Shalat

Mengeraskan Suara pada Dzikir Sesudah Shalat

Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama’ah dengan dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan mengeraskan suara?

Dalil yang Jadi Rujukan

Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ

Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)

Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,

فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة

Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)

Pendapat Jumhur

Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang mengatakan, “Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya’ dengan tiga kali takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Battol dalam Al ‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, “Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).” (Fathul Bari, 2: 325-326)

Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.

Pijakan Jumhur

Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »

Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.

Ath Thobari rahimahullah berkata,

فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى

“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari, 6: 135)[1]

Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu.  Beliau boleh jadi pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas ulama lainnya. Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 151) berkata,

وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم

“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.”

Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا

Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)

Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, “Do’a jama’i atau berjama’ah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.” Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.” (Al I’tishom, 1: 351)

Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang telah kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan satu suara (dzikir jama’ah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi oleh seorang imam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak dengan suara keras.

Faedah dari Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, “Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

Allah menceritakan tentang Zakariya,

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)

Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205). Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ

Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketika dalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan hal ini. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 468-469)

Faedah Dzikir dengan Lirih

Berikut di antara faedah dzikir dan do’a lebih baik dengan suara lirih:

Pertama: Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir dengan melirihkan suara berarti mengimani Allah akan selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.

Kedua: Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.

Ketiga: Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu’an yang merupakan ruh dan inti do’a. Orang yang meminta tentu saja akan merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul dari orang yang mengeraskan do’anya.

Keempat: Lebih meraih keikhlasan. [2]

Penutup

Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayat lainnya. Yang tidak tepat bahkan dinilai bid’ah adalah berdo’a dan berdzikir berjama’ah dengan satu suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas.

عَنْ عَائِشَةَ ( وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا ) أُنْزِلَتْ فِى الدُّعَاءِ .

Dari ‘Aisyah, mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah do’a. (HR. Bukhari no. 6327)

Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Sabic Lab, Riyadh KSA, 25 Dzulhijjah 1432 H

www.rumaysho.com

Baca Juga:


[1] Perkataan Ath Thobari berbeda dengan perkataan beliau sebelumnya yang membolehkan dzikir sesudah shalat dengan suara keras.

[2] Tulisan di atas banyak diolah dari link: http://www.saaid.net/Doat/ehsan/108.htm

Artikel yang Terkait

17 Komentar

  1. assalamu’alaikum,
    bagaimana jika dalam suatu ta’lim atau pengajian, diawali dengan dzikir.
    satu orang mengeraskan suaranya terlebih dahulu, dengan maksud memberi contoh bacaan bagi yang tidak tahu atau tidak hafal.
    tentu saja pasti dalam sekumpulan orang2 itu suara dan bacaannya bersahutan, tidak satu suara, tergantung masing2.
    bagaimana itu hukumnya?

    1. Waalaikumussalam

      Spt itu tdk ada tuntunannya

      Muhammad Abduh Tuasikal
      Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia

      By my IPhone

      في 18 Mar 2012، الساعة 10:13 AM، كتب “Disqus” :

  2. saya melakukan kedua-duanya……yg penting kekhusyuan dalam berdoa. terlepas dari keras atau pelan. tatkala saya sedang memimpin, saya mengeraskan suara saya, tatkala sedang sendiri,cukup saya saja yang mendengar.

  3. Syaikh ibnul ‘Utsaymiin berkata dalam risalahnya:

    mengatakan dalam risalahnya:

    إن الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة، دل عليها ما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما –

    Mengeraskan dzikir saat selesai sholat wajib adalah SUNNAH, hal itu
    telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari
    haditsnya Abdulloh bin Abbas -rodliallohu anhuma- (ia mengatakan):

    أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم

    “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari sholat wajib, itu
    telah ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-“.

    قال: “وكنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته”.

    Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.

    ورواه الإمام أحمد وأبو داود . وهذا الحديث من أحاديث العمدة،

    Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits
    ini termasuk diantara hadits-hadits utama (dalam masalah ini).

    وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة – رضي الله عنه – قال:

    Dalam kitab shohihain, dari haditsnya al-Mughiroh bin Syu’bah -rodliallohu anhu-, ia mengatakan:

    سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة: “لا إله إلا الله وحده لا شريك له”. الحديث،

    “Aku pernah mendengar Nabi -shollallohu alaihi wasallam- jika selesai
    sholat (wajib), ia membaca dzikir: “la ilaaha illalloohu wahdahuu laa
    syariika lah…” (hingga akhir hadits).

    ولا يسمع القول إلا إذا جهر به القائل. وقد اختار الجهر بذلك

    Dan dia tidak akan mendengar bacaan dzikir itu, kecuali orang yang mengucapkannya mengeraskan suaranya.

    شيخ الإسلام ابن تيميه -رحمه الله- وجماعة من السلف، والخلف، لحديثي ابن عباس، والمغيرة رضي الله عنهم.

    (Bahkan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- dan sekelompok
    ulama salaf telah memilih pendapat (sunnahnya) mengeraskan dzikir,
    dengan dasar dua hadits, yakni haditsnya Ibnu Abbas dan al-Mughiroh
    -rodliallohu anhum-.

    والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد الصلاة سواء كان تهليلاً، أو
    تسبيحاً، أو تكبيراً، أو تحميداً لعموم حديث ابن عباس، ولم يرد عن النبي
    صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره

    Mengeraskan dzikir di sini, berlaku umum untuk semua dzikir setelah
    sholat yang disyariatkan, baik itu berupa tahlil, atau tasbih, atau
    takbir, atau tahmid. Karena umumnya redaksi hadits Ibnu Abbas. Dan
    tidak ada keterangan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- yang
    membedakan antara tahlil dan yang lainnya.

    بل جاء في حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله
    عليه وسلم بالتكبير، وبهذا يعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح
    والتحميد والتكبير.

    Bahkan dalam haditsnya Ibnu Abbas dikatakan, bahwa para sahabat
    dahulu tahu selesainya sholat Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dengan
    takbir. Keterangan ini, membantah orang yang berpendapat tidak bolehnya
    mengeraskan suara kecuali pada tasbih, tahmid dan takbir.

    وأما من قال: إن الجهر بذلك بدعة فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بدعة؟!…

    Adapun orang yang mengatakan, bahwa mengeraskan (dzikir setelah
    sholat) itu bid’ah, maka sungguh ia salah (dalam hal ini), karena
    bagaimana mungkin sesuatu yang ada di zaman Nabi -shollallohu alaihi
    wasallam- dikatakan bid’ah?!

    وأما احتجاج منكر الجهر بقوله تعالى:

    Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (dzikir setelah sholat ini) dengan firman-Nya:

    (وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ).

    “Sebutlah (wahai Muhammad) nama Tuhanmu di dalam dirimu, dengan
    rendah hati dan suara yang lirih serta tidak mengeraskan suara, ketika
    awal dan akhir hari. Dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai”

    (al-A’rof: 205).

    فنقول له: إن الذي أمر أن يذكر ربه في نفسه تضرعاً وخيفة هو الذي كان يجهر بالذكر خلف المكتوبة،

    Maka bisa dijawab dengan mengatakan: “Sesungguhnya yang diperintah
    untuk berdzikir dalam diri dengan rendah hati dan suara lirih (yaitu
    Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau juga yang dulunya
    mengeraskan dzikir setelah sholat wajib.”

    فهل هذا المحتج أعلم بمراد الله من رسوله، أو يعتقد أن الرسول صلى الله عليه وسلم يعلم المراد ولكن خالفه؟!…

    Lalu apakah orang itu lebih tahu maksud Alloh dalam ayat itu melebihi
    rosul-Nya?! Ataukah ia beranggapan bahwa Rosul -shollallohu alaihi
    wasallam- sebenarnya tahu maksud ayat itu, tapi beliau sengaja
    menyelisihinya?!

    وأما احتجاج منكر الجهر أيضاً بقوله صلى الله عليه وسلم: “أيها الناس اربعوا على أنفسكم”. الحديث فإن الذي

    Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (dzikir setelah sholat ini) dengan hadits berikut:

    قال: “أيها الناس أربعوا على أنفسكم”

    Rasulullah bersabda: “Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena
    kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang …! (sampai akhir hadits)”.

    هو الذي كان يجهر بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، فهذا له محل، وذاك له محل، وتمام المتابعة أن تستعمل النصوص كل منها في محله…

    (Maka bisa dijawab dengan mengatakan…) Sesungguhnya orang yang
    menyabdakan hal itu, dia juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah
    sholat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempat sendiri,
    sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti
    sunnah beliau adalah dengan memakai semua nash yang ada, pada tempatnya
    masing-masing.

    أما من قال: إن في ذلك تشويشاً

    Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya:

    فيقال له: إن أردت أنه يشوش على من لم يكن له عادة بذلك ، فإن المؤمن إذا تبين له أن هذا هو السنة زال عنه التشويش،

    Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu,
    maka hal itu akan hilang (dengan sendirinya), ketika ia tahu bahwa
    amalan itu adalah sunnah.

    إن أردت أنه يشوش على المصلين، فإن المصلين إن لم يكن فيهم مسبوق
    يقضي ما فاته فلن يشوش عليهم رفع الصوت كما هو الواقع، لأنهم مشتركون فيه.

    Jika maksudmu akan mengganggu orang yang shalat, maka jika tidak ada
    ma’mum yang masbuq, tentu hal itu tidak akan mengganggu mereka,
    sebagaimana fakta di lapangan. Karena mereka sama-sama mengeraskan
    dzikirnya.

    وإن كان فيهم مسبوق يقضي فإن كان قريباً منك بحيث تشوش عليه فلا
    تجهر الجهر الذي يشوش عليه لئلا تلبس عليه صلاته، وإن كان بعيداً منك فلن
    يحصل عليه تشوش بجهرك.

    Adapun jika ada ma’mum masbuq yang sedang menyelesaikan sholatnya,
    maka jika ia dekat denganmu hingga kamu bisa mengganggunya dengan
    (kerasnya) suara dzikirmu, maka janganlah kamu meninggikan suara dengan
    tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu
    sholatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka tentu kerasnya suara
    (dzikir)-mu tidak akan mengganggunya sama sekali.

    وبما ذكرنا يتبين أن السنة رفع الصوت بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، وأنه لا معارض لذلك لا بنص صحيح ولا بنظر صريح،

    Dengan keterangan yang kami sebutkan di atas, menjadi jelas bagi
    kita, bahwa mengeraskan dzikir setelah sholat wajib adalah sunnah. Hal
    itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shohih maupun dengan
    sisi pendalilan yang sharih (jelas).

    وأسأل الله تعالى أن يرزقنا جميعاً العلم النافع والعمل الصالح،
    إنه قريب مجيب، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

    Aku memohon kepada Alloh, semoga Dia memberikan kita semua ilmu yang
    bermanfaat dan ilmu yang baik, sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha
    mengabulkan doa.

    (selesai kutipan)

    maka dalil-dalil yang dibawakan penulis (rumaysho.com) diatas, adalah dalil umum akan dzikir, yaitu hukum asalnya di sirr-kan. adapun dzikir setelah shalat, maka di jahr-kan menurut pendapat yang paling kuat.

    bahkan syaikhul Islam yang dibawakan penulis diatas ttg faidah disirr-kan dzikir, berpendapat akan sunnahnya dikeraskannya dzikir setelah shalat. hal itu dikarenakan penulis SALAH MENEMPATKAN penjelasan syaikhul islam, yang mana penjelasan tersebut adalah penjelasan ttg DZIKIR SECARA UMUM, bukan dzikir setelah shalat.

    apakah kita katakan shalat di rumah pada waktu shalat wajib lebih utama daripada shalat di mesjid karena lebih menjaga keikhlashan? tentu tidak, karena ini SALAH dalam penempatan dalil, shalat berjama’ah di mesjid lebih utama daripada shalat di rumah.

    Demikian dalil-dalil dan sudut pandang para ulama yang mengatakan bahwa mengeraskan dzikir setelah shalat adalah sunnah. tentunya tidak dengan dipimpin imam, tidak pula satu suara, akan tetapi sendiri-sendiri.

    ana tidak paham kenapa comment ana sebelumnya tidak masuk, semoga saja bukan kesengajaan admin untuk tidak menampilkannya, semoga saja comment yang ini bisa terlihat dan terposting.

    billaahit taufiq.

    ana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button