Puasa

Safinatun Najah: Qadha’, Kafarat, dan Pembatal Puasa

Sekarang kita pelajari qadha’ puasa, kafarat puasa, hingga pembatal puasa dari Safinatun Najah.  

 

[Qadha’ dan Kafarat]

 

وَيَجِبُ مَعَ الْقَضَاءِ لِلْصَّوْمِ الْكَفَّارَةُ الْعُظْمَى وَالْتَعْزِيْزُ عَلَى مَنْ أفْسَدَ صَوْمَهُ فِيْ رَمَضَانَ يَوْماً كَامِلاً بِجِمَاعٍ تَامٍّ آثِمٍ بِهِ لِلْصَّوْمِ.

وَيَجِبُ مَعَ الْقَضَاءِ: الإمْسَاكُ لِلصَّوْمِ فِيْ سِتَّةِ مَوَاضِعَ:

الأوَّلُ: فِيْ رَمَضَانَ، لاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى مُتَعَدٍّ بِفِطْرِهِ.

وَالثَّانِي: عَلَى تَارِكِ النِّيَّةِ لَيْلاً فِيْ الْفَرْضِ.

وَالثَّالِثُ: عَلَى مَنْ تَسَحَّرَ ظَانّاً بَقَاءَ اللَّيْلِ، فَبَانَ خِلاَفُهُ.

وَالرَّابعُ: عَلَى مَنْ أَفْطَرَ ظَانّاً الْغُرُوْبَ، فَبَانَ خِلاَفُهُ أيْضَاً.

والْخَامِسُ: عَلَى مَنْ بَانَ لَهُ يَوْمُ ثَلاَثِيْنَ شَعْبَانَ أنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ؟

وَالسَّادِسُ: عَلَى مَنْ سَبَقَهُ مَاءُ الْمُبَالَغَةِ مِنْ مَضْمَضَةٍ وَاسْتِنْشَاقٍ.

 

Fasal: Wajib disertai mengqadha’ puasa, membayar kafarat besar, dan ta’zir (peringatan) atas orang yang merusak puasanya di bulan Ramadan sehari penuh dengan jimak, juga dia berdosa karena hal tersebut.

 

Wajib menahan diri (dari makan, minum, dan jimak) disertai mengqadhanya dalam 6 tempat, yaitu

[1] di Ramadan tidak di selainnya bagi orang yang sengaja membatalkannya,

[2] orang yang tidak niat di malam hari untuk Ramadan,

[3] atas orang yang sahur dengan dugaan masih malam padahal bukan,

[4] atas orang yang berbuka dengan dugaan Maghrib padahal belum,

[5] atas orang yang jelas baginya hari ke-30 bulan Syakban, ternyata sudah masuk Ramadan, dan

[6] atas orang yang memakai air berlebihan saat madhmadhoh (berkumur-kumur) dan instinsyaq (mengeluarkan air dari hidung).

[Pembatal Puasa]

 

يَبْطُلُ الصَّوْمُ:

1- بِرِدَّةٍ.

وَ2- حَيْضٍ.

وَ3- نِفَاسٍ.

وَ4- وِلاَدَةٍ.

وَ5- جُنُوْنٍ وَلَوْ لَحْظَةً.

وَ6- وَ7- بِإِغْمَاءٍ وَسُكْرٍ تَعَدَّى بِهِمَا إنْ عَمَّا جَمِيْعَ النَّهَارِ.

Fasal: Puasa batal karena: [1] murtad, [2] haidh, [3] nifas, [4] melahirkan, [5] gila meski sebentar, [6-7] pingsan dan mabuk jika terjadi di siang hari.

 

Catatan Dalil

Pertama: Batal puasa karena hubungan intim

Adapun dalil tentang hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seks di siang hari bulan Ramadhan saat puasa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah berikut ini, ia menyatakan, “Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111). Kesimpulan penjelasan dalam matan Safinatun Najah, hukuman bagi yang berhubungan intim di siang hari Ramadan:

  1. Puasa batal
  2. Qadha’ puasa
  3. Berdosa
  4. Bayar kafarat besar
  5. Ta’zir (peringatan)

 

Kedua: Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidup bagi yang berpuasa

Dalam hadits Laqith bin Shaburah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

Masukkanlah air dengan benar ke dalam hidung kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2366, An Nasai no. 87, Tirmidzi no. 788, Ibnu Majah no. 407. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama Syafi’iyah dan pendapat Imam Syafi’i tetap disunnahkan bagi orang yang berpuasa saat berwudhu untuk berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung, sebagaimana yang tidak berpuasa disunnahkan demikian. Akan tetapi bagi yang berpuasa disyaratkan tidak berlebih-lebihan (mubalaghah). Yang terjadi perselisihan, ketika masuk air dalam rongga tubuh saat berkumur-kumur atau memasukkan air dalam hidung. Pendapat ulama Syafi’iyah adalah batal jika memasukkan airnya berlebihan. Namun jika tidak berlebihan, tidaklah batal.” (Al-Majmu’, 6:230)  

Ketiga: Haidh dan nifas membatalkan puasa

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari, no. 304 dan Muslim, no. 79). Syaikh Musthafa Al-Bugha berkata, “Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqadha’ puasa pada hari tersebut.” (Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 344).  

Keempat: Gila, pingsan, dan murtad

Muhammad Al-Hishni berkata, “Jika datang gila atau ada yang murtad, maka batallah puasa karena tidak termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 251). Dijelaskan oleh Muhammad Al-Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasan Kifayah Al-Akhyar, hlm. 251 dan Hasyiyah Al-Baijuri, 1:561. Semoga bermanfaat.  

Referensi:

  1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Cetakan kesepuluh, Tahun 1430 H. Dr. Musthafa Al-Khin, Dr. Musthafa Al-Bugha, ‘Ali Syarji. Penerbit Darul Qalam.
  2. Kifayah Al-Akhyar fii Halli Ghayah Al-Ikhtishar. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al-Hishni. Penerbit Darul Minhaj.

 


  Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button