Aqidah

Syarhus Sunnah: Bolehkah Memberontak dan Apakah Demonstrasi itu Jihad?

Apakah boleh kita memberontak pada penguasa yang zalim? Ada yang menganggap pula bahwa berdemo atau demontrasi termasuk jihad di jalan Allah? Benarkah ini? Bahasan Syarhus Sunnah dari Imam Al-Muzani kali ini moga bisa menjawabnya.

Imam Al-Muzani rahimahullah dalam Syarhus Sunnah berkata,

وَالطَّاعَةُ لِأُوْلِي الأَمْرِ فِيْمَا كَانَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَرْضِيًّا وَاجْتِنَابِ مَا كَانَ عِنْدَ اللهِ مُسْخِطًا

وَتَرْكُ الخُرُوْجِ عِنْدَ تَعَدِّيْهِمْ وَجَوْرِهِمْ وَالتَّوْبَةُ عِنْدَ اللهِ كَيْمَا يَعْطِفُ بِهِمْ عَلَى رَعِيَّتِهِمْ

“(Prinsip Ahlus Sunnah adalah) taat kepada Ulil Amri (penguasa) dalam hal-hal yang diridai Allah ‘azza wa jalla dan meninggalkan (ketaatan kepada mereka) pada hal-hal yang dimurkai Allah.

(Juga prinsip Ahlus Sunnah adalah) meninggalkan sikap khuruj (memberontak) ketika penguasa bersikap sewenang-wenang dan tidak adil. Bertaubat kepada Allah agar penguasa bersikap kasih sayang terhadap rakyatnya.”

 

Tidak memberontak dan disuruh bersabar

Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah tidak memberontak pada ulil amri, walaupun ia melampaui batas dan zalim.

Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya, dalam hadits disebutkan,

يَا عُبَادَةُ قُلْتُ: لَبَّيْكَ قَالَ:اِسْمَعْ وَأَطِعْ فِي عُسْرِكَ ويُسْرِكَ َومَكْرَهِكَ وَأثَرَةٍ عَلَيْكَ وَإِنْ أَكَلوا مَالَكَ وَضَرَبُوا ظَهْرَكَ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ مَعْصِيَةً ِللهِ بَوَاحًا

Wahai ‘Ubadah!” ‘Ubadah menjawab, “Labbaik (kami memenuhi panggilanmu, wahai Rasul).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Dengarlah dan taatlah dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan benci dan tidak disukai, walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu, kecuali kalau jelas itu maksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya, 4566)

Tidak boleh memberontak walaupun penguasa itu seorang yang bengis seperti Al-Hajjaj.

Dari Az-Zubair bin ‘Adiy, ia berkata, “Kami pernah mendatangi Anas bin Malik. Kami mengadukan tentang (kekejaman) Al-Hajjaj pada beliau. Anas pun mengatakan,

اصْبِرُوا ، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِى عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ » . سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ – صلى الله عليه وسلم –

Sabarlah, karena tidaklah datang suatu zaman melainkan keadaan setelahnya lebih jelek dari sebelumnya sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian. Aku mendengar wasiat ini dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 7068).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan, maka tidak perlu mendengar dan taat.” (HR. Bukhari, no. 7144 dan Muslim, no. 1839)

Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka saja dengan pedang?”   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya, namun tetap taat pada mereka.” (HR. Muslim, no. 1855)

Jangan sampai kita disebut mati jahiliyyah. Orang jahiliyyah itu tidaklah memiliki pemimpin. Mereka ingin hidup bebas tanpa ada yang memerintah mereka. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barangsiapa yang tidak suka sesuatu pada pemimpinnya, bersabarlah. Barangsiapa yang keluar dari ketaatan pada pemimpin barang sejengkal, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849). Yang dimaksud tidak suka sesuatu pada pemimpin adalah selain kekufuran yang nyata. Sedangkan keluar dari ketaatan barang sejengkal yang dimaksud adalah tidak taat pada pemimpin walau hanya sedikit.

 

Taat pada penguasa ada dua macam

Pertama: Wajib menaati penguasa ketika mereka memerintahkan untuk menaati Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tetap taat pada perkara ijtihad mereka atau pada perkara yang bermaslahat pada kaum muslimin.

Kedua: Tidak boleh menaati mereka kalau memerintahkan pada maksiat.

Lihat Tamam AlMinnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 126.

Baca Juga: Syarhus Sunnah: Menaati Penguasa dalam Hal yang Makruf

Kenapa tidak boleh memberontak pada penguasa?

Syaikh ‘Abdur Razaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan, “Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya memberontak pada penguasa walaupun ia zalim karena ada keburukan (mafsadah) lebih besar atau mudarat lebih besar, bisa jadi ada pertumpahan darah, musnahnya harta, beragama jadi sulit, hilangnya rasa aman, kaum muslimin tidak merasakan ketenangan dalam ibadah, kehormatan dan harta tidak terjaga, dan berbagai kerusakan muncul. Sehingga praktik dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum—padahal mereka paling semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam–, yaitu mereka berusaha terhindar dari keburukan yang besar. Lihat apa saja nasihat dari Ibnu Mas’ud ketika orang-orang mengadu tentang sepak terjang Al-Walid bin ‘Uqbah,

اِصْبِرُوا فَإِنَّ جَوْرَ إِمَامٍ خَمْسِيْنَ عَامًا خَيْرٌ مِنْ هَرَجِ شَهْرٍ

Bersabarlah. Sungguh berada di bawah pemimpin yang zalim lima puluh tahun lebih baik dari terjadi kerusuhan selama sebulan.” (HR. Thabrani, 10210). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika orang-orang mengadukan Al-Hajjaj Ats-Tsaqafi, maka ia katakan, “Sabarlah, karena tidaklah datang suatu zaman melainkan keadaan setelahnya lebih jelek dari sebelumnya sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian. Aku mendengar wasiat ini dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 7068) (Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 114)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kelompok yang keluar memberontak pada penguasa sudah diketahui bahwa mereka mendapatkan keburukan yang lebih besar dari keburukan yang ingin mereka hilangkan.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah, 3:391. Dinukil dari Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 115)

 

Solusi jika kita mendapatkan penguasa zalim

Sebagaimana nasihat dari Imam Al-Muzani rahimahullah di atas adalah bertaubat. Beliau rahimahullah berkata,

وَالتَّوْبَةُ عِنْدَ اللهِ كَيْمَا يَعْطِفُ بِهِمْ عَلَى رَعِيَّتِهِمْ

 “Bertaubat kepada Allah agar penguasa bersikap kasih sayang terhadap rakyatnya.”

Adanya penguasa zalim itu karena sebab dosa. Sebagaimana dalam ayat disebutkan,

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al-An’am: 129)

Syaikh ‘Abdur Razaq Al-Badr hafizhahullah menyatakan bahwa sudah seharusnya setiap orang bertaubat kepada Allah terlebih dahulu, lantas memperbaiki diri dan keluarga, dan mendakwahi orang-orang sekitar, sampai kebaikan tersebar. Maka adanya pemimpin yang zalim, maksud Allah adalah untuk membuat hamba itu jadi baik, atau semoga Allah gantikan dengan yang pemimpin yang lebih baik setelah itu. Ingatlah segala sesuatu di tangan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26). Lihat Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 114-115.

Baca Juga: Jihad dengan Menasehati Penguasa yang Zalim

Seutama-utamanya Jihad, Jihad Melawan Penguasa Zalim

Inilah dalil yang digunakan sebagian aktivis Islam untuk mendukung demonstrasi.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats As Sajistani membawakah hadits ini dalam kitab sunannya pada Bab “Al Amru wan Nahyu”, yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Abu ‘Isa At-Tirmidzi membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan, atau hati”. Muhammad bin Yazid Ibnu Majah Al-Qozwini membawakan hadits di atas dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.” Begitu pula Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan hadits ini dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran”, beliau sebutkan hadits ini pada urutan no. 194 dari kitab tersebut.

Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmur hafizhahullah katakan bahwa sebagian orang menjadikan hadits “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim” sebagai dalil untuk mendukung perbuatan demonstrasi bahwasanya itu adalah sebaik-baiknya jihad. Maka sanggahannya adalah sebagai berikut:

  1. Seharusnya yang dikatakan adalah kebenaran (kalimatu ‘adlin), berarti yang disuarakan adalah hukum syariat.
  2. Seharusnya mengatakannya adalah di depan pemimpin yang zalim. Dan ini bukan dikatakan di masjid-masjid dan mimbar-mimbar.
  3. Yang dimaksud menasihati adalah bukan terang-terangan, namun diam-diam sebagaimana diterangkan dalam hadits lainnya.

Dari ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ

Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).” (HR. Ahmad, 3:403. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

 

Apakah dengan melakukan demontrasi sama dengan melakukan amar makruf nahi mungkar?

Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Kerancuan ini masuk pada sebagian orang dan dianggap masuk akal. Padahal dasar dari amar makruf nahi mungkar adalah ada cara tersendiri dalam mengingatkan penguasa karena di sini menimbang-nimbang keburukan yang lebih besar yang nantinya diperoleh. Sehingga inilah yang mesti diperhatikan. Perlu dipahami sekali bahwa prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bersabar pada penguasa yang zalim, kita masih menaati mereka dalam hal taat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “tidak ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Allah.” (Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani, hlm. 95)

Baca Juga:

Referensi:

  1. Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani. Cetakan Tahun 1439 H. Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Salim Bazmul. Penerbit Darul Mirats An-Nabawiy.
  2. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  3. Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Syaikh ‘Abdur Razaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.
  4. Tamam AlMinnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Khalid bin Mahmud bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Juhani. www.alukah.net.

 

 


 

Diselesaikan di Sleman, 4 Februari 2020 – 10 Jumadats Tsaniyyah 1441 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Silakan download buletin kajian Syarhus Sunnah dalam bentuk PDF di sini: Buletin Syarhus Sunnah Imam Al-Muzani.

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button