Masalah Garis Shaf
Sebagian kalangan menganggap bahwa membuat garis shaf sebagai petunjuk agar shaf shalat jama’ah itu sebagai amalan yang tak ada tuntunan (alias: bid’ah). Sampai terjadi crash di sebagian masjid karena mempermasalahkan hal ini. Dan sebagian ulama menganggap seperti ini tidaklah masalah sehingga tidak perlu diributkan jika memang asalnya adalah perkara ijtihadiyah.
Hukum Meluruskan Shaf
Jumhur ulama (mayoritas) berpandangan bahwa hukum meluruskan shaf adalah sunnah. Sedangkan Ibnu Hazm, Imam Bukhari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy Syaukani menganggap meluruskan shaf itu wajib. Dalil kalangan yang mewajibkan adalah berdasarkan riwayat An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
“Hendaknya kalian meluruskan shaf kalian atau tidak Allah akan membuat wajah kalian berselisih.” (HR. Bukhari no. 717 dan Muslim no. 436). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta membuat hati kalian berselisih.” (Syarh Muslim, 4: 157)
Perintah untuk meluruskan shaf juga disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskanlah shaf karena lurusnya shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433). Dalam riwayat Bukhari dengan lafazh,
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
“Luruskanlah shaf karena lurusnya shaf merupakan bagian dari ditegakkannya shalat.”
Masalah Garis Shaf
Asalnya garis shaf yang kita kaji adalah boleh. Alasannya adalah:
1- Dalil dari hadits Anas bin Malik,
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّى أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى » . وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, aku melihat kalian dari belakang punggungku.” Lantas salah seorang di antara kami melekatkan pundaknya pada pundak temannya, lalu kakinya pada kaki temannya.” (HR. Bukhari no. 725). Inilah usaha yang dilakukan sahabat guna meluruskan shaf. Hal ini bisa diqiyaskan (dianalogikan) dengan garis shaf.
2- Garis shaf hanyalah wasilah (perantara), bukan tujuan. Dalam masalah wasilah ada kelonggaran. Maka sah-sah saja kita merekam khutbah atau kajian, juga mencetak berbagai kitab walau tidak ada dalil khusus yang mendasari hal ini. (Lihat Fiqh An Nawazil fil ‘Ibadaat, Syaikh Dr. Kholid Al Musyaiqih, hal. 104-105)
Fatwa Ulama yang Membolehkan Garis Shaf
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) ditanya, “Apa hukum menaruh garis di atas alas atau sajadah di masjid. Dikarenakan kiblat sedikit melenceng dengan maksud untuk mengatur shaf?” Jawaban para ulama Lajnah, “Hal itu tidaklah masalah. Kalau mereka shalat tanpa garis juga tidak mengapa. Karena sedikit miring tidaklah masalah.” [Yang menandatangani fatwa: Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 6: 315]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Bid’ah adalah beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa tuntunan. Dari sini, maka perkara selain ibadah tidaklah disebut bid’ah. Bahkan perkara baru dalam masalah dunia dilihat apakah termasuk halal atau haram, bukan disebut bid’ah ataukah bukan. Sehingga bid’ah menurut istilah syar’i adalah seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa ada tuntunan. Inilah yang dinamakan bid’ah dari sisi agama. Sementara bid’ah dalam masalah dunia, sesungguhnya ia meskipun dinamakan bid’ah menurut bahasa Arab, namun bukan bid’ah yang dimaksudkan dalam istilah syar’i. Dalam artian ia tidak dihukumi dengan dengan pengharaman atau penghalalan, tidak juga wajib atau sunnah melainkan kalau ada dalil-dalil agama akan hal itu.
Dari sini, sesuatu yang baru pada masa kini sebagai wasilah untuk mendekatkan dalam merealisasikan ibadah kita, tidak dikatakan ia adalah bid’ah meskipun dahulu belum ada. Di antaranya adalah pengeras suara. Pengeras suara dahulu belum ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi baru muncul akhir-akhir ini. Akan tetapi, ada kemaslahatan agama di balik itu, yaitu untuk menyampaikan shalat imam, bacaan imam dan khutbahnya kepada orang. Begitu juga pengeras suara sangat manfaat dalam perkumpulan pengajian, ada kebaikan dan kemaslahatan untuk kita. Ini adalah suatu kebaikan. Sehingga pembeliannya untuk masjid dengan tujuan seperti ini dari urusan agama, pemiliknya akan diberi pahala.
Termasuk pula apa yang terjadi pada akhir-akhir ini di masjid kita ada garis shaf untuk meluruskan shaf. Meskipun ini baru, akan tetapi sebagai sarana untuk urusan yang dianjurkan. Maka hal itu diperbolehkan dan dianjurkan untuk suatu maksud. Tidak sama lagi bagi orang-orang, dahulu para imam sangat menjaga untuk meluruskan shaf mengeluhkan sebelum adanya garis-garis ini. Dahulu mengeluhkan banyak masalah, kalau seseorang maju sedikit, mereka mengatakan ke belakang sedikit. Kalau ada yang terlalu ke belakang, mereka mengatakan agak maju, terasa sangat melelahkan. Sekarang alhamdulillah, imam mengatakan, “Luruskan shaf-shaf kamu semua (sesuai) dengan garis, paskan ditengah, sehingga dapat konsisten dalam meluruskan shaf.” Ini adalah bid’ah dari karena baru dimunculkan. Akan tetapi bukan bid’ah dari sisi agama karena garis shaf adalah wasilah untuk lurusnya shaf. [Fatawa Nuur ‘Ala Ad-Darb dinukil dari Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 93615]
Wallahul muwaffiq.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 21 Shafar 1434 H
Baca Juga:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh
Tarik dia sbg isyarat untk merapat.
Assalamu’alaikum Ustadz, saat kita sedang shalat berjamaah di mesjid, lalu datang masbuk yg shalat disebelah kita saat shalat masih berlangsung, namun dia tidak merapatkan shafnya denga kita, bagaimana reaksi kita sebaiknya ustadz? Karena shaf seperti terputus.. Mohon penjelasannya..
Ada Ustadz dan orang-orang tertentu yang beranggapan bahwa tidak perlu , tidak apa-apa atau boleh-boleh saja tidak merapatkan antara kaki atau pundak jama’ah yang di sampingnya dengan berhujjah bahwa hadits ini ; “Dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, aku melihat kalian dari belakang punggungku.” Lantas salah seorang di antara kami melekatkan pundaknya pada pundak temannya, lalu kakinya pada kaki temannya.” (HR. Bukhari no. 725).
Menurut mereka atsar ini menyatakan “…..salah seorang di antara kami melekatkan pundaknya pada pundak temannya, lalu kakinya pada kaki temannya.”
Merekapun menyimpukan bahwa yang berbuat seperti itu hanya satu orang saja yakni bukan keseluruha jama’ah .
Ana mohon pencerahannya dari admin !
Itu jadi landasan sebagian ulama rapat kaki dan kaki tidak wajib, yg penting adl dekat antara jamaah, tdk berjauhan. Praktek di Saudi Arabia spt itu.
Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.com via my Iphone
في ٠٨/٠١/٢٠١٣، الساعة ٦:١١ م، كتب “Disqus” :
Assalamu’alaikum ustad. Mau tanya, bagaimana hukumnya dengan menggunakan tasbih sebagai sarana untuk berzikir?
Jazakallah khair.
Waalaikumussalam. Boleh dan itu bukan bidah krn hanya sbg sarana bukan tujuan.
Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.com via my Iphone
في ٠٤/٠١/٢٠١٣، الساعة ١٠:٢٩ ص، كتب “Disqus” :
boleh bukan berarti disarankan kan, ustad? mungkin pakai jari-jari lebih baik?
Maaf ustadz, lalu bagaimana dngan kjadian d zaman sahabat dari sbgian mrk ada yg brdzikir dengan krikil,lalu salah sahabat mlarangnya dn mngatkan: sungguh bejana rasulullah msh ada.Bukankah tasbih trmsuk d dlmnya?
Yg dikritik ketika itu adalah dzikir berjamaah. Sedangkan biji tasbih, baca di sini:
https://rumaysho.com/6444-hukum-biji-tasbih.html