Mengkhatamkan Al Qur’an Sebulan Sekali
Mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali memang salah satu perintah dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah suatu kewajiban satu bulan mesti satu juz? Ataukah boleh kurang dari target khatam setiap bulan?
Bacalah yang Mudah Bagimu
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى شَهْرٍ » . قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً حَتَّى قَالَ « فَاقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ »
“Bacalah (khatamkanlah) Al Quran dalam sebulan.” ‘Abdullah bin ‘Amr lalu berkata, “Aku mampu menambah lebih dari itu.” Beliau pun bersabda, “Bacalah (khatamkanlah) Al Qur’an dalam tujuh hari, jangan lebih daripada itu.” (HR. Bukhari No. 5054).
Bukhari membawakan judul Bab untuk hadits ini,
باب فِى كَمْ يُقْرَأُ الْقُرْآنُ .وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) .
“Bab Berapa Banyak Membaca Al Qur’an?”. Lalu beliau membawakan firman Allah,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” (QS. Al Muzammil: 20).
Kata Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh Imam Bukhari dengan membawakan surat Al Muzammil ayat 20 di atas berarti bukan menunjukkan batasan bahwa satu bulan harus satu juz. Dalam riwayat Abu Daud dari jalur lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Berapa hari mesti mengkhatamkan Al Qur’an?” Beliau katakan 40 hari [artinya, satu hari bisa jadi kurang dari satu juz]. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi, “Satu bulan.” [Artinya, satu hari bisa rata-rata mengkhatamkan satu juz] (Lihat Fathul Bari, 9: 95, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H).
Ibnu Hajar mengatakan,
لِأَنَّ عُمُوم قَوْله : ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) يَشْمَل أَقَلّ مِنْ ذَلِكَ ، فَمَنْ اِدَّعَى التَّحْدِيد فَعَلَيْهِ الْبَيَان
“Karena keumuman firman Allah yang artinya, “ Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” mencakup pula jika kurang dari itu (kurang dari satu juz). Barangsiapa yang mengklaim harus dengan batasan tertentu, maka ia harus datangkan dalil (penjelas).” (Fathul Bari, 9: 95)
Ibnu Hajar juga menukil perkataan Imam Nawawi,
وَقَالَ النَّوَوِيّ : أَكْثَر الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا تَقْدِير فِي ذَلِكَ ، وَإِنَّمَا هُوَ بِحَسَبِ النَّشَاط وَالْقُوَّة ، فَعَلَى هَذَا يَخْتَلِف بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال وَالْأَشْخَاص
“Imam Nawawi berkata, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan hari dalam mengkhatamkan Al Qur’an, semuanya tergantung pada semangat dan kekuatan. Dan ini berbeda-beda satu orang dan lainnya dilihat dari kondisi dan person.” (Fathul Bari, 9: 97).
Bacalah Walau Lima Ayat
Abu Sa’id Al Khudri ketika ditanya firman Allah,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ
“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” (QS. Al Muzammil: 20). Jawab beliau, “Iya betul. Bacalah walau hanya lima ayat.” Disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 414, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Dalam riwayat Ath Thabari disebutkan dengan sanad yang shahih, dijawab oleh Abu Sa’id, “Walau hanya lima puluh ayat.” (Diriwayatkan oleh Ath Tahabari, 29: 170, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1423 H).
Dari As Sudi, ditanya mengenai ayat di atas, maka beliau jawab, “Walau 100 ayat.” (Idem).
Tadabbur itu Lebih Utama
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
وَالِاخْتِيَار أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِف بِالْأَشْخَاصِ ، فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْل الْفَهْم وَتَدْقِيق الْفِكْر اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يَقْتَصِر عَلَى الْقَدْر الَّذِي لَا يَخْتَلّ بِهِ الْمَقْصُود مِنْ التَّدَبُّر وَاسْتِخْرَاج الْمَعَانِي ، وَكَذَا مَنْ كَانَ لَهُ شُغْل بِالْعِلْمِ أَوْ غَيْره مِنْ مُهِمَّات الدِّين وَمَصَالِح الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّة يُسْتَحَبّ لَهُ أَنْ يَقْتَصِر مِنْهُ عَلَى الْقَدْر الَّذِي لَا يُخِلّ بِمَا هُوَ فِيهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَالْأَوْلَى لَهُ الِاسْتِكْثَار مَا أَمْكَنَهُ مِنْ غَيْر خُرُوج إِلَى الْمَلَل وَلَا يَقْرَؤُهُ هَذْرَمَة . وَاللَّهُ أَعْلَم
“Waktu mengkhatamkan tergantung pada kondisi tiap person. Jika seseorang adalah yang paham dan punya pemikiran mendalam, maka dianjurkan padanya untuk membatasi pada kadar yang tidak membuat ia luput dari tadabbur dan menyimpulkan makna-makna dari Al Qur’an. Adapun seseorang yang punya kesibukan dengan ilmu atau urusan agama lainnya dan mengurus maslahat kaum muslimin, dianjurkan baginya untuk membaca sesuai kemampuannya dengan tetap melakukan tadabbur (perenungan). Jika tidak bisa melakukan perenungan seperti itu, maka perbanyaklah membaca sesuai kemampuan tanpa keluar dari aturan dan tanpa tergesa-gesa. Wallahu a’lam. ” (Dinukil dari Fathul Bari, 9: 97).
Kata Syaikh Kholid bin ‘Abdillah Al Mushlih, “Aku mewasiatkan pada saudara/i-ku untuk bersungguh-sungguh menggabungkan antara memperbanyak baca Al Qur’an ditambah dengan tadabbur supaya benar-benar bisa meraih berbagai kebaikan.” (Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33620)
Baca penjelasan Ibnul Qayyim pada artikel Rumaysho.Com: Membaca Al Quran untuk Direnungkan dan Diamalkan.
Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk rajin memperhatikan dan mentadabburi Al Qur’an.
—
07: 08 AM, 17 Rabi’ul Awwal 1435 H @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Oleh -akhukum fillah- Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Baca Juga:
- Lebih Besar Pahala Baca Al Quran Lewat Mushaf Dibanding Handphone
- Keadaan Hati Saat Membaca Al Quran
—
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom