Muamalah

Matan Taqrib: Akad Wakalah (Pemberian Kuasa)

Apa itu akad wakalah (pemberian kuasa)? Bagaimana rukun dan syarat-syaratnya?

 

 

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

وَكُلُّ مَا جَازَ لِلْإِنْسَانِ التَّصَرُّفُ فِيْهِ بِنَفْسِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيْهِ أَوْ يَتَوَكَّلَ. وَالوَكَالَةُ عَقْدٌ جَائِزٌ وَلِكُلٍّ مِنْهُمَا فَسْخُهَا مَتَى شَاءَ وَتَنْفَسِخُ بِمَوْتِ أَحَدِهِمَا وَالوَكِيْلُ أَمِيْنٌ فِيْمَا يَقْبِضُهُ وَفِيْمَا يَصْرِفُهُ وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّفْرِيْطِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَبِيْعَ وَيَشْتَرِي إِلاَّ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ : أَنْ يَبِيْعَ بِثَمَنِ المِثْلِ وَأَنْ يَكُوْنَ نَقْدًا بِنَقْدِ البَلَدِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَبِيْعَ مِنْ نَفْسِهِ وَ لاَ يُقِرُّ عَلَى مُوَكِّلِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.

Setiap perkara yang diperbolehkan bagi seseorang untuk melaksanakannya, maka boleh pula mewakilkan atau diwakilkan kepada orang lain.

Wakalah adalah akad JA’IZ (boleh). Masing-masing pihak boleh membatalkannya kapan pun jika menginginkannya. Wakalah ini menjadi batal dengan meninggalnya salah satu pihak.

Orang yang diserahi tugas mewakili hendaknya adalah orang yang dapat dipercaya dalam menjaga maupun menjalankannya. Seorang wakil tidak dibebani risiko kecuali jika ia teledor.

Seorang wakil tidak boleh melakukan jual beli, kecuali dengan tiga syarat:

  1. Menjual dengan harga standar.
  2. Harus tunai (naqdan).
  3. Menggunakan mata uang setempat.

Tidak boleh menjual dengan mengatasnamakan dirinya dan mengakui barang yang diwakilkan atas namanya sendiri, kecuali dengan izin orang yang mewakilkan.

 

Penjelasan:

  • Al-wakalah secara bahasa berarti at-tafwiidh, menyerahkan.
  • Al-wakalah secara istilah berarti melimpahkan sesuatu yang dimiliki untuk dilakukan yang lain pada hal yang boleh digantikan dan dikerjakan ketika hidup.

Allah Ta’ala berfirman,

فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا

“Maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.” (QS. An-Nisaa’: 35)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewakilkan kepadaku untuk menjaga zakat Ramadhan.” (HR. Bukhari)

  • Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
  • Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama.

 

Rukun wakalah

  1. Muwakkil, pemberi kuasa.
  2. Wakil, penerima kuasa.
  3. Muwakkal fiihi, objek yang dikuasakan.
  4. Shighah, adanya lafazh

 

Syarat muwakkil (pemberi kuasa)

  • Boleh digantikan.

 

Syarat wakil (penerima kuasa)

  1. Sah jika dikuasakan kepadanya, yang tidak termasuk adalah anak kecil dan majnun.
  2. Ta’yin, ditentukan siapa yang diberi kuasa.

 

Syarat muwakkal fiih (objek yang dikuasakan)

  1. Sudah dimiliki oleh muwakkil (pemberi kuasa). Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang tidak dimiliki.
  2. Boleh diwakilkan, yang tidak boleh misalnya dalam shalat dan iqrar (pengakuan).
  3. Sudah diketahui, seperti perkataan: aku wakilkan kepadamu dalam penjualan mobilku ini.

 

Syarat shighah

  1. Ada lafazh yang menunjukkan keridaan dari penerima kuasa atau pemberi kuasa.
  2. Tidak boleh ada penolakan dari yang lain.
  3. Tidak menggunakan ta’liq, lafaz yang menunjukkan syarat. Seperti yang tidak sah adalah dengan mengatakan: Jika datang bulan Ramadhan, aku kuasakan untuk penjualan mobilku ini.

 

Catatan:

  • Setiap perkara yang diperbolehkan bagi seseorang untuk melaksanakannya, maka boleh pula memberi kuasa atau menerima kuasa. Yang tidak boleh adalah memberi kuasa kepada yang lain pada harta milik yang lain.
  • Wakalah adalah akad JA’IZ (boleh). Masing-masing pihak boleh membatalkannya kapan pun jika menginginkannya. Wakalah ini menjadi batal dengan meninggalnya salah satu pihak, gila, atau pingsan, bisa juga karena sesuatu yang diwakilkan tidak lagi menjadi milik muwakkil.
  • Penguasaan orang yang menerima kuasa pada objek yang dikuasakan adalah AMANAH, artinya tidaklah ada dhaman (ganti rugi) kecuali ada keteledoran. Apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua risiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
  • Jika objek yang dikuasakan itu musnah, maka orang yang menjadi penerima kuasa (wakil) bisa diterima perkataannya dengan SUMPAH.

 

Syarat jual beli yang dilakukan oleh wakil (yang diberi kuasa)

  1. Menjual dengan harga standar.
  2. Jual belinya naqdan (tunai), tidak boleh dengan pembayaran tertunda.
  3. Menggunakan mata uang setempat, tempat jual beli, bukan mata uang di negeri si penerima kuasa.

Jika tiga syarat tersebut tidak dipenuhi oleh si penerima kuasa (wakil), maka ia dianggap muta’addi (ceroboh) dan mesti ada dhaman (ganti rugi).

 

Catatan:

  • Tidak boleh menjual dengan mengatasnamakan dirinya dan mengakui barang yang diwakilkan atas namanya sendiri, kecuali dengan izin orang yang mewakilkan.
  • Tidak boleh orang yang diberi kuasa (wakil), ia menjual untuk dirinya sendiri, ia menjadi penjual dan pembeli sekaligus. Ia masih boleh menjual kepada ayahnya atau anaknya yang rasyid (yang pantas berjual beli).

 

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
  • Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.

Baca Juga:

 

Ditulis 6 Rajab 1444 H di Ponpes Darush Sholihin

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button