Penggunaan Obat Penghalang Haidh Saat Haji
Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Sudah ma’ruf di kalangan ibu-ibu yang akan berangkat haji, mereka mesti mengonsumsi obat yang satu ini agar manasik mereka lancar di tanah suci. Karena jika tidak dikonsumsi, mereka akan kehilangan moment-moment ibadah penting kala itu. Bagaimana hukum Islam sendiri mengenai penggunaan obat penghalang haidh semacam ini? Sebenarnya sejak masa silam, masalah ini sudah muncul. Thoyyib, langsung saja kita lihat pembahasannya.
Perkataan Ulama Masa Silam
‘Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ibnu Jarir pada kami, (ia berkata) bahwa ‘Atho’ ditanya mengenai seorang wanita yang datang haidh lantas ia menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan haidhnya padahal itu di masa haidnya, apakah ia boleh melakukan thowaf?
نعم إذا رأت الطهر فإذا هي رأت خفوقا ولم تر الطهر الأبيض فلا
“Ia boleh thowaf jika ia telah suci. Jika ia melihat suatu yang kering, namun belum terlihat tanda suci, maka ia tidak boleh thowaf”, jawab ‘Atho’. (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq, 1219)
‘Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ma’mar pada kami, (ia berkata) telah menceritakan pada kami Washil, bekas budak Ibnu ‘Uyainah, (ia berkata) ada seseorang yang bertanya pada Ibnu ‘Umar mengenai wanita yang begitu lama mengalami haidh lalu ia ingin mengkonsumsi obat yang dapat menghentikan darah haidhnya. Washil berkata,
فلم ير بن عمر بأسا
“Ibnu ‘Umar menganggap hal itu tidak masalah.”
Ma’mar berkata,
وسمعت بن أبي نجيح يسأل عن ذلك فلم ير به بأسا
“Aku mendengar Abu Najih menanyakan hal ini. Lantas ia menganggap perbuatan semacam itu tidak mengapa.” (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq, 1220). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata bahwa yang benar riwayat ini adalah perkataan Abu Najih.[1]
Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan,
رُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ ، أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْسَ أَنْ تَشْرَبَ الْمَرْأَةُ دَوَاءً يَقْطَعُ عَنْهَا الْحَيْضَ ، إذَا كَانَ دَوَاءً مَعْرُوفًا .
Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).”[2] [3]
Kalam Ulama
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menggunakan suntik atau obat-obatan sebagai penghalang haidh yang datang setiap bulannya, yang mungkin jadi hanya bertahan selama beberapa jam saja?”
Jawaban dari beliau rahimahullah, “Sepertinya penanya menanyakan seputar hari-hari haji. Kami katakan bahwa seperti itu tidak mengapa jika memang dalam keadaan darurat. Namun mesti diperhatikan bahwa penggunaan obat semacam ini mesti dengan rekomendasi dari dokter. Jika dokter mengatakan tidak mengapa menggunakan suntik atau obat tersebut, maka tidaklah masalah menggunakannya karena alasan darurat, baik obat tersebut bertahan selama beberapa jam atau beberapa hari.”[4]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Jika seorang wanita menggunakan obat penghalang haidh karena uzur semisal ada hajat dalam hal ini …, maka tidak mengapa ia menggunakannya. Jika haidhnya berhenti, lekaslah ia mandi, lalu shalat dan boleh melakukan thowaf di Masjidil Haram sekehendak dia.”[5]
Guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan menerangkan bahwa tidak mengapa menggunakan obat penghalang haidh saat haji selama tidak membawa efek samping. (Sesi tanya jawab dalam Durus Tafsir, 12 Dzulqo’dah 1432 H)
Syaikh Abu Malik –penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah- menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qodho’ baginya. Wallahu a’lam.” [6]
Ridho pada Ketetapan Ilahi
Jika kita melihat dari penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa penggunaan obat semacam itu tidaklah masalah selama darurat dan tidak menimbulkan efek samping. Namun yang lebih baik adalah ridho dengan ketetapan ilahi dalam hal ini. Ridholah dengan apa yang telah Allah takdirkan, itu lebih baik.
Setiap ketetapan Allah pasti ada hikmah yang luar biasa di balik itu semua. Lihatlah bagaimana sikap ‘Aisyah ketika ia mendapati haidh padahal ia ingin melaksanakan haji.
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan haji. Ketika kami sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku jawab, “Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji!” Beliau berkata, “Barangkali kamu mengalami haidh?” Aku jawab, “Benar.” Beliau pun bersabda,
فَإِنَّ ذَلِكَ شَىْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Yang demikian itu adalah perkara yang sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thowaf di Ka’bah hingga kamu suci.”[7]
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Sabic Lab KSU, Riyadh KSA
7 Dzulqo’dah 1432 H (05/10/2011)
Baca Juga:
[1] Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1/199, terbitan Darus Sunnah.
[2] Al Mughni, 1/450, terbitan Dar ‘Alam Kutub.
[3] Riwayat-riwayat ini dibawakan oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1/198-200.
[4] Diambil dari Kitab Jilsatul Hajj karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, dinukil dari web http://forum.roro44.com/234574.html
[5] Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1/198.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2/128.
[7] HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211