Haji Umrah

Dua Macam Larangan yang Terkena Dam yang Sering Dilakukan Jamaah Haji

Inilah dua macam larangan yang terkena dam yang sering dilakukan oleh jamaah haji. Perhatikan penjelasan berikut ini.

 

Dengan istilah dari ulama Syafiiyah, dam itu ada yang:

 

1. Tartib dan Taqdir (Harus Berurutan dan Sudah Ditentukan)

Yakni menyembelih seekor kambing. Jika tidak mampu atau tidak menemukan kambing untuk disembelih, bisa digantikan dengan berpuasa 10 hari, dengan ketentuan 3 hari dilaksanakan selama pelaksanaan ibadah haji dan 7 hari sisanya dilaksanakan di kampung halaman. Jika tidak sanggup untuk berpuasa, baik dengan alasan sakit atau alasan syar’i yang lain, maka bisa digantikan dengan membayar 1 mud/hari (1 mud= 675 gr/0.7 liter) seharga makanan pokok.

Dam kategori pertama ini diperuntukkan bagi jamaah haji yang melakukan haji tamattu’, haji qiran, dan beberapa pelanggaran wajib haji seperti: tidak berniat (ihram) dari miqat makani, tidak mabit di Muzdalifah tanpa alasan syar’i, tidak mabit di Mina tanpa alasan syar’i, tidak melontar jumrah dan tidak melaksanakan thawaf wada.

Dalil dam ini adalah ayat,

فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

Maka siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.”  (QS. Al-Baqarah: 196)

Frasa ayat menunjukkan bahwa siapa saja yang melakukan ibadah haji dan umrah secara tamattu’, yaitu ihram umrah dulu kemudian baru ihram haji tanpa keluar dahulu ke miqat, maka ia wajib membayar dam tersebut karena ia meninggalkan wajib haji berupa ihram dari miqat.

Ayat di atas hanya menjelaskan dam tamattu’. Adapun dam lainnya, yaitu dam qiran, dam fawat, dam karena meninggalkan ibadah yang telah dinazarkan, dam karena tidak mabit di muzdalifah dan di mina, dam karena tidak melempar jumrah, dan tidak melakukan thawaf wada’, oleh para ulama diqiyaskan padanya.

Baca juga: Rincian Wajib Haji

 

2. Takhyir dan Taqdir (Boleh Memilih dan Sudah Ditentukan)

Yakni pelanggaran berupa membuang/mencabut/menggunting rambut atau bulu dari anggota tubuh; memakai pakaian yang dilarang dalam ihram (pakaian yang berjahit, topi dan beberapa pakaian dilarang lain); atau mengecat/memotong kuku dan memakai wangi-wangian.

Baca juga: Larangan Saat Ihram

Adapun denda kedua ini juga diperbolehkan memilih salah satu dari denda berikut: menyembelih seekor kambing; atau bersedekah kepada 6 orang fakir miskin (tiap orang 2 mud); atau berpuasa 3 hari.

Dalil dam ini adalah ayat,

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.” (QS. Al-Baqarah: 196)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sakit secara umum atau sakit kepala (gatal karena kutu dan semisalnya), lalu mencukur rambut kepalanya, maka wajib menunaikan dam seperti dalam ayat. Memang yang disebutkan oleh ayat hanya mencukur rambut karena sakit. Namun demikian, orang yang mencukur rambut tanpa uzur sakit disamakan dengannya. Cukur rambut karena sakit saja kena dam, apalagi hanya iseng-iseng belaka, tentu lebih layak diwajibkan dam kepadanya.

Demikian pula orang yang melakukan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, baik karena uzur atau tidak, maka sama seperti itu, wajib membayar dam secara opsional, memilih antara puasa (3 hari), sedekah (makanan pokok 3 mud), atau menyembelih kambing. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, juz I, halaman 38).

Tiga opsi dam ini juga dijelaskan dalam hadits riwayat Ka’ab bin ’Ujrah yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas.

وَعَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ ( قَالَ: { حُمِلْتُ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ ( وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي, فَقَالَ: ” مَا كُنْتُ أَرَى اَلْوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى, تَجِدُ شَاةً ? قُلْتُ: لَا. قَالَ: ” فَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ, أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ, لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ ” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dihadapkan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kutu-kutu bertaburan di mukaku. Lalu beliau bersabda, ‘Aku tidak mengira penyakitmu separah yang kulihat, apakah engkau mampu menyembelih seekor kambing?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin masing-masing setengah sha’.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1816 dan Muslim, no. 1201, 85)

Baca juga: Dalil Dam Jika Melakukan Larangan Ihram

 

Baca juga:

 

 

Ditulis @ Makkah Al-Mukarramah, 18 Dzulhijjah 1445 H (24 Juni 2024)

Oleh: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button