITAB BERSUCI

BAB AIR

 

SUCINYA AIR LAUT

HADITS KE-1


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- فِي اَلْبَحْرِ: – هُوَ اَلطَّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ,وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang (air) laut, “Air laut itu suci dan menyucikan, bangkainya pun halal.” (Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Abi Syaibah. Lafaz hadits menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah dan dianggap sahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi’i, dan Ahmad juga meriwayatkannya). [HR. Abu Daud, no. 83; Tirmidzi, no. 69; An-Nasai, 1:50; Ibnu Majah, no. 386. Hadits ini sahih, perawinya terpercaya. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:26-27].

 

Faedah hadits

  1. Air laut itu suci dan menyucikan.
  2. Air laut bisa mengangkat hadats besar dan hadats kecil.
  3. Air laut bisa menghilangkan najis.
  4. Bangkai hewan yang hidup di laut adalah halal.

 

HUKUM ASAL AIR ADALAH SUCI

HADITS KE-2

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلىالله عليه وسلم – – إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ – أَخْرَجَهُ اَلثَّلَاثَةُ  وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya (hakikat) air adalah suci dan menyucikan, tak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.” (Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai sahih oleh Ahmad). [HR. Abu Daud, no. 66; Tirmidzi, no. 66; An-Nasai, 1:174; Ahmad, 17:190. Hadits ini sahih karena memiliki penguat atau syawahid. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:29].

 

Faedah hadits

  1. Setiap air itu suci. Alif laam pada kata al-maa’u adalah alif laam istighraqiyyah, menunjukkan makna umum, artinya semua.
  2. Ini adalah hadits tentang sumur budho’ah, yang tempatnya itu rendah sehingga kotoran seperti kain untuk pembalut darah haidh pun masuk di situ.
  3. Hukum asal air adalah suci, bisa berubah dari kesucian jika diketahui najisnya.

 

HUKUM AIR JIKA BERTEMU NAJIS

HADITS KE-3

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ – صلى الله عليهوسلم – – إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ  وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ

Dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat mengubah bau, rasa, atau warnanya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim). [HR. Ibnu Majah, no. 521; Ad-Daruquthni, 1:28; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 8:123. Hadits ini dhaif. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:32].

 

HADITS KE-4

وَلِلْبَيْهَقِيِّ: – اَلْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ;بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ –

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, “Air itu suci dan menyucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya, atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya.” [HR. Al-Baihaqi, 1:259. Ia mengatakan bahwa hadits ini tidaklah kuat].

 

Faedah hadits

  1. Para ulama sepakat bahwa air sedikit ataukah banyak jika kemasukan najis lantas berubah rasa, warna, atau bau, air tersebut dihukumi najis. Demikian kata Ibnul Mundzir sebagaimana dalam Al-Awsath, 1:260.
  2. Dari hadits ini disimpulkan bahwa air itu ada dua macam: air suci dan air najis.
  3. Air suci adalah air yang berada dalam bentuk aslinya seperti air sumur dan air laut.
  4. Air najis adalah air yang berubah karena kemasukan najis, baik terjadi perubahan yang banyak ataukah sedikit, baik terjadi percampuran ataukah tidak. Jika air kemasukan najis namun tidak berubah salah satu dari tiga sifat (rasa, warna, bau), air itu dihukumi suci. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya.

 

AIR DUA QULLAH (KULAH)

HADITS KE-5

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّىعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: – إِذَا كَانَ اَلْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ: – لَمْ يَنْجُسْ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ. وَابْنُ حِبَّانَ

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika banyaknya air telah mencapai dua qullah (kulah) maka ia tidak mungkin mengandung najis.” Dalam suatu lafaz hadits, “(Jika air telah mencapai dua kulah), tidaklah najis.” (Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 63; Tirmidzi, no. 67; An-Nasai, 1:75:46; Ibnu Majah, no. 517. Hadits ini adalah hadits yang sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:36].

Keterangan: Air dua qullah adalah air seukuran 200 L. Gambarannya air tersebut bervolume, 1 m x 1 m x 20 cm.

 
Faedah hadits

  1. Air banyak adalah air yang telah mencapai dua qullah. Air sedikit adalah air yang kurang dari dua qullah.
  2. Jika air banyak kemasukan najis lantas berubah, air tersebut dihukumi najis.
  3. Jika air sedikit kemasukan najis, walau hanya sekadar bertemu saja, dihukumi najis, baik ada perubahan ataukah tidak.

Tiga faedah di atas adalah pendapat dalam madzhab Syafii. Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:34-35.

 

HUKUM KENCING DI AIR YANG TERGENANG

HADITS KE-6

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – – لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ – أَخْرَجَهُمُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub.” (Dikeluarkan oleh Muslim). [HR. Muslim, no. 283]

وَلِلْبُخَارِيِّ: – لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ –

Menurut riwayat Imam Bukhari, “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian kencing dalam air yang tergenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.” [HR. Bukhari, no. 239]


وَلِمُسْلِمٍ: “مِنْهُ”

وَلِأَبِي دَاوُدَ: – وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ –

Menurut riwayat Muslim disebutkan, “(kemudian dia mandi) darinya.” [HR. Muslim, no. 282]

Dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Janganlah seseorang mandi junub di dalamnya.” [HR. Abu Daud, no. 70]

 

Faedah hadits

  1. Dilarang mandi junub di air yang tergenang.
  2. Mandi junub dari air yang tergenang, di mana ia mengambil air dengan wadah, atau dengan tangan, tidaklah termasuk dalam larangan ini.
  3. Dilarang kencing di air yang tergenang.
  4. Boleh kencing di air yang mengalir selama tidak memudaratkan orang lain.

 

LARANGAN LAKI-LAKI MANDI DENGAN BEKAS PEREMPUAN

HADITS KE-7

وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – “أَنْ تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ, أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ, وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَالنَّسَائِيُّ, وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Ada seorang laki-laki yang merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan. Namun, hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air bersama-sama. (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i, dan sanadnya sahih) [HR. Abu Daud, no. 81 dan An-Nasa’i, 1:130. Hadits ini sanadnya sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:46].

 

Faedah hadits

  1. Hukumnya makruh bila laki-laki mandi dari bekas perempuan dan sebaliknya, apalagi jika masih ada air yang banyak.
  2. Jika ada kebutuhan, tidak jadi masalah laki-laki mandi dari bekas perempuan.
  3. Yang dianjurkan adalah mandi berbarengan antara suami-istri.

Baca Juga: Bolehkah Air Musta’mal Digunakan untuk Bersuci?

DALIL BOLEHNYA MANDI DARI BEKAS ISTRI

HADITS KE-8

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah mandi dari air sisa Maimunah radhiyallahu ‘anha. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim) [HR. Muslim, no. 323]

 

HADITS KE-9

وَلِأَصْحَابِ “اَلسُّنَنِ”: – اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فِي جَفْنَةٍ, فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا, فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا, فَقَالَ: “إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُجْنِبُ” – وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Menurut para penyusun kitab Sunan, sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya, “Sesungguhnya aku tadi junub.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub.” (Hadits sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah). [HR. Abu Daud, no. 68; Tirmidzi, no. 65; An-Nasa’i, 1:173; Ibnu Majah, no. 370; Ibnu Khuzaimah, 1:57; Al-Hakim, 1:159. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih dalam bab thaharah, walaupun tidak dikeluarkan Bukhari-Muslim, tidak diketahui ada ‘illah atau cacat dalam hadits ini.Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:49].

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini dan hadits sebelumnya menunjukkan bolehnya seseorang mandi dengan air bekas istrinya. Mandi seperti ini tidak berpengaruh pada kesucian air. Karena air tidaklah jadi najis kala itu.
  2. Larangan dalam hadits sebelumnya dimaknai makruh, bukanlah haram.

 

CARA MEMBERSIHKAN NAJIS ANJING

HADITS KE-10

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

وَفِي لَفْظٍ لَهُ: – فَلْيُرِقْهُ –

وَلِلتِّرْمِذِيِّ: – أُخْرَاهُنَّ, أَوْ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ –

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sucinya tempat air seseorang di antara kalian jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan tanah.” (Dikeluarkan oleh Muslim). [HR. Muslim, no. 279, 91]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Hendaklah ia membuang air itu.”

Menurut riwayat Tirmidzi, “Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan tanah).” [HR. Tirmidzi, no. 91]

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menunjukkan najisnya anjing.
  2. Wajib menyucikan jilatan anjing sebanyak tujuh kali.
  3. Najis anjing itu najis berat (mughallazhoh).
  4. Wajib menyucikan dengan tanah bersama air.
  5. Air yang dijilati anjing dalam wadah dihukumi najis karena air tersebut diperintahkan untuk dibuang.

 

SUCINYA BEKAS MINUM ATAU MAKAN DARI KUCING

HADITS KE-11

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ-فِي اَلْهِرَّةِ-: – إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ, إِنَّمَا هِيَ مِنْ اَلطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ. وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda perihal kucing bahwa kucing itu tidaklah najis, ia termasuk hewan yang berkeliaran di sekitar kalian. (Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap sahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah). [HR. Abu Daud, no. 75; An-Nasai, 1:55, 178; Ibnu Majah, no. 367; Ibnu Khuzaimah, no. 104. Hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:60].

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menunjukkan bahwa mulut kucing itu suci.
  2. Bekas makan dan minum kucing itu suci.
  3. Berwudhu dari bekas minum kucing itu sah.
  4. Seluruh tubuh kucing itu suci, kecuali untuk kotoran dan kencingnya tetap dihukumi najis sebagaimana hewan yang haram dimakan lainnya.
  5. Setiap hewan yang biasa berkeliaran di tengah manusia dan sulit dihindari keberadaannya, maka dihukumi suci. Para ulama menyamakan kucing di sini dengan keledai yang di masa silam dijadikan sebagai kendaraan.

Baca Juga: Apakah Kotoran Kucing itu Najis?

CARA MEMBERSIHKAN TANAH YANG TERKENA KENCING

HADITS KE-12

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِيطَائِفَةِ اَلْمَسْجِدِ, فَزَجَرَهُ اَلنَّاسُ, فَنَهَاهُمْ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ;فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang badui datang kemudian kencing di sudut masjid, maka orang-orang berkata keras padanya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di bekas kencing tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi) [HR. Bukhari, no. 219, 221 dan Muslim, no. 284]

 

Faedah hadits

  1. Tanah atau lantai jika terkena najis menjadi suci dengan disiramkan air, walaupun tidak berulang kali disiram.
  2. Diperintahkan segera membersihkan masjid dari najis.
  3. Hendaknya bersikap lemah lembut pada orang yang tidak tahu.
  4. Jika dua keburukan bertabrakan, yang dilakukan adalah memilih keburukan yang lebih ringan. Kencing di masjid itu suatu keburukan. Namun, menegur orang yang kencing seperti itu punya dampak jelek begitu besar yaitu: (1) sulit memutus kencing begitu saja, (2) pakaian akan ikut terkena najis, (3) tempat yang dikencingi akan lebih meluas.

 

IKAN DAN BELALANG JIKA MATI DAN MASUK DALAM AIR

HADITS KE-13

وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – – أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ, فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ, وَأَمَّا الدَّمَانُ: فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَفِيهِضَعْفٌ

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan). [HR. Ahmad, 10:15; Ibnu Majah, no. 3218, 3314; Ad-Daruquthni, 4:271; Al-Baihaqi, 1:254. Hadits ini hasan. Haditsnya mauquf, hanya sebatas perkataan sahabat, tetapi dihukumi marfu’, sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kata Ibnul Qayyim. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:68-69].

 

Faedah hadits

  1. Bangkai itu haram kecuali bangkai ikan dan belalang.
  2. Bangkai hewan air itu halal.
  3. Hati dan jantung itu bagian dari darah, tetapi dihalalkan.
  4. Jika ikan dan belalang mati dalam air, air tersebut tidak jadi najis, baik airnya sedikit ataukah banyak. Seandainya terjadi perubahan rasa, warna, atau baunya, air tersebut tidak jadi najis karena berubahnya dengan sesuatu yang suci, bukan sesuatu yang najis.

 

LALAT TIDAKLAH MENAJISKAN AIR ATAU SELAINNYA KETIKA TERJATUH DI DALAMNYA

HADITS KE-14

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا وَقَعَ اَلذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ, ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ, فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً, وَفِي اَلْآخَرِ شِفَاءً – أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ

وَأَبُو دَاوُدَ, وَزَادَ: – وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ اَلَّذِي فِيهِ اَلدَّاءُ –

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian, maka benamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawar.” (Dikeluarkan oleh Bukhari). [HR. Bukhari, no. 3320]

Juga dikeluarkan oleh Abu Daud dan ada tambahan, “Hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya.” [HR. Abu Daud, no. 3844]

 

Faedah hadits

  1. Lalat itu suci, termasuk bangkainya. Lalat tidak menajiskan makanan, minuman, dan air ketika lalat tersebut jatuh.
  2. Diperintahkan untuk membenamkan lalat secara keseluruhan, lalu lalat tersebut dibuang.
  3. Diterangkan dalam hadits bahwa di salah satu sayap ada penyakit, sayap lainnya ada penawar.
  4. Makanan atau minuman yang dicelupkan lalat tadi apakah harus dilanjutkan untuk dimakan atau diminum? Jawabannya, tidak harus.
  5. Setiap hewan yang darahnya tidak mengalir ketika jatuh pada makanan atau minuman, maka tidak menajiskannya.
  6. Setiap hewan yang darahnya mengalir, bangkainya itu najis.

Baca Juga: Hanya Karena Sesaji Lalat, Akhirnya Masuk Neraka

SEGALA SESUATU YANG TERPOTONG DARI HEWAN KETIKA HIDUP DIHUKUMI BANGKAI

HADITS KE-15

وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اَللَّيْثِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – – مَا قُطِعَ مِنْ اَلْبَهِيمَةِ -وَهِيَ حَيَّةٌ- فَهُوَ مَيِّتٌ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَاللَّفْظُ لَهُ

Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Anggota yang terputus dari hewan yang masih hidup termasuk bangkai.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, beliau menyatakannya sahih. Lafaz hadits ini menurut Tirmidzi). [HR. Abu Daud, no. 2858; Tirmidzi, no. 1480. Hadits ini hasan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:76].

 

Faedah hadits

  1. Jika bangkai yang dimaksudkan dalam hadits masuk dalam air, bangkai tersebut akan menajiskannya. Ini berlaku pada hewan yang bangkainya itu najis. Hal ini tentu berbeda untuk bangkai yang suci seperti pada ikan dan belalang.
  2. Yang terpotong dari hewan yang masih hidup dihukumi najis.
  3. Dikecualikan yang terpotong di sini adalah rambut dan bulu yang terpotong (lepas) dari pokoknya, dihukumi suci.

 

REFERENSI

  1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Cetakan kesepuluh, Tahun 1430 H. Dr. Musthafa Al-Khin, Dr. Musthafa Al-Bugha, ‘Ali Asy-Syarbaji. Penerbit Darul Qalam.
  2. Asy-Syarh Al-Mukhtashar ‘ala Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
  3. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Baca Juga:

Direvisi ulang di Darush Sholihin, Sabtu siang, 21 Syawal 1441 H (13 Juni 2020)

Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Video Bahasan Bulughul Maram Kitab Thaharah tentang Air:

 

 

Silakan download PDF Bulughul Maram Thaharah, Tentang Air:

Artikel yang Terkait

4 Komentar

  1. Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barokatuh ustadz, ini yang juga dijadikan untuk kajian di masjid STPN itu ya? Yang di-posting di website kajian. Net

    Saya ingin menyimak kajiannya, namun saya tidak tau kitab yang jadi rujukan, namun setelah saya baca ini, sepertinya mirip dengan kajian yang ustadz sampaikan di audio tersebut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button