Bulughul Maram – Shalat: Makan Sahur Hingga Azan Ibnu Ummi Maktum
Apa hukum makan sahur ketika azan Shubuh berkumandang? Jawabannya bisa ditemukan dalam hadits-hadits berikut ini.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat – Bab Al-Adzan (Tentang Azan)
Hadits #189, 190
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ, وَعَائِشَةَ قَالَا: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِنَّ بِلَالاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ, فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ اِبْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ”, وَكَانَ رَجُلاً أَعْمَى لَا يُنَادِي, حَتَّى يُقَالَ لَهُ: أَصْبَحْتَ, أَصْبَحْتَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَفِي آخِرِهِ إِدْرَاجٌ
Dari Ibnu ‘Umar dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal akan berazan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum berazan.” Ibnu Ummi Maktum adalah laki-laki buta yang tidak akan berazan kecuali setelah ada yang berkata, ‘Telah masuk waktu Shubuh, telah masuk waktu Shubuh.’” (Muttafaqun ‘alaih. Kalimat terakhir ada lafazh idraj) [HR. Bukhari, no. 617 dan Muslim, no. 1092, ini hadits dari Ibnu ‘Umar; HR. Bukhari, no. 622 dan Muslim, no. 1092, ini hadits dari Aisyah]
Keterangan: Idraj adalah hadits yang dimasukkan kalimat di dalamnya oleh seorang perawi tanpa ada penjelasan maksudnya, entah satu kalimat sebagai tafsir, atau satu kalimat untuk menjelaskan hukum, atau penjelasan hikmah. Idraj bisa ada pada awal, pertengahan, atau akhir hadits. Umumnya idraj ada pada akhir hadits.
Hadits #191
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ; – إِنَّ بِلَالاً أَذَّنَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ, فَأَمَرَهُ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَرْجِعَ, فَيُنَادِيَ: “أَلَا إِنَّ اَلْعَبْدَ نَامَ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَضَعَّفَهُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan sebelum Fajar, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk pulang seraya bersabda, “Sesungguhnya orang-orang masih tidur.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan dilemahkan olehnya) [HR. Abu Daud, no. 532, hadits ini punya ‘illah]
Faedah Hadits
- Afdalnya azan sebelum Shubuh adalah pada waktu sahur, hanya beberapa waktu sebelum terbit fajar Shubuh.
- Boleh muazin itu seorang buta, tentang masuknya waktu shalat bisa ada yang memberikan kabar untuknya.
- Boleh ada dua muazin dalam satu masjid.
- Boleh mengamalkan azan jika muazin terpercaya.
- Disunnahkan azan di tempat yang tinggi sebagaimana keterangan dalam riwayat yang lain.
- Hendaklah muazin memperhatikan waktu ketika mengumandangkan azan.
- Azan Shubuh dikumandangkan ketika masuk waktu Shubuh.
Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Sahur Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR. Abu Daud, no. 2350).
Di antara ulama yang mensahihkan hadits ini adalah Syaikh Al-Albani rahimahullah. Sehingga dari hadits ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.
Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dha’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih sahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum ketika adzan berkumandang.
Baca Juga: Doa Mustajab di Waktu Sahur
Hadits Sahih: Stop Makan Ketika Adzan Berkumandang
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ»
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Bilal biasanya mengumandangkan adzan di waktu malam (belum terbit fajar shubuh). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).
Kata “حَتَّى”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih dari hadits yang kita kaji di awal. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al-Majmu’,
إذا طلع الفجر وفى فيه طعام فليلفظه فان لفظه صح صومه فان ابتلعه افطر
“Jika fajar terbit dan di dalam mulut terdapat makanan, maka muntahkanlah. Jika makanan tersebut dimuntahkan, maka puasanya sah. Jika terus ditelan, batallah puasanya. ” (Al-Majmu’, 6:308).
Begitu pula Imam Nawawi mengatakan, “Jika seseorang mendapati terbit fajar shubuh dan makanan masih ada di mulutnya, maka muntahkanlah dan sempurnakanlah puasanya. Jika makanan tersebut ikut tertelan setelah ia mengetahui fajar shubuh sudah terbit, puasanya batal. Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam kitab shahih juga terdapat beberapa hadits yang semakna dengannya.”
Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas. (Lihat Al-Majmu’, 6:311-312).
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun, lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.” (Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link http://islamqa.com/ar/ref/66202)
Hadits #192 – #194
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا سَمِعْتُمْ اَلنِّدَاءَ, فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar azan, ucapkanlah seperti yang diucapkan muazin.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 611 dan Muslim, no. 383]
وَلِلْبُخَارِيِّ: عَنْ مُعَاوِيَةَ
Dalam riwayat Bukhari disebutkan, haditsnya dari Mu’awiyah. [HR. Bukhari, no. 612, 613]
وَلِمُسْلِمٍ: – عَنْ عُمَرَ فِي فَضْلِ اَلْقَوْلِ كَمَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ كَلِمَةً كَلِمَةً, سِوَى اَلْحَيْعَلَتَيْنِ, فَيَقُولُ: “لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ” – .
Dalam riwayat Muslim, dari Umar tentang keutamaan ucapan hendaklah yang mendengarkan azan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan muazin satu demi satu, kecuali pada kalimat hay’alatain (hayya ‘alash sholah dan hayya ‘alal falah), hendaklah mengucapkan, “LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH.” [HR. Muslim, no. 385]
Faedah hadits
- Disunnahkan mengikuti lafazh azan, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
- Mengikuti muazin itu pada seluruh lafazh azan kecuali pada kalimat hay’alataini (hayya ‘alash sholaah dan hayya ‘alal falaah) diikuti dengan ucapan “LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH”. Termasuk kalimat “ash-sholaatu khoirum minan nauum” diikuti dengan kalimat yang sama.
- Kenapa jawaban untuk hay’alataini (hayya ‘alash sholaah dan hayya ‘alal falaah) itu dengan kalimat “LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH”? Karena kita bisa menghadiri shalat berjamaah dan mendirikan shalat hanya dengan kekuatan dan pertolongan dari Allah.
- Mengikuti ucapan azan tetap ada ketika melakukan thawaf keliling Kabah karena azan itu ucapan dzikir.
- Kalau sedang shalat, ucapan muazin tidak perlu diikuti karena keadaan dalam shalat sudah sangat-sangat menyibukkan, “inna fish sholaati la-syughlaa”.
- Tempat yang dilarang berdzikir seperti saat di kamar mandi dan saat hubungan intim tidak perlu menjawab (mengikuti) ucapan azan.
- Muazin tidak mengikuti ucapan azan untuk dirinya sendiri.
- Bagaimana kalau ucapan azan yang didengar dari beberapa tempat? Jawabannya, semua azan yang didengar itu diikuti (dijawab), itu lebih baik. Ingat, menjawab azan tadi hukumnya sunnah, bukan wajib.
- Mengikuti ucapan azan itu ada setelah kalimat azan diucapkan, bukan bersamaan dengan ucapan kalimat azan.
- Kalau mendengar azan mulai dari pertengahan, maka yang diikuti (dijawab) adalah sisa yang didengar.
- Mengikuti ucapan muazin disyaratkan jika mendengar azan, walaupun tidak menyaksikan muazin.
- Keutamaan pahala dari mengikuti azan adalah: (a) diampuni dosa-dosanya, (b) setelah azan lalu berdoa, maka doanya diijabahi, (c) mendapatkan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid kedua.
Baca Juga:
Disusun @ Darush Sholihin, 28 Muharram 1441 H (menjelang Shubuh, 28 September 2019)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com