Teladan

Faedah Sirah Nabi: Menikahi Khadijah

Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha adalah wanita yang terhormat dan terpandang di kalangan Quraisy, dari garis keturunan yang mulia. Dia adalah perempuan yang terkaya di kalangan Quraisy, seorang pedagang yang sering memakai jasa laki-laki untuk menjalankan perniagaannya dengan imbalan upah.

Ketika berita tentang kejujuran dan amanah serta keluhuran budi pekerti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada Khadijah, maka dia pun tertarik menawarkan kepada beliau untuk menjalankan perniagaan ke Syam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima tawaran itu, dan beliau berangkat dengan ditemani oleh hamba sahaya milik Khadijah bernama Maisarah.

Selama dalam perjalanan, Maisarah banyak menyaksikan peristiwa-peristiwa aneh yang mengagumkan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga memperhatikan budi pekerti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, ketinggian akhlak serta kejujurannya. Semua itu ia ceritakan kepada Khadijah sekembalinya dari misi perdagangan yang menguntungkan itu. Setelah semua itu didengar Khadijah, yang sebelumnya dia telah banyak mendengar dari orang lain, akhirnya Khadijah tertarik untuk menikah dengannya. Pada waktu itu usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 25 tahun (sebagaimana perkataan jumhur) dan Khadijah 40 tahun (sebagaimana pendapat yang masyhur).

Namun yang dikuatkan oleh Dr. Akram Dhiya’ Al-‘Umari bahwa usia Khadijah saat menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 28 tahun sebagaimana riwayat dari Ibnu Ishaq. Karena ada dua anak laki-laki dan empat anak perempuan yang dilahirkan dari pernikahan Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sangat sulit diharapkan enam anak tersebut dilahirkan di usia Khadijah 40 tahun. Karena biasa  mendekati usia 50 tahun sudah sangat sulit memiliki keturunan lagi apalagi banyak. Dua anak laki-laki tersebut adalah Qasim dan ‘Abdullah. Sedangkan empat anak perempuan adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Qasim dan ‘Abdullah meninggal dunia ketika kecil. Sedangkan anak perempuan beliau semuanya memeluk Islam. Namun semua puteri beliau meninggal dunia semasa hidup beliau selain Fathimah. Fathimah meninggal dunia enam bulan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa yang melangsungkan akad nikah adalah paman Khadijah yang bernama Amr bin Sa’ad. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa sebagai wali nikahnya adalah ayahnya, Khuwailid.

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah telah menikah dua kali. Suaminya yang pertama bernama ‘Atiq bin ‘Aidz Al-Makhzumi. Suami yang kedua bernama Abu Halah bin An-Nabbasy At-Tamimi.

Khadijah meninggal dunia tiga tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan meninggalnya sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Waqidi, Khadijah meninggal dalam usia 65 tahun.

 

Pelajaran Penting

  1. Boleh bagi wanita berdagang.
  2. Akhlak dan budi pekerti yang baik jadi faktor utama seseorang bisa sukses dalam bisnis dan berhasil menarik kepercayaan, sampai menarik hati yang lainnya untuk menikah.
  3. Seorang wanita harus dinikahkan oleh walinya.
  4. Seorang laki-laki hendaklah mencari wanita shalihah (yang afifah, menjaga diri seperti Khadijah). Begitu juga wanita hendaklah mencari laki-laki yang shalih sebagai pendamping dan imamnya.
  5. Dianjurkan menikah di usia muda.
  6. Banyak anak itu lebih baik.
  7. Tidak masalah menikahi wanita yang lebih tua.
  8. Tidak mengapa pria bujang menikahi janda.

 

Syarat Wanita Bekerja

Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab Tambihaat ‘ala Ahkam Takhtash bi Al-Mu’minaat (hlm. 12) mengenai syarat wanita boleh bekerja di luar rumah sebagai berikut:

  1. Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang ia butuhkan atau pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat karena tidak mungkin tergantikan oleh laki-laki.
  2. Bekerja di luar rumah dilakukan setelah pekerjaan pokok di rumah beres.
  3. Pekerjaan yang dilakukan berada di lingkungan para wanita (jauh dari interaksi dengan pria) seperti sebagai pengajar bagi murid-murid perempuan dan merawat pasien wanita.

Namun perlu dipahami bahwa sebaik-baik tempat bagi wanita adalah di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu.” (QS Al-Ahzab: 33).

 

Keutamaan Memiliki Banyak Anak

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seseorang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia mengatakan pada beliau bahwa ia tertarik pada wanita yang punya kedudukan dan cantik, namun sayangnya ia mandul. Lantas ia bertanya bolehkah untuk menikahi wanita tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Menikahlah kalian dengan yang penyayang dan punya banyak keturunan. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 2050 dan An-Nasa’i, no. 3229. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Diin berkata, “Berusaha untuk mendapatkan keturunan sudah dinilai sebagai suatu bentuk ibadah dilihat dari empat sisi:

  1. Menjalankan perintah Allah agar manusia tetap memiliki keturunan.
  2. Berharap dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau akan bangga dengan banyaknya keturunannya pada hari kiamat.
  3. Mengharap berkah dari doa baik dari anak shalih setelah itu.
  4. Mengharapkan syafa’at dari anak yang meninggal dunia ketika kecil sebelum orang tuanya.”

Semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran berharga.

 

Referensi:

  1. Ar-Rahiq Al-Makhtum. Cetakan kesepuluh, Tahun 1420 H. Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Wafa’ dan Dar At-Tadmuriyah.
  2. As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah. Cetakan ketujuh, Tahun 1434 H. Dr. Akram Dhiya’ Al-‘Umari. Penerbit Al-‘Ubaikan. hlm. 135-137.
  3. As-Sirah An-Nabawiyyah fi Dhau’ Al-Mashadir Al-Ashliyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Prof. Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. Penerbit Dar Zidni.
  4. Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah. Cetakan ke-24, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthi. Penerbit Darus Salam.
  5. Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
  6. Tambihaat ‘ala Ahkam Takhtash bi Al-Mu’minaat. Cetakan kelima, tahun 1429 H. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Penerbit Darul Ifta’.

Disusun di Perpus Rumaysho, 30 Muharram 1439 H,  Jumat siang

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button