Perjanjian dalam Jual Beli
Kadang antara penjual dan pembeli membuat perjanjian di mana dari perjanjian ini ada manfaat dan maslahat. Bagaimana hukum memenuhi perjanjian semacam itu?
Perbedaan Perjanjian dan Syarat Jual Beli
Perbedaan antara perjanjian ini dengan syarat jual beli adalah:
1- Syarat jual beli ditetapkan oleh syari’at. Perjanjian jual beli ditetapkan oleh penjual dan pembeli.
2- Syarat jual beli berkonsekuensi sahnya akad. Perjanjian jual beli berkonsekuensi perjanjian tersebut wajib dijalani oleh penjual dan pembeli.
3- Syarat jual beli tidak bisa digugurkan. Perjanjian jual beli boleh dibatalkan.
4- Syarat jual beli ada sebelum akad. Perjanjian jual beli boleh di awal, di tengah, juga selama jangka waktu yang diberikan untuk khiyar majelis dan khiyar syarat.
Hukum Asal Perjanjian
Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1).
Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu pun harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir,
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)
Perjanjian yang Sah
Perjanjian (persyaratan) yang sah bisa jadi syarat tersebut sudah sepatutnya ada dalam akad seperti adanya penyerahan barang dari penjual dan uang bayaran dari pembeli.
Bisa jadi pula syarat yang dibuat adalah berkaitan dengan maslahat akad. Misal, dalam jual beli kredit mesti ada jaminan atau agunan.
Boleh juga dipersyaratkan pada barang yang akan dibeli. Misal, dipersyaratkan mobil yang dibeli adalah mobil Kijang Innova berwarna hitam dengan type 2.5 G, mesin diesel. Persyaratan ini harus dipenuhi. Jika dipenuhi, maka jadilah jual beli tersebut. Jika tidak dipenuhi, maka bisa dibatalkan atau si penjual memberikan ganti rugi.
Boleh juga syarat yang dibuat adalah dengan adanya manfaat yang diambil terlebih dahulu. Misal saja, calon pembeli berkata, “Saya mau membeli mobilmu dengan syarat engkau menservisnya terlebih dahulu.” Contoh lain, si penjual berkata, “Saya mau menjualkan rumah ini padamu dengan syarat saya tinggal di rumah ini selama sebulan terlebih dahulu.”Atau tidak berkaitan dengan barang, namun si penjual berkata, “Saya mau menjualkan padamu mobil ini, asalkan saya boleh menggunakan rumahmu sebulan lamanya.”
Untuk persyaratan manfaat di atas didukung dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin membeli unta milik Jabir yang sudah lemah berjalan, namun Jabir memberi syarat agar unta tersebut bisa dimanfaatkan terlebih dahulu untuk ditunggangi ke rumah, baru setelah itu diserahkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata,
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى
“Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggang unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ
“Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari no. 2406 dan Muslim no. 715).
Semoga bermanfaat. Masih berlanjut pada persyaratan atau perjanjian yang tidak sah.
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Referensi:
Al Mukhtashor fil Mu’amalat, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali bin Muhammad Al Musyaiqih, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan tahun 1431 H.
—
@ Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, 15 Jumadats Tsaniyah 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom
—
Segera pesan satu paket buku terbaru karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal berisi 6 buku dengan format: Paket 6 buku# nama pemesan# alamat# no HP# jumlah paket, lalu kirim sms ke 0852 00 171 222 atau via PIN BB 2A04EA0F. Harga paket Rp.80.000,- untuk Pulau Jawa, sudah termasuk ongkos kirim. Salah satu buku yang terdapat dalam paket tersebut adalah buku “Kenapa Masih Enggan Shalat?”. Info selengkapnya di Ruwaifi.Com.
Syarat itu boleh.