Shalat

Bulughul Maram – Shalat: Salah Menghadap Kiblat

Bagaimana hukum menghadap kiblat? Kali ini kita lihat hadits ahkam mengenai hal tersebut terutama ketika salah menghadap kiblat, apakah shalatnya sah.

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat – Bab Syarat-Syarat Shalat

Syarat menghadap kiblat saat shalat

Hadits #211

وَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ( قَالَ : { كُنَّا مَعَ اَلنَّبِيِّ ( فِي لَيْلَةٍ مَظْلَمَةٍ , فَأَشْكَلَتْ عَلَيْنَا اَلْقِبْلَةُ , فَصَلَّيْنَا . فَلَمَّا طَلَعَتِ اَلشَّمْسُ إِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا إِلَى غَيْرِ اَلْقِبْلَةِ , فَنَزَلَتْ : (فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اَللَّهِ ) } أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَهُ .

Dari ‘Amir bin Rabi’ah, ia berkata, “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam yang gelap, maka kami kesulitan untuk menentukan arah kiblat kemudian kami shalat. Ketika matahari terbit ternyata kami telah shalat ke arah yang bukan kiblat, maka turunlah ayat: ‘Ke mana saja kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah.’” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dilemahkan olehnya). [HR. Tirmidzi, no. 345; Ibnu Majah, no. 102; Abu Daud Ath-Thayalisiy, 2:462. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini dhaif, didhaifkan oleh At-Tirmidzi].

 

Takhrij hadits

Dalam ayat disebutkan,

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir ayat ini menyebutkan berbagai hadits seperti hadits Jabir dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kemudian ia berkata, “Sanad-sanad hadits ini dhaif. Satu sama lain saling menguatkan. Adapun mengulangi shalat bagi yang jelas salah, ada dua pendapat di antara para ulama. Dalil-dalil ini menunjukkan tidak adanya qadha’. Wallahu a’lam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:578)

Baca Juga: Manhajus Salikin: Syarat Shalat, Menghadap Kiblat

Faedah hadits

  1. Siapa saja yang shalat ketika cuaca mendung pada selain arah kiblat, lalu jelas baginya setelah ia shalat bahwa ia shalat bukan menghadap kiblat, maka shalatnya sah, ia tidak perlu mengulang shalatnya, baik ia mengetahui salahnya tatkala masih waktu shalat atau setelahnya.
  2. Hadits ini dhaif namun maknanya sahih. Jika seorang mukmin tidak mengetahui arah kiblat, hendaklah ia berusaha mencari arah kiblat sesuai kemampuannya. Jika ia berusaha mencari, akhirnya shalat tidak menghadap kiblat, maka shalatnya sah. Karena kita diperintahkan untuk bertakwa semampu kita.
  3. Musafir dan semacamnya ketika masuk waktu shalat, hendaklah berusaha mencari arah kiblat. Ada berbagai sarana yang bisa menolong untuk mengetahui arah ini, bisa dengan melihat matahari, bulan, bintang.

Dalam surah An-Nahl disebutkan,

وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ

Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 16). Yang dimaksud mendapatkan petunjuk, bisa juga maknanya adalah petunjuk arah kiblat.

  1. Hukum ini berlaku khusus untuk safar. Siapa saja yang shalat ketika mukim lantas tidak menghadap kiblat, maka ia wajib mengulangi shalat. Demikian pendapat yang masyhur dalam pendapat Imam Ahmad. Karena ketika mukim, mampu dan yakin untuk mengetahui arah kiblat, bisa dengan bertanya, bisa dengan melihat mihrab masjid. Maka tidak ada uzur ketika tidak tahu.
  2. Allah memiliki wajah. Itu adalah sifat bagi Allah sebagaimana Allah memiliki sifat-sifat lainnya, di mana sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk. Kita tetapkan sifat Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah.

Dalam ayat disebutkan,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11). Dari sini berarti kita tidak boleh melakukan tahrif (merubah makna tanpa dalil), tidak boleh melakukan takyif (menyatakan hakikatnya), tidak boleh melakukan tamtsil (menyamakan dengan sifat makhluk) karena asalnya kalimat itu sesuai hakikatnya. Siapa yang menafsirkan wajah Allah dengan pahala (ats-tsawaab), maka itu tidaklah tepat karena menyelisihi tekstual dari dalil, menyelisihi jalan salaf, dan itu dilakukan tanpa dalil. Wallahu a’lam.

 

Menghadap cukup ke jihhah (arah) kiblat

Hadits #212

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ( قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { مَا بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ } رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara timur dan barat adalah kiblat.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dikuatkan oleh Al-Bukhari). [HR. Tirmidzi, no. 344. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Namun ada riwayat dari Ma’syar, tetapi riwayat Abu Hurairah itu lebih kuat sebagaimana dinukil oleh Tirmidzi dari perkataan Bukhari. Ibnu Rajab menukil dari Imam Ahmad dhaifnya sanad ini, dalam sanadnya ada yang dhaif].

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menunjukkan adanya kemudahan dalam menghadap kiblat.
  2. Bagi yang jauh dari Kabah dan tidak melihat Kabah secara langsung bisa menghadap arah kiblat saja (jihhah).
  3. Orang menghadap kiblat seperti berada di sekeliling titik pusat lingkaran. Siapa yang berada di sebelah barat Kabah, maka kiblatnya adalah menghadap timur. Siapa yang berada di sebelah timur Kabah, maka kiblatnya adalah menghadap barat. Siapa yang berada di sebelah utara Kabah, maka kiblatnya adalah menghadap selatan. Siapa yang berada di sebelah selatan Kabah, maka kiblatnya adalah menghadap utara. Siapa yang berada di sebelah tenggara dari Kabah (antara timur dan selatan), maka kiblatnya adalah barat laut (antara utara dan barat). Siapa yang berada di sebelah barat daya dari Kabah (antara selatan dan barat), maka kiblatnya adalah timur laut (antara utara dan timur). Siapa yang berada di sebelah timur laut dari Kabah (antara utara dan timur), maka kiblatnya adalah barat daya (antara selatan dan barat). Siapa yang berada di sebelah barat laut dari Kabah (antara utara dan barat), maka kiblatnya adalah tenggara (antara timur dan selatan).
  4. Hadits ini jadi dalil bahwa syariat Islam memberikan kemudahan bagi hamba dalam menentukan arah kiblat ketika berada jauh dari Kabah, cukup dengan zhan (sangkaan kuat) dalam mencari arah kiblat.
  5. Tidak perlu menyusah-nyusahkan diri dalam menentukan arah kiblat. Siapa yang sudah shalat menghadap ke arah kiblat, shalatnya sah walaupun melenceng sedikit. Karena jihhah (arah) saja sudah dikatakan menghadap kiblat.
  6. Bagi yang berada di Masjidil Haram, harus menghadap ke Kabah persis. Bagi jamaah Masjidil Haram (yang tidak melihat Kabah secara langsung), bisa diberi kelapangan lagi. Bagi penduduk Makkah, bisa lebih lagi diberi kelapangan. Lalu untuk kaum muslimin lainnya di bagian bumi lainnya lebih diberi kelapangan lagi.
  7. Hendaklah seorang alim di suatu negeri mengkhususkan mengajarkan perkara agama kepada penduduk negerinya terlebih dahulu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mengajarkan arah kiblat kepada penduduk Madinah dengan beliau mengatakan untuk masalah buang hajat, “Hadaplah timur ataukah barat” sebagaimana dalam hadits Abu Ayyub.

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى

Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari, no. 394 dan Muslim, no. 264).

Baca Juga:

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.

 

 


 

Disusun di Darush Sholihin, 29 Jumadal Ula 1441 H (25 Januari 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button