Amalan

24 Jam di Bulan Ramadhan (Aktivitas Maghrib)

Ini kelanjutan lagi dari tulisan kami “24 Jam di Bulan Ramadhan”, kali ini mengenai aktivitas pada waktu Maghrib.

 

27- Bermajelis menjelang berbuka.

 

Karena pada bulan Ramadhan, ilmu makin mudah masuk dan setiap orang semangat berada di masjid. Kita sering memerhatikan di masjid sekitar kita, biasa dimanfaatkan waktu menjelang berbuka dengan majelis ilmu. Manfaat majelis ilmu disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَه

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)

 

28- Sibukkan diri dengan doa ketika menunggu berbuka.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Doa orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi, no. 2526, 3598; Ibnu Majah, no. 1752. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7:278) disebutkan bahwa kenapa doa mudah dikabulkan ketika berbuka puasa yaitu karena saat itu, orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.

 

29- Memenuhi adab-adab berbuka dan adab-adab makan saat berbuka.

 

Ketika berbuka puasa sebenarnya terdapat berbagai amalan yang membawa kebaikan dan keberkahan. Namun seringkali kita melalaikannya, lebih disibukkan dengan urusan perut.

 

Ada beberapa adab yang bisa dilakukan saat berbuka sebagaimana disebutkan dalam artikel berikut ini.

 

11 Amalan Ketika Berbuka Puasa

30- Tetap menjaga shalat sunnah rawatib Maghrib

 

Ummul Mukminun Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي للهِ تَعَالى كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعاً غَيرَ الفَرِيضَةِ ، إلاَّ بَنَى الله لَهُ بَيْتاً فِي الجَنَّةِ ، أَوْ إِلاَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الجَنَّةِ

Tidaklah seorang hamba yang muslim yang shalat karena Allah seitap hari dua belas rakaat shalat sunnah selain shalat wajib, melainkan Allah pasti membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, atau melainkan dibangunkan untuknya sebuah rumah di surga.’” (HR. Muslim, no. 728)

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا ، قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتْينِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الجُمُعَةِ ، وَرَكْعَتَينِ بَعدَ المَغْرِبِ ، وَرَكْعَتَينِ بَعدَ العِشَاءِ . مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku melaksanakan shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Jum’at, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya.” (HR. Bukhari, no. 1172 dan Muslim, no. 729)

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( بَيْنَ كُلِّ أذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، بَيْنَ كُلِّ أذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ )) قَالَ فِي الثَّالِثةِ : (( لِمَنْ شَاءَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari ‘Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara setiap dua azan terdapat shalat, di antara setiap dua azan terdapat shalat, di antara setiap dua azan terdapat shalat.” Beliau berkata pada yang ketiga kalinya, “Bagi siapa yang ingin.” (HR. Bukhari, no. 627 dan Muslim, no. 838). Yang dimaksud dua azan adalah azan dan iqamah

 

Adakah shalat sunnah sebelum Maghrib?

 

Disunnahkan melaksanakan shalat sunnah sebelum Maghrib bagi siapa yang mau. Yang dikerjakan sebelum Maghrib tersebut adalah dua raka’at.

Beberapa dalil yang jadi dukungan untuk masalah ini adalah sebagai berikut.

Hadits ‘Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ ». ثُمَّ قَالَ « صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ لِمَنْ شَاءَ ». خَشْيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً.

Kerjakanlah shalat sunnah sebelum Maghrib dua raka’at.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Kerjakanlah shalat sunnah sebelum Maghrib dua raka’at bagi siapa yang mau.” Karena hal ini dikhawatirkan dijadikan sebagai sunnah.” (HR. Abu Daud, no. 1281. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dalam Shahih Bukhari disebutkan,

صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ – قَالَ فِى الثَّالِثَةِ – لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

Shalat sunnahlah sebelum Maghrib, beliau mengulangnya sampai tiga kali dan mengucapkan pada ucapan ketiga, “Bagi siapa yang mau, karena dikhawatirkan hal ini dijadikan sunnah.” (HR. Bukhari, no. 1183)

Juga ada cerita dari Mukhtar bersama Anas bin Malik sebagai berikut,

عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ التَّطَوُّعِ بَعْدَ الْعَصْرِ فَقَالَ كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الأَيْدِى عَلَى صَلاَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ وَكُنَّا نُصَلِّى عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ. فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَّهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا. فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا.

Dari Mukhtar bin Fulful, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai shalat sunnah setelah ‘Ashar, ia berkata bahwa ‘Umar dahulu pernah memukul tangannya gara-gara mengerjakan shalat sunnah sebelum ‘Ashar. Lalu Anas berkata, “Dahulu kami melaksanakan shalat sunnah dua raka’at setelah tenggelamnya matahari sebelum shalat Maghrib di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Aku (Mukhtar) bertanya pada Anas, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan dua raka’at tersebut?” Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kami melakukan dua raka’at tersebut, lalu beliau tidak memerintahkan dan tidak pula melarangnya.” (HR. Muslim, no. 836).

Juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا بِالْمَدِينَةِ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ابْتَدَرُوا السَّوَارِىَ فَيَرْكَعُونَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ الْغَرِيبَ لَيَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَيَحْسِبُ أَنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا

“Dahulu ketika kami berada di Madinah, ketika muadzin mengumandangkan azan Maghrib, mereka langsung saling berlomba untuk melakukan shalat dua raka’at dan dua raka’at. Sampai-sampai jika ada orang asing yang masuk ke dalam masjid, ia akan menyangka bahwa shalat Maghrib sudah dilaksanakkan karena saking banyaknya orang yang melakukan shalat dua raka’at tersebut.”  (HR. Muslim, no. 837)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Riwayat-riwayat di atas menunjukkan akan dianjurkannya shalat sunnah dua raka’at antara tenggelamnya matahari dan shalat Maghrib dilaksanakan. Namun mengenai anjuran shalat sunnah sebelum Maghrib ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i, yang paling kuat dalam madzhab adalah tidak disunnahkan. Namun berdasarkan pendapat para peneliti hadits, yang lebih kuat adalah shalat sunnah sebelum Maghrib tetap disunnahkan, alasannya karena dukungan hadits-hadits di atas.” (Syarh Shahih Muslim, 6:111)

Namun shalat sunnah sebelum maghrib (qabliyah Maghrib) tidak masuk dalam shalat sunnah yang ditekankan. Karena yang sangat dianjurkan adalah 12 raka’at yang dijaga setiap hari sebagaimana disebutkan dalam hadits,

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum  Zhuhur, dua raka’at sesudah Zhuhur, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi, no. 414; Ibnu Majah, no. 1140, An-Nasa’i, no. 1795; dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

 

Hukum Shalat Sunnah 6 Raka’at Ba’da Maghrib

 

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah [1] pernah ditanya, “Saya sudah terbiasa mengerjakan shalat sunnah setelah Maghrib enam raka’at. Akan tetapi surat yang saya baca hanya surat Al Fatihah saja. Apakah seperti ini dibolehkan?”

Beliau -rahimahullah- menjawab,

Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Yang disyari’atkan setelah shalat Maghrib adalah mengerjakan dua raka’at shalat sunnah rawatib saja. Namun jika seseorang mengerjakan shalat   setelah itu dengan mengerjakan enam, delapan,sepuluh atau lebih banyak raka’at lagi, itu tidaklah masalah. Akan tetapi, sebagian orang berprasangka bahwa enam raka’at ba’da maghrib memiliki keistimewaan. Namun sebenarnya tidak ada sama sekali landasan dalil mengenai hal ini. Tidak ada satu pun hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hal ini, walaupun kebanyakan manusia sering melakukannya. Jadi, shalat sunnah enam raka’at ba’da maghrib tidak memiliki keistimewaan tersendiri dan tidak ada satu pun hadits shahih yang bisa dijadikan dalil dalam amalan yang satu ini.

Akan tetapi, barangsiapa yang mengerjakan shalat sunnah ba’da maghrib sebanyak enam, delapan atau sepuluh raka’at dalam rangka ingin memperbanyak kebaikan dan ibadah, maka seperti itu tidaklah mengapa. Namun ingat, dalam hal ini tidak dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan perlu diketahui bahwa shalat rawatib (yang mengiringi shalat wajib) yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ba’da maghrib hanya dua raka’at saja. Namun barangsiapa yang ingin menambahnya dari jumlah itu, maka tidak mengapa dan tidak masalah (kecuali jika dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu, pen).

Adapun, jika seseorang shalat dengan membaca surat Al Fatihah saja, shalatnya tetap dianggap sah. Akan tetapi yang lebih afdhol adalah membaca surat Al Fatihah ditambah dengan beberapa ayat yang mudah dibaca baginya. Boleh baginya membaca dua ayat atau membaca surat yang pendek. Inilah yang lebih afdhol (lebih utama).

[Fatawa Nur ‘ala Ad Darb 2/877]

Sumber fatwa: http://www.islamqa.com/ar/ref/131895

Beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari penjelasan Syaikh rahimahullah di atas:

  • Shalat sunnah rawatib ba’diyah maghrib cukup dengan dua raka’at.
  • Boleh menambah shalat sunnah setelah shalat maghrib enam, delapan atau sepuluh raka’at (dikerjakan dua raka’at salam, dua raka’at salam), asalkan tidak menjadikan pengkhususan dengan raka’at tertentu atau meyakini ada keistimewaan dari yang lainnya.
  • Mengerjakan shalat enam raka’at ba’da maghrib dan diyakini memiliki keistimewaan, maka ini sungguh tidak berdalil.
  • Pada raka’at pertama dan kedua boleh membaca surat Al Fatihah saja. Namun lebih afdhol membaca surat lainnya lagi.

[1]   Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi Fatwa di Saudi Arabia. Beliau sangat mendalami ilmu hadits.

 

31- Membaca dzikir petang karena waktunya adalah dari matahari tenggelam hingga pertengahan malam (menurut pendapat yang paling kuat).

 

Dalam Ahkam Al-Quran (1:57), Imam Syafi’i rahimahullah berkata mengenai firman Allah,

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ

Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari.”(QS. Ar-Rum: 17) yaitu maksudnya adalah waktu Maghrib dan ‘Isya’.

وَحِينَ تُصْبِحُونَ

“dan waktu kamu berada di waktu subuh” yaitu maksudnya adalah waktu Shubuh.

وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا

“dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari” yaitu maksudnya adalah waktu ‘Ashar.

وَحِينَ تُظْهِرُونَ

“dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur” yaitu maksudnya adalah waktu Zhuhur.

Imam Syafi’i rahimahullahberkata, “Itulah yang semisal dikatakan. Wallahu a’lam.”

Lihat bahasan waktu dzikir petang dalam Tabsghiroh Al-A’masy bi Wakti Adzkar Ash-Shabaah wa Al-Masaa’, Abu ’Abdil Baari Al-’Ied bin Sa’ad Sarifiy, terbitan Maktabah Al-Ghuroba’ Al-Atsariyyah, cetakan pertama, Tahun 1432 H, hlm. 33-35.

Di antara manfaat dari dzikir petang disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, semalam aku menemukan seekor kalajengking yang menyengatku.” Beliau bersabda,

أَمَّا لَوْ قُلْتَ حِيْنَ أَمْسَيْتَ: أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ تَضُرَّكَ

Seandainya engkau mengucapkan ini saat sore hari, ‘AUDZU BI KALIMAATILLAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ’ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan yang telah Dia ciptakan, pasti kalajengking itu tidak akan membahayakanmu.” (HR. Muslim, no. 2709)

 

32- Makan hidangan berbuka puasa bersama keluarga dengan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya, memuji makanan, dan tidak mencela makanan.

 

Kita diperintahkan untuk memuji makanan walaupun sederhana sekali makanan tersebut.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka lantas menjawab bahwa tidak ada di sisi mereka selain cuka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlalu bersabda,

نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ

Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR. Muslim, no. 2052).

Di antara wujud bersyukur pada makanan adalah tidak mencela makanan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

مَا عَابَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – طَعَامًا قَطُّ ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela suatu makanan sedikit pun. Seandainya beliau menyukainya, beliau menyantapnya. Jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari, no. 5409 dan Muslim, no. 2064).

Harusnya kita lebih banyak menghitung nikmat daripada menghitung musibah. Allah Ta’ala berfirman,

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian.” (QS. Ibrahim: 7)

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah memberi nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Jika seseorang tidak mensyukurinya, maka nikmat tersebut berbalik jadi siksa.” (Lihat ‘Iddah Ash-Shabirin, hlm. 148).

Allah mencela orang yang disebut kanudyaitu yang tidak mensyukuri nikmat. Mengenai ayat,

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.” (QS. Al-‘Adiyat: 6).

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan mengenai ayat ini, orang yang kanud adalah yang terus menerus menghitung musibah demi musibah, lantas melupakan berbagai nikmat yang telah Allah beri.

Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka karena sifat di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari, no. 5197 dan Muslim, no. 907). Kalau tidak mensyukuri pemberian suami saja hukumannya seperti ini, padahal hakikatnya nikmat tersebut juga berasal dari Allah, bagaimana lagi jika kita enggan bersyukur atas nikmat Allah sama sekali. Lihat ‘Iddah Ash-Shabirin, hlm. 151.

 

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button