Bulughul Maram – Shalat: Sutrah Masih Boleh dengan Garis dan Ujung Sajadah
Sutrah masih boleh dan sah dengan menggunakan garis dan ujung sajadah. Coba perhatikan pelajaran Bulughul Maram kali ini.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat
بَابُ سُتْرَةِ اَلْمُصَلِّي
Bab Sutrah (Pembatas) bagi Orang yang Shalat
Hadits #236
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ( قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا , فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا , فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا , ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ } أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ , وَلَمْ يُصِبْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُضْطَرِبٌ , بَلْ هُوَ حَسَنٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian shalat hendaklah ia membuat sesuatu di depannya. Jika ia tidak mendapatkan, hendaknya ia menancapkan tongkat. Jika tidak memungkinkan, hendaknya ia membuat garis. Sehingga dengan hal itu, orang yang lewat di depannya tidak merusak shalatnya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban. Tidak benar orang yang menganggap hadits ini berkedudukan mudh-tharib, tetapi yang benar hadits ini adalah hasan). [HR. Ahmad, 12:354-355; Abu Daud, no. 689; Ibnu Majah, no. 943; Ibnu Hibban, no. 2361].
Takhrij dan faedah hadits
Para ulama berselisih pendapat mengenai derajat hadits ini apakah sahih ataukah tidak. Sebagian ulama mensahihkan hadits ini. Sebagian ulama lagi melemahkan (menyatakan “dhaif”) hadits ini. Ulama yang melemahkan hadits ini adalah Sufyan bin ‘Uyainah. Ad-Daruquthni menyatakan bahwa hadits ini “laa yatsbut”, tidak kuat. Imam Al-‘Iraqi, Imam Ibnu Ash-Shalah, Imam Ibnu Hazm, Imam Nawawi, dan Imam Al-Baghawi adalah deretan ulama yang melemahkan hadits ini. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits mudh-tharib.
Hadits mudh-tharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang bervariasi yang sama-sama kuat.
Secara jelas, hadits mudh-tharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan riwayat yang saling bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan antara riwayat-riwayat yang ada. Bahkan pertentangan yang ada adalah antara riwayat yang sama-sama kuat dan tak mungkin dikuatkan riwayat yang ada satu dan lainnya dengan jalan tarjih (penguatan).
Baca juga: Apa itu Hadits Mudh-tharib?
Ulama yang mensahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Abdil Barr, Imam Ahmad, ‘Ali bin Al-Madini, ‘Abdul Haqq Al-Isybiliy, dan Al-Baihaqi. Al-Hafizh Ibnu Hajar sendiri menyatakan hadits ini hasan. Ada juga sanggahan dari Ibnu Hajar dan ulama lainnya terhadap mereka yang menyatakan hadits ini bermasalah.
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits ini dhaif. Argumen dari ulama yang menyatakan hadits ini sahih tidaklah kuat dalam menyanggah kritikan hadits ini sebagai hadits mudh-tharib. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata, “Sebaiknya orang yang shalat tidak menjadi garis sebagai sutrah kecuali tidak ada lainnya yang dijadikan sebagai sutrah. Hadits ini sejatinya diamalkan karena ketidakmampuan mendapatkan sutrah lainnya yang pantas. Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16). Oleh karenanya, Imam Nawawi rahimahullah berkata,
والمختار استحباب الخط؛ لأنه وإن لم يثبت الحديث؛ ففيه تحصيل حريم
للمصلي.
“Pendapat terpilih, memakai garis sebagai sutrah itu masih disunnahkan. Walaupun haditsnya tidak sahih, sebenarnya garis sudah melindungi orang yang sedang shalat.” (Al-Majmu’, 3:248). Lihat bahasan ini dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:424.
Garis di sini bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan sajadah. Ujung sajadah itulah yang menjadi sutrah selama sajadah itu tidak terlalu panjang ke depan. Inilah yang dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Baghawi sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, 3:284.
Kesimpulan: Masih boleh menggunakan garis sebagai sutrah, termasuk pula sajadah. Namun, kalau mau lebih aman bisa menjadikan sutrah dengan tembok, tiang, dan semacamnya yang lebih tinggi. Misal menggunakan sutrah 30 cm seperti mu’khiroh ar-rohli (tiang atau kayu sandaran di belakang kendaraannya atau tunggangannya) atau bisa lebih rendah dari itu seperti ukuran anak panah. Wallahu a’lam.
Referensi:
Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:421-425.
—
Malam Senin, 28 Muharram 1443 H, 5 September 2021
@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com