Renungan #06, Rajin Bersedekah, Mudah Memaafkan dan Menahan Marah
Renungan yang sangat berharga untuk kali ini,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan..” (QS. Ali Imran: 134)
Ada tiga sifat mulia yang hendaknya dimiliki setiap muslim dari ayat di atas.
Pertama: Rajin Bersedekah
Ia dalam keadaan susah dan lapang, sehat dan sakit serta dalam setiap kondisi tetap berusaha untuk bersedekah.
Kata Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaad Al-Masiir (1: 460), Ibnu ‘Abbas berkata bahwa mereka berinfak baik dalam keadaan susah maupun lapang. Sedangkan maksud ayat adalah mereka tetap bersedekah dan tidak lupa untuk bersedekah saat dalam keadaan lapang. Ketika susah pun, mereka tetap bersedekah. Artinya, lepas dari mereka sifat pelit.
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, “Saat sulit tetap sedekah, saat lapang juga bersedekah. Jika berada dalam keadaan lapang, ia perbanyak sedekahnya. Jika dalam keadaan sulit, ia tetap berbuat baik walau sedikit.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148)
Dalam ayat lainnya disebutkan mengenai balasan dari orang yang rajin sedekah,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274)
Ada motivasi untuk bersedekah dalam keadaan sehat yaitu disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ
“Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat disertai pelit (sulit mengeluarkan harta), saat kamu takut menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda sedekah itu hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 1032).
Yang dimaksud keadaan sehat di sini adalah dalam keadaan tidak tertimpa sakit. Adapun pelit atau syahih yang dimaksud adalah pelit ditambah punya rasa tamak.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa orang pelit itu ketika dalam keadaan sehat jika ia berbaik hati bersedekah dalam keadaan sehat seperti itu, maka terbuktilah akan benarnya niatnya dan besarnya pahala yang diperoleh. Hal ini berbeda dengan orang yang bersedekah saat menjelang akhir hayat atau sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka sedekah ketika itu masih terasa kurang berbeda halnya ketika sehat. (Syarh Shahih Muslim, 7: 112)
Ada juga keutamaan bersedekah dalam keadaan susah. Dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al Khots’ami, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang paling afdhol. Jawab beliau,
جَهْدُ الْمُقِلِّ
“Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. An-Nasa’I, no. 2526. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits di atas ada beberapa tafsiran. Ada ulama yang mengatakan maksudnya adalah keutamaan sedekah saat susah. Ada yang mengatakan bahwa sedekah tersebut dilakukan dalam keadaan hati yang senantiasa “ghina” yaitu penuh kecukupan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah bersedekah dalam keadaan miskin dan sabar dengan kelaparan. (Lihat ‘Aun Al-Ma’bud, 4: 227)
Dalam hadits disebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ قَالُوا وَكَيْفَ قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ دِرْهَمَانِ تَصَدَّقَ بِأَحَدِهِمَا وَانْطَلَقَ رَجُلٌ إِلَى عُرْضِ مَالِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ فَتَصَدَّقَ بِهَا
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dirham dapat mengungguli seratus ribu dirham“. Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau jelaskan, “Ada seorang yang memiliki dua dirham lalu mengambil satu dirham untuk disedekahkan. Ada pula seseorang memiliki harta yang banyak sekali, lalu ia mengambil dari kantongnya seratus ribu dirham untuk disedekahkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2527 dan Imam Ahmad 2: 379. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Hadits ini menunjukkan keutamaan sedekah dari orang yang susah dibanding dengan orang yang memiliki harta melimpah.
Kedua: Menahan Amarah
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, jika ada yang ingin mengobarkan amarah sampai dalam hati penuh dendam, inginnya membalas dengan perkataan dan perbuatan, maka mereka yang dipuji dalam ayat ini tidak mempraktikkan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka. Mereka berusaha menahan amarah. Mereka berusaha sabar ketika disakiti oleh orang lain. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148)
Dalam puasa pun kita diajarkan untuk bisa menahan amarah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari, no. 1904; Muslim, no. 1151)
Lihatlah balasan untuk orang yang ingin mencela kita sehingga bisa membangkitkan amarah adalah dengan sabar dan balas dengan tutur kata yang baik.
Ibnu Batthal mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta’ala,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.” (Syarh Al-Bukhari, 17: 273)
Keutamaan menahan marah disebutkan dalam hadits dari Mu’adz bin Anas, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
“Siapa yang dapat menahan marahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat sehingga orang itu memilih bidadari cantik sesuka hatinya.” (HR. Abu Daud no. 4777 dan Ibnu Majah no. 4186. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergelut. Yang kuat, itulah yang kuat menahan marahnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Yang namanya kuat bukanlah dengan pandai bergelut. Yang disebut kuat adalah yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari, no. 6114; Muslim, no. 2609)
Ketiga: Mudah Memaafkan
Yang dimaksud di sini adalah mudahkan memaafkan orang yang menyakiti kita dengan perkataan dan perbuatan. Memaafkan itu lebih utama dari sekedar menahan amarah. Memaafkan itu berarti tidak ingin membalas dan tetap berbuat baik pada yang berbuat jahat pada kita. Tentu yang mudah memaafkan adalah orang yang memiliki akhlak yang luar biasa. Tentu yang diharap dari memaafkan di sini adalah pahala di sisi Allah, bukan balasan dari manusia. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40). Demikian dijelaskan oleh Syaikh As-Sa’di dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148.
Orang yang pemaaf yang tidak mau membalas dipuji oleh Rasul dalam hadits saat beliau memberikan wasiat pada Jabir bin Sulaim,
وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
“Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud, no. 4084; Tirmidzi, no. 2722. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).
Intinya semua yang dicontohkan di atas adalah bentuk berbuat ihsan (berbuat baik) pada sesama.
Hanya Allah yang memberi taufik untuk meraih tiga akhlak mulia di atas.
—
Disusun @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 8 Ramadhan 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam