Beda Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah
Kita ketahui bersama dalam tulisan-tulisan yang telah lewat di web ini bahwa bid’ah adalah setiap amalan ibadah (bukan perkara duniawi) yang dibuat-buat dan tidak memiliki landasan dalil. Sebagian orang bingung menilai manakah bid’ah hasanah (bid’ah yang dianggap baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang dianggap jelek). Kadang yang sebenarnya bid’ah sayyi’ah namun –sayangnya- dianggap sebagai hasanah (kebaikan). Para ulama membantu untuk membedakan kedua jenis bid’ah ini bagi yang masih mengkategorikan bid’ah menjadi dua maca seperti itu.
Beda Bid’ah Hasanah dan Sayyi’ah
Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata,
“Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk bid’ah sayyi’ah. Bid’ah termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat para ulama. Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah (anjuran), maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.
Barangsiapa mendekatkan diri pada Allah dengan sesuatu yang bukan kebaikan yang diperintahkan wajib atau sunnah, maka ia sesat, menjadi pengikut setan dan mengikuti jalannya. ‘Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu– berkata,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا وَخَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan pada kami jalan yang lurus, lalu di samping kanan kirinya terdapat jalan. Lalu beliau mengatakan mengenai jalan yang lurus adalah jalan Allah dan cabang-cabangnya terdapat setan yang menyeru kepadanya. Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya” (QS. Al An’am: 153) (Majmu’ Al Fatawa, 1: 162).
Nyatanya Kurang Tepat
Yang jelas pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah kurang tepat karena akan menimbulkan kerancuan. Kok bisa ada bid’ah yang baik, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengatakan,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867). Hadits semisal ini dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum, artinya mencakup semua bid’ah, yaitu amalan yang tanpa tuntunan atau tanpa dasar.
Imam Asy Syatibhi Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitab As Sunnah dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Umar. Lihat Ahkamul Janaiz, Syaikh Al Albani, hal. 258, beliau mengatakan hadits ini mauquf, shahih)
Untuk Memahami Manakah Bid’ah
Untuk memahami bagaimana pengertian yang tepat mengenai bid’ah (sayyi’ah), maka berikut adalah kriterianya. Jika memenuhi tiga kriteria ini, maka suatu amalan dapat digolongkan sebagai bid’ah:
- Amalan tersebut baru, diada-adakan atau dibuat-buat.
- Amalan tersebut disandarkan sebagai bagian dari ajaran agama.
- Amalan tersebut tidak memiliki landasan dalil baik dari dalil yang sifatnya khusus atau umum. (Qowa’id Ma’rifatil Bida’, Muhammad bin Husain Al Jizaniy, hal. 18)
Dari kriteria pertama di atas, maka amalan yang ada tuntunan dan memiliki dasar dalam Islam tidak disebut bid’ah semisal shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Dilihat dari kriteria kedua, maka tidak termasuk di dalamnya hal baru atau dibuat-buat berkaitan dengan urusan dunia, semisal perkembangan atau inovasi pada smartphone dan laptop, ini bukanlah bid’ah yang dicela. Dan jika menilik kriteria ketiga, maka amalan yang ada landasan dalil khusus seperti shalat tarawih yang dilakukan secara berjama’ah di masa ‘Umar hingga saat ini, tidaklah disebut bid’ah (Lihat Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 18-21).
Semakin menguatkan penjelasan di atas yaitu definisi Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berikut ini. Beliau berkata,
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum” (Fathul Bari, 13: 254). Juga ada perkataan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah,
فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128). Ringkasnya yang dimaksud bid’ah adalah setiap yang dibuat-buat dalam masalah agama tanpa ada dalil.
Silakan Datangkan Dalil!
Jadi silakan timbang-timbang jika menilai bid’ah hasanah dengan pernyataan di atas. Apakah perayaan Maulid Nabi itu hasanah? Apakah berdo’a dengan menganggap afdhol jika di sisi kubur para wali itu bid’ah hasanah? Begitu pula yasinan dan selamatan kematian (pada hari ke-3, 7, 40, 100, sampai dengan 1000 hari) benarkah bid’ah hasanah? Silakan buktikan dengan dalil!
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS. Al Baqarah: 111).
Wa billahit taufiq …
Baca Juga:
- ‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara tentang Bid’ah Hasanah
- Antara Bid’ah dan Amalan yang Menyelisihi Sunnah
—
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, saat Fajar 26 Jumadal Ula 1433 H
“Bid’ah adalah dalam amalan ibadah”
Da’wah/Syi’ar itu adalah amalan ibadah atau bukan?
Jika memang da’wah/Syi’ar merupakan amalan ibadah, apakah da’wah/syi’ar di internet, radio, televisi yang belum pernah dicontohkan Rosilillah Sholallahu ‘alaihiwasalam, sahabat, tabi’in merupakan bid’ah (sesat)..??
#jangan bilang internet, radio dan televisi itu bid’ah duniawi ya.. bukan itu maksud saya tapi cara da’wah/syi’ar yg belum pernah dicontohkan.. Dan ingat KULLU bid’atun dholalah..
Sesuatu yg tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak lepas dari tiga keadaan
1. Rasulullah tidak melakukan karena belum ada pendorongnya, misalnya, ilmu nahwu yang ada pada zaman Rasulullah.
2. Rasulullah tidak melakukan karena masih ada penghalangnya, misalnya pembukuan al-Qur’an, karena al-Qur’an pada saat itu masih terus turun.
3. Rasulullah tidak melakukan, padahal pendorongnya ada, dan penghalangnya tidak ada, namun Rasulullah tinggalkan, berarti ini tidak disyari’atkan, inilah yg dinamakan bid’ah. (Al I’tisham 1/361, majmu’ fatawa ibnu taimiyah 26/172)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
kalau yg antum bilang, dakwah melalui tv/radio/internet, hal itu masuk poin yg kedua, memang faktor pendorongnya ada, yaitu agar dakwah mudah tersebar, tapi hal tsb msh mempunyai penghalang, karena sudah jelas pada zaman itu belum ada media2 seperti itu, kalaupun sudah ada, tentunya rasulullah bisa menggunakan media tersebut sbg sarana utk memudahkan tujuan dakwah trsbt. Jadi hal itu bukan termasuk bid’ah.
wallahua’lam
Bung rustam…yg jelas2 ada tuntunannya (sunnah) msh byk yg belum kita amalkan, kok mau bersibuk ria dg amalan yg gak ada dalil dan contohnya dr kanjeng rosul….”mikir donk”
mantapp..
bid’ah tetap aja bid’ah,,
monggo beramal sesuai kemampuan masing-masing nggak usah saling menghakimi ataupun menyalahkan amalan orang lain…:)
saya fikir yang diharapkan disini adalah paparan yang jelas perihal bid’ah, bukan saling menghakimi, adapun kalo ada pro kontra itu juga wajar karena masing2 memilik pandangan yang berbeda, terlepas dari berbagai macam perbedaan, prinsipnya cuma satu, yaitu ajaran ibadah dalam Islam itu Mutlaq, makanya muncul hadits tentang Bid’ah juga.karena semua ajaran ibadah sudah ada tuntunannya dalam Alqur’an maupun hadits, dan dari sumber keduanya tentunya tidak akan bertolak belakang, kalopun salah satu hadits bertolak belakang dengan Alqur’an itu patut diteliti lagi, kemungkinan hadits dhai’if dan sejenisnya. dan satu hadits juga tidak akan bertentangan dengan hadits lainnya.
TAHLILAN
Menurut Ulama Empat Mazhab
Hakekat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah
Subhaanahu Wata’ala. Karena itu, Allah Subhaanahu Wata’ala menurunkan
kitab-Nya dan mengutus rasul-Nya untuk mengajarkan kepada manusia cara
beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata’ala.
Kenyataannya, masih banyak ritual yang dilakukan oleh umat Islam,
khususnya di Indonesia yang tidak jelas asal usulnya dalam agama, tapi
justru seakan-akan hukumnya menjadi wajib, tahlilan misalnya. Ritual
ini, seakan sudah mengurat daging dan menjadi kelaziman yang mengikat
masyarakat tatkala tertimpa musibah kematian. Tak heran, sangat jarang
keluarga yang tidak menyelenggarakan ritual ini karena takut diasingkan
masyarakatnya. Katanya pula, ritual ini adalah ciri khas penganut mazhab
Syafi’i.
Benarkah demikian? Lalu bagaimana pandangan ulama mazhab lain menyikapi tahlilan?
Tahlilan adalah acara yang diselenggarakan ketika salah seorang anggota
keluarga meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan
selesai, seluruh keluarga, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah
keluarga mayit untuk membaca beberapa ayat al Qur’an, zikir, berikut
doa-doa yang ditujukan kepada mayit. Karena dari sekian zikir yang
dibaca terdapat kalimat tahlil (laa ilaaha illalloh) yang diulang-ulang
ratusan kali, maka acara tersebut dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Masyarakat Sulawesi pada umumnya, melaksanakan tahlilan ini sejak
malam pertama, ketiga, ketujuh, kesepuluh, kedua puluh, dan seterusnya
hingga malam ke seratus. Pada acara tersebut, keluarga mayit menyajikan
makanan dan minuman bagi para pelayat.
Mengapa Tahlilan Disorot?
Dari Jarir bin Abdullah al Bajali Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata
كُنَّا نَرَى الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul pada
keluarga orang meninggal dan membuat makanan (untuk disajikan ke
pelayat) termasuk niyahah (meratapi jenazah yang terlarang).” (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Syaikh al Albani).
Syaikh al Albani menjelaskan, “Lafal hadits (كُنَّانَرَى) (kami
berpendapat) ini kedudukannya sama dengan meriwayatkan ijma’
(kesepakatan) para sahabat atau taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Jika ini adalah taqrir Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, maka artinya, hadits ini marfu’ hukman (jalur periwayatannya
sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). Bagaimana pun juga,
hadits ini dapat dijadikan hujjah.” (Lihat Shahih Ibnu Majah, 2/48).
Ijma’ para sahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah
al-Qur’an dan Sunnah. Ini merupakan kesepakatan para ulama Islam
seluruhnya.
Riwayat lain, dari Abdullah bin Ja’far, beliau berkata, “Ketika
sampai kabar gugurnya Ja’far, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada
mereka urusan yang menyibukkan.” (HR. Ahmad, asy-Syafi’i, dan selainnya,
dihasankan oleh Syaikh al Albani).
Apa yang kita saksikan di masyarakat kita, ternyata sangat berbeda
dengan apa yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Beliau memerintahkan untuk membuat makanan, tapi bukan untuk para
pelayat. Sebaliknya, keluarga yang sedang dirundung dukalah yang lebih
berhak untuk dilayani.
Dari Ibn Abi Syaibah, beliau berkata,
قَدِمَ جَرِيْرٌ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ : هَلْ يُـنَاحُ فَبْلَكُمْ عَلَى
الْمَيِّتِ ؟ قَالَ : لاَ، فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى
الْمَيِّتِ وَ يُطْعِمُ الطَّعَامَ ؟ قَالَ : نََعَمْ، فَقَالَ : تِلْكَ
النِّيَاحَةُ
“Jarir mendatangi Umar, lalu Umar berkata, “Apakah kamu sekalian
suka meratapi janazah?” Jarir menjawab, ”Tidak.” Umar berkata, “Apakah
ada di antara wanita-wanita kalian, suka berkumpul di rumah keluarga
jenazah dan memakan hidangannya?” Jarir menjawab, “Ya.” Umar berkata,
“Hal demikan itu adalah sama dengan niyahah (meratap).”
Ulama Mazhab Menyikapi Selamatan Kematian
1. Mazhab Syafi’i
Saudara-saudara kita yang melaksanakan tahlilan pada umumnya berdalih, tahlilan adalah ciri khas penganut mazhab Syafi’i.
Namun apa kata Imam Syafi’i sendiri tentang hal ini? Beliau berkata dalam kitabnya al Umm, 1/318),
“Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam musibah kematian)
sekalipun tanpa diiringi tangisan, karena hal itu akan memperbarui
kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan
atsar (hadits) yang telah lalu.”
Perkataan beliau di atas sangat jelas dan tak bisa ditakwil atau
ditafsirkan kepada arti dan makna lain, kecuali bahwa beliau dengan
tegas melarang berkumpul-kumpul di rumah duka. Ini sekadar berkumpul,
bagaimana pula jika disertai dengan tahlilan malam pertama, ketiga,
ketujuh, dan seterusnya yang tak seorang pun sahabat pernah
melakukannya?
Imam Syafi’i juga berkata, “Dan saya menyukai agar para tetangga
mayit beserta kerabatnya untuk membuatkan makanan yang mengenyangkan
bagi keluarga mayit di hari dan malam kematian. Karena hal tersebut
termasuk sunnah dan amalan baik para generasi mulia sebelum dan sesudah
kita.” (Al Umm,1/317).
Imam Nawawi—rahimahullah—berkata, “Dan adapun duduk-duduk ketika
melayat maka hal ini dibenci oleh Syafi’i, pengarang kitab ini
(As-Sirozi) dan seluruh kawan-kawan kami (ulama-ulama mazhab Syafi’i).
(Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 5/278).
Imam Nawawi juga menukil dalam al Majmu’ (5/290) perkataan pengarang
kitab asy-Syamil, “Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan
mengundang manusia untuk makan-makan, maka hal itu tidaklah dinukil
sedikit pun (dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) bahkan
termasuk bid’ah (hal yang diada-adakan dalam agama), bukan sunnah.”
2. Mazhab Maliki
Imam at-Thurthusi berkata dalam kitab al Hawadits wa al Bida’ hal.
170-171, “Tidak apa-apa seorang memberikan makanan kepada keluarga
mayit. Tetangga dekat maupun jauh. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam tatkala mendengar kabar wafatnya Ja’far, beliau bersabda,
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada
mereka urusan yang menyibukkan.”
Makanan seperti ini sangat dianjurkan oleh mayoritas ulama karena hal
tersebut merupakan perbuatan baik kepada keluarga dan tetangga. Adapun
bila keluarga mayit yang membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk
makan-makan, maka tidak dinukil dari para salaf sedikit pun. Bahkan
menurutku, hal itu termasuk bid’ah tercela. Dalam masalah ini, Syafi’i
sependapat dengan kami (mazhab Maliki).”
3. Mazhab Hanafi
Al Allamah Ibnu Humam berkata dalam Syarh Hidayah hal. 1/473, tentang kumpul-kumpul seperti ini, “Bid’ah yang buruk.”
4. Mazhab Hanbali
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni 1/496, “Adapun keluarga mayit
membuatkan makanan untuk manusia, maka hal tersebut dibenci karena akan
menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka serta menyerupai
perilaku orang-orang jahiliyah.”
Dan inilah mazhab Hanbaliyah sebagaimana tersebut dalam kitab al Inshof, 2/565 oleh al Mardawaih.
Inilah di antara perkataan para ulama mazhab menyikapi tahlilan.
Ternyata, selain menguras tidak sedikit harta benda kita—bahkan ada yang
sampai berhutang untuk menyelenggarakan tahlilan—juga tidak bernilai
ibadah di sisi Allah Subhaanahu Wata’ala bahkan dia adalah bid’ah yang
dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabatnya,
dan ulama seluruh mazhab.
Sejatinya, seorang muslim setelah mengetahui hukum sesuatu, maka dia
akan berkata seperti perkataan orang-orang mukmin yang diabadikan dalam
al Qur’an, “Kami mendengar, dan kami patuh.” (QS. An-Nur: 51).
Dan jangan sampai, justru ucapan kita sebagaimana pernyataan
orang-orang musyrik yang juga diabadikan dalam al Qur’an, ketika diseru
untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah Azza Wajalla, mereka menjawab,
“(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami.”
Maka Allah Azza Wajalla berkata kepada mereka, “(Apakah mereka akan
mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah: 170). Wallahul
Haadi ilaa ath-thoriq al Mustaqim.
Bahan bacaan: Al Furqon, 12/II/1424, dan sumber-sumber lainnya. (Al Fikrah)
Assalamualaykum..
Afwan,akhwan wa akhwat
Ada yang tau artikel ataw bagi yang punya artikel tentang TAHLILAN,sejarah awal dan bagaimana pendapat para ulama dari 4 madzhab menanggapinya,tolong ijin share-in ke ana
Syukron
trimakasih
Like This!