Mengorbankan Harta Demi Belajar
Yang namanya belajar pasti membutuhkan kitab atau buku. Inilah yang dibutuhkan bagi setiap orang yang ingin belajar ilmu apa pun. Terutama lagi ilmu agama. Kebutuhan akan buku agama sangatlah urgent. Sampai-sampai para ulama menyebut kitab sebagai harta utama. Dan mereka menasehatkan agar membeli buku lebih diutamakan dari kesenangan dunia lainnya.
Di antara nasehat berharga Dzun Nuun al Mishriy:
Tiga perkara yang merupakan tanda kebaikan dari seseorang yang mempelajari ilmu agama,
1. Mengagungkan ulama dengan bersikap tawadhu’ (rendah diri) terhadap mereka.
2. Menutup mata dari ‘aib manusia, yang ia perhatikan adalah ‘aib pada diri sendiri.
3. Mengorbankan harta untuk menuntut ilmu (agama) dan itu lebih diutamakan dari kesenangan dunia lainnya.
Kitab di mata para ulama terasa istimewa sampai-sampai mereka katakan sebagai harta utama mereka. Al Kholil bin Ahmad berkata, “Jadikanlah buku-buku kalian sebagai harta utama dan nafkah hati bagi kalian.”
Saking semangatnya para ulama dalam mengumpulkan kitab, mereka pun jadi orang-orang pailit. Coba lihatlah keadaan Yahya bin Ma’in. Beliau mendapatkan harta peninggalan dari ayahnya yang amat banyak, “alf-alf (milyun) wa khomsiina alf dirham” (1 juta, 50.000 dirham). Seluruh harta tersebut beliau infakkan untuk mengumpulkan hadits dan mengumpulkan berbagai kitab. Sampai ia pun jatuh pailit. Sampai-sampai ia tidak memiliki sendal untuk digunakan. Namun karena kebangkrutannya ini, ia pun menjadi imam besar dalam jarh wa ta’dil, tanpa disangsikan lagi.”
Oleh karena itu di antara ulama seperti Syu’bah bin Al Hajjaj pernah berkata,
من طلب الحديث أفلس
“Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia pasti akan jatuh bangkrut.”
Namun catatan yang harus diingat. Mengumpulkan buku tidaklah bermanfaat sampai seseorang membukanya dengan bermajelis bersama para ulama. Imam Asy Syatibi mengatakan, “Dahulu ilmu itu berada dalam hati setiap orang. Kemudian ilmu tersebut berpindah ke buku. Namun buku tersebut punya kunci untuk membukanya. Buku saja dengan sendirinya tidak mendatangkan manfaat sampai buku tersebut dibuka oleh para ulama.”
Syaikh Syarif Hatim hafizhohullah berkata, “Wajib bagi penuntut ilmu mencurahkan tenaganya untuk lebih perhatian pada kitab. Seharusnya ia mendahulukan membeli kitab dari kebutuhan makan, minum dan pakaiannya. Jangan sampai ia luput untuk mengumpulkan kitab kecil maupun besar dalam ilmu hadits maupun ilmu lainnya.”
Catatan: Bukan berarti perkataan Syaikh Syarif Hatim ini sampai melalaikan kebutuhan primer yang dibutuhkan asal tidak sampai berlebih-lebihan. Karena jika kebutuhan primer berupa makanan, minuman dan pakaian sampai terlalaikan, maka ini bisa membinasakan diri sendiri. Padahal kita dilarang untuk membinasakan diri kita sendiri.
Semoga Allah senantiasa memberi kita taufik dalam ilmu, amal dan dakwah. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Sumber: Nasho-ihu Manhajiyyah lii Tholabi ‘Ilmis Sunnah An Nabawiyah, karya Syaikh Syarif Hatim bin ‘Arif Al ‘Auni, hal. 123-126, terbitan Darush Shumai’iy, thn 1432 H.
@ Trip with Merpati Nusantara, Jogja-Makassar
27 Sya’ban 1433 H