Tafsir Al Qur'an

Faedah Surat An-Nuur #26: Berbuat Baik pada Budak

 

Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada sesama, termasuk pula pada budak yang asalnya dimiliki oleh seorang tuan. Ini masih kelanjutan dari surat An-Nuur ayat 33.

 

Tafsir Surah An-Nuur

Ayat 33

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (QS. An-Nuur: 33)

 

Perintah Berbuat Baik pada Budak

 

Di antara ayat yang memerintahkan berbuat baik pada budak adalah,

۞وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖوَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisaa’: 36)

Maksud ayat, kata Ibnu ‘Abbas, sembahlah Allah adalah tauhidkanlah Allah.

Dalam ayat juga diperintah berbuat baik pada kedua orang tua.

Selanjutnya diperintahkan berbuat baik pada karib-kerabat, anak yatim, dan orang miskin.

Kemudian diperintah berbuat baik pada tetangga, mulai dari al-jaari dzil qurba. Siapa itu? Ada dua pendapat dalam hal ini. Ada yang menyatakan itu adalah tetangga yang punya hubungan kerabat. Hal ini menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas. Ada yang menyatakan bahwa al-jaari dzil qurba adalah tetangga muslim.

Sedangkan tetangga jenis kedua adalah tetangga yang tidak punya hubungan kerabat yaitu disebut al-jaarul junub. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-jaarul junub adalah tetangga Yahudi dan Nashrani.

Berarti kita diperintahkan terlebih dahulu berbuat baik pada tetangga yang masih punya kerabat, apalagi muslim.

Juga diperintahkan untuk berbuat baik pada ash-shahib bil janbi. Siapakah itu? Ada ulama yang berpendapat, itu adalah istri. Ada juga yang menyatakan itu adalah teman saat safar. Begitu pula ada pendapat yang menyatakan, itu adalah teman secara umum.

Lalu dalam ayat disebutkan lagi bentuk berbuat baik pada ibnu sabil, yaitu musafir yang terputus perjalanan. Begitu pula diperintahkan berbuat baik pada budak yang dimiliki.

Demikian penjelasan di atas disarikan dari Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam kitabnya Zaad Al-Masiir.

Dalam hadits disebutkan pula bagaimanakah perintah berbuat baik pada budak.

Al-Ma’rur bin Suwaid berkata, “Aku melihat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu mengenakan pakaian yang sama dengan pelayannya. Maka aku menanyakan itu kepadanya, ia pun menyebutkan bahwa ia pernah saling mencanci dengan seorang lelaki di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Abu Dzarr mencelanya dengan mencela ibunya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seseorang yang ada dalam dirimu ada sifat jahiliyyah. Mereka adalah saudara dan pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah kekuasaan tangan-tangan kalian. Maka barangsiapa yang keadaan saudaranya berada di bawah kuasanya, hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, memberi ia pakaiaan dari apa yang ia pakai, dan janganlah kalian memberi mereka pekerjaan yang tidak mereka mampui. Lalu jika kalian membebaninya pekerjaan, maka tolonglah mereka.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 30 dan Muslim, no. 1661)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila pelayan salah seorang di antara kalian datang kepadanya dengan membawa makanan, maka jika ia tidak mengajaknya duduk (makan) bersamanya, hendaklah ia memberikan kepada pelayan tersebut satu atau dua suap makanan, karena itu dapat mengobatinya (dari rasa lelah membuat makanan).” (HR. Bukhari, no. 5460)

Dua hadits di atas dibawakan oleh Imam Nawawi rahimahullahdalam Riyadh Ash-Shalihin pada Bab 237 tentang keutamaan berbuat baik kepada mamluk (budak atau hamba sahaya).

 

Kisah Barirah yang Ingin Bebas dengan Mukatabah

 

Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Barirah adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah ke mana ia pergi sambil menangis (karena mengharapkan cinta Barirah, pen.). Air matanya mengalir membasahi jenggotnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta Mughits kepada Barirah namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Barirah, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!”

Barirah mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku hanya ingin menjadi perantara (syafi’).” Barirah mengatakan, “Aku sudah tidak lagi membutuhkannya.” (HR. Bukhari, no. 5283)

Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan,

ذَاكَ مُغِيثٌ عَبْدُ بَنِى فُلاَنٍ – يَعْنِى زَوْجَ بَرِيرَةَ – كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَتْبَعُهَا فِى سِكَكِ الْمَدِينَةِ ، يَبْكِى عَلَيْهَا

“Itu adalah Mughits, budak milik bani fulan, dia adalah suami dari Barirah. Mughits terus membuntuti Barirah di jalan-jalan kota Madinah, sambil mengharap belas kasihan dari Barirah.” (HR. Bukhari, no. 5281).

Dari ‘Aisyah, ia menceritakan,

Aku pernah membeli seorang budak bernama Barirah. Lantas pemilik sebelumnya menyaratkan hak wala’ padanya (artinya: artinya warisan jadi milik pemiliknya yang dulu, bukan pada orang yang memerdekakannya). Aku pun menceritakan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau berkata,

أَعْتِقِيهَا ، فَإِنَّ الْوَلاَءَ لِمَنْ أَعْطَى الْوَرِقَ

“Bebaskanlah Barirah. Hak wala’ tetap jadi milik orang yang memerdekakan.”

Aku pun memerdekakan Barirah. Setelah merdeka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah lalu memberikan hak pilih kepada Barirah antara tetap menjadi istri Mughits atau berpisah dari suaminya yang masih berstatus budak.

Barirah mengatakan, “Walau Mughits memberiku sekian banyak harta aku tidak mau menjadi isterinya.” Barirah memilih untuk tidak lagi bersama suaminya.” (HR. Bukhari, no. 2536).

Adapun kisah tentang pembebasan Barirah oleh ‘Aisyah disebutkan dalam hadits berikut.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Bariroh (budak wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi Aisyah, lantas ia meminta pada Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada tuannya, disebut akad mukatabah, -pen). Aisyah mengatakan, “Jika engkau mau, aku akan memberikan sejumlah uang pada tuanmu untuk pembebasanmu. Namun hak wala’mu untukku -di mana wala’ itu adalah hak warisan yang jadi milik orang yang memerdekakannya nantinya-.

Lantas majikan Bariroh berkata, “Aku mau, namun hak wala’mu tetap untukku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang dan Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun bersabda, “Bebaskan dia -Bariroh-, tetapi yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata di atas mimbar,

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ

Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari, no. 456 dan Muslim, no. 1504).

Semoga bermanfaat, masih berlanjut tafsir dari ayat ini insya Allah.

 

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Surat An-Nuur. Cetakan kedua, Tahun 1423 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Riyadh Ash– Imam Yahya bin Syarf An-Nawawi.
  3. Zaad Al-Masiir fii ‘Ilmi At-Tafsiir.Cetakan keempat, Tahun 1407 H. Abul Faraj Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi Al-Qurasyi Al-Baghdadi. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

Selesai disusun #darushsholihin, 20 Jumadal Ula 1440 H (26 Januari 2019)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button