Matan Taqrib: Akad Salam dalam Transaksi Jual Beli
Bagaimanakah akad salam dalam tinjauan fikih? Berikut bahasannya.
Dalam Matan Taqrib disebutkan:
أَحْكَامُ السَّلَمِ:
وَيَصِحُّ السَّلَمُ حَالاًّ وَمُؤَجَّلاً فِيْمَا تَكَامَلَ فِيْهِ خَمْسَ شَرَائِطَ : أَنْ يَكُوْنَ مَضْبُوْطاً بِالصِّفَةِ وَأَنْ يَكُوْنَ جِنْساً لَمْ يَخْتَلِطْ بِهِ غَيْرُهُ وَلَمْ تَدْخُلْهُ النَّارُ لِإِحَالَتِهِ وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ مُعَيَّنًا وَلاَ مِنْ مُعَيَّنٍ
ثُمَّ لِصِحَّةِ السَّلَمِ فِيْهِ ثَمَانِيَةُ شَرَائِطَ وَهُوَ أَنْ يَصِفَهُ بَعْدَ ذِكْرِ جِنْسِهِ وَنَوْعِهِ بِالصِّفَاتِ الَّتِي يَخْتَلِفُ بهَا الثَّمَنُ وَأَنْ يَذْكُرَ قَدْرَهُ بِمَا يَنْفِي الجَهَالَةَ عَنْهُ وَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلاً ذُكِرَ وَقْتُ مَحَلِّهِ وَأَنْ يَكُوْنَ مَوْجُوْدًا عِنْدَ الاِسْتِحْقَاقِ فِي الغَالِبِ وَأَنْ يَذْكُرَ مَوْضِعُ قَبْضِهِ وَأَنْ يَكُوْنَ الثَّمَنُ مَعْلُوْمًا وَأَنْ يَتَقَابَضَا قَبْلَ التَّفَرُّقِ وَأَنْ يَكُوْنَ عَقْدُ السَّلَمِ نَاجِزًا لاَ يَدْخُلُهُ خِيَارُ الشَّرْطِ.
Jual beli dengan cara salam (pemesanan) itu sah, baik dibayar tunai maupun dengan utang, jika terpenuhi lima syarat:
- Barang yang diserahkan oleh penjual itu jelas sifatnya.
- Barang tersebut masih sejenis dan tidak bercampur dengan selainnya.
- Barang tersebut tidak dimasak dengan api.
- Barang tersebut bukan barang yang mu’ayyan (telah ditentukan dengan pasti).
- Barang tersebut juga bukan barang dari tempat mua’ayyan (dibatasi tempat tertentu).
Barang yang dipesan (muslam fiih) itu sah jika terpenuhi delapan syarat, yaitu:
1. Menunjukkan jenis dan macam barang yang dipesan sehingga dapat dibedakan harga barang-barang yang dipesan.
2. Menyebutkan kadar (ukurannya) dengan penjelasan yang dapat menghilangkan ketidaktahuan mengenainya.
3. Jika pembayarannya ditangguhkan (diutang), harus disebutkan kapan barang tersebut akan diterima (diserahkan) kepada pemesan.
4. Barang yang dipesan itu harus tersedia pada waktu pengambilannya.
5. Disebutkan tempat pengambilannya.
6. Harganya jelas.
7. Pemesan harus sudah membayar sebelum keduanya berpisah.
8. Akad salam harus selesai (naajizan) dan tidak boleh dimasuki khiyar syarat (janji persyaratan).
Pengertian Salam
Salam, secara bahasa berarti: isti’jal atau istiqdam, memajukan.
Salam secara istilah berarti: menjual sesuatu yang diterangkan sifatnya (maw-shuf) dalam suatu tanggungan/jaminan (dzimmah).
Contoh: pembeli menyerahkan pembayaran di muka, lalu bersepakat dengan penjual bahwa barang yang telah dibayar akan diserahkan minggu depan.
Hukum dan Dalil Jual Beli Salam
Hukum jual beli salam: BOLEH, selama terpenuhi syarat-syarat tertentu.
Dalil yang membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa ayat ini turun tentang jual beli salam.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُونَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّهُ وَأَذِنَ فِيهِ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى)
“Aku bersaksi bahwa salaf (transaksi salam) yang dijamin hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Allah telah mengizinkannya”. Setelah itu Ibnu ‘Abbas menyebutkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) (HR. Al-Baihaqi, 6:18, Al-Hakim, 2:286 dan Asy-Syafi’i dalam musnadnya no. 597. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, tetapi keduanya tidak mengeluarkannya)
Ibnu’ Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga mengatakan,
قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ ، وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ ، فَقَالَ « مَنْ أَسْلَفَ فِى شَىْءٍ فَفِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ »
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktikkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf (salam), yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mempraktikkan salam dalam jual beli buah-buahan, hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari, no. 2240 dan Muslim, no. 1604)
Adapun dalil ijmak (kesepakatan para ulama) sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir. Beliau rahimahullah mengatakan,
أجمع كلّ من نحفظ عنه من أهل العلم على أنّ السّلم جائز.
“Setiap ulama yang kami mengetahui perkataannya telah bersepakat (berijmak) tentang bolehnya jual beli salam.”
Rukun Jual Beli Salam
- Muslim, yaitu pembeli (al-musytari), disebut pula dengan robbussalam.
- Muslam ilaih (penjual).
- Muslam fiih, yaitu barang yang dijual.
- Ro’sul maal, yaitu harga atau upah.
- Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Jual beli salam ada dua bentuk:
- Salam haalan (akad salam tunai), seperti seorang pembeli berkata kepada penjual, “Aku serahkan kepadamu uang ini, agar engkau membeli satu kilogram gandum saat ini dan penyerahannya di majelis.
- Salam muajjalan (akad salam tertunda), seperti seorang pembeli berkata kepada penjual, “Aku serahkan kepadamu uang ini, agar engkau membeli satu kilogram gandum dan penyerahannya setelah satu minggu.”
Jika tidak ditentukan waktu dan akad salam hanya dimutlakkan saja, maka akad salam menjadi haalan, akadnya sah dan penyerahan barang di majelis seketika itu juga, tanpa tertunda.
Syarat Akad Salam Terkait Muslam Fiih (Barang)
- Barang yang diserahkan oleh penjual itu jelas sifatnya, seperti barangnya ditentukan jenisnya dari sutra, kapas, besi, dan semacamnya.
- Barang tersebut masih sejenis dan tidak bercampur dengan selainnya. Namun, masih boleh jenisnya bercampur dengan yang lain jika memang bisa jelas komposisinya.
- Barang tersebut tidak dimasak dengan api karena menjadi sesuatu yang tidak jelas. Namun, jika adanya api itu bisa membedakan antara minyak samin dan susun dengan adanya api, maka tidaklah masalah. Begitu pula untuk membedakan lebah madu dan lilin dengan api yang redup.
- Barang tersebut bukan barang yang mu’ayyan (telah ditentukan dengan pasti). Berarti barangnya adalah sesuatu yang tertunda. Jika akadnya, “Saya serahkan kepadamu seratus ribu rupiah untuk cincin ini, tidakalh sah. Ini tidaklah dianggap bai’ (jual beli) dalam pendapat azhar (yang lebih kuat).”
- Barang tersebut juga bukan barang dari tempat mua’ayyan (dibatasi tempat tertentu).
Syarat Sahnya Akad Muslam Fiih
- Menunjukkan jenis dan macam barang yang dipesan sehingga dapat dibedakan harga barang-barang yang dipesan, seperti menentukan jenis hewan jantan atau betina, supaya menghindarkan dari gharar.
- Menyebutkan kadar (ukurannya) dengan penjelasan yang dapat menghilangkan ketidaktahuan mengenainya, seperti menentukan ukuran timbangan atau takaran.
- Jika pembayarannya ditangguhkan (diutang), harus disebutkan kapan barang tersebut akan diterima (diserahkan) kepada pemesan, seperti menentukan waktunya dalam sehari, sebulan, atau setahun barang itu akan diserahterimakan.
- Barang yang dipesan itu harus tersedia pada waktu pengambilannya. Misalnya, kurma ruthob (fresh, baru panen) akan berbuah pada musim panas, lalu janjinya kurma akan diserahkan pada musim dingin. Maka seperti ini tidaklah sah karena kurma ruthob tersebut tidak bisa diserahterimakan.
- Disebutkan tempat pengambilannya.
- Harganya jelas. Artinya, ra’sul maal (uang) dalam akad salam harus haalan (diserahkan di muka) dan jelas. Jika tidak, maka yang terjadi adalah bai’ dayn bi dayn, jual beli utang dan utang. Ini tidaklah sah.
- Pemesan harus sudah membayar ra’sul maal (uang) sebelum keduanya berpisah.
- Akad salam harus selesai (naajizan) dan tidak boleh dimasuki khiyar syarat (janji persyaratan). Karena jika tertunda, maka terjadi gharar dan khiyar itu menghalangi kepemilikan.
Catatan tambahan:
- Khiyar majlis tetap ada dalam akad salam. Karena keumuman hadits tentang khiyar majelis.
- Jika penjual menghadirkan barang pada pembeli sebelum waktu yang ditetapkan, hendaklah pembeli menerimanya. Jika ia mencegahnya karena ada uzur yang sahih, diterima darinya. Jika tidak, seorang qadhi boleh memaksa agar ia menerimanya.
Referensi:
Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
—
Sabtu pagi, 27 Syawal 1443 H
Artikel Rumaysho.Com
Baca Juga: