Aqidah

Kaedah Memahami Syirik (2): Tawasul dan Meminta Syafa’at

Satu lagi kesyirikan yang dapat terjadi yaitu dalam masalah tawasul (mengambil perantara) dalam do’a kepada orang yang sudah mati dan meminta syafa’at pada selain Allah padahal sepenuhnya syafa’at diminta dari Allah.

Syaikh Muhammad At Tamimi melanjutkan kaedah kedua dalam kitab beliau Al Qowa’idul Arba’.

القَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ: مَا دَعَوْنَاهُمْ وَتَوَجَّهْنَا إِلَيْهِمْ إِلاَّ لِطَلَبِ الْقُرْبَةِ وَالشَّفَاعَةِ، فَدَلِيْلُ الْقُرْبَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى ﴿وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ﴾[الزمر:3].

[KAEDAH KEDUA]

Mereka (orang-orang musyrik) mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka dan menghadapkan wajah kami kepada mereka (selain Allah) kecuali untuk mendekatkan diri pada Allah dan untuk memperoleh syafaat mereka.

Dalil yang menunjukkan bahwa argumen orang musyrik adalah dalam rangka mendekatkan diri pada Allah (qurbah) yaitu firman Allah  Ta‘ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya“. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az Zumar [39] : 3)

 

[KAEDAH KEDUA]

Sesungguhnya orang-orang musyrik yang Allah menyeru mereka dengan sebutan musyrik dan menghukumi mereka dengan kekal dalam neraka, mereka tidaklah melakukan perbuatan syirik dalam hal rububiyah, akan tetapi yang mereka lakukan adalah berbuat syirik dalam perkara uluhiyah. Mereka tidaklah mengatakan bahwa sesembahan mereka itu dapat mencipta dan memberi rizki di samping Allah. Mereka juga tidak menganggap bahwa sesembahan-sesembahan mereka dapat memberikan manfaat, mendatangkan bahaya dan dapat mengatur alam semesta di samping Allah. Orang-orang musyrik menyembah sesembahan tersebut hanya karena mereka anggap bahwa sesembahan mereka tersebut dapat memberikan mereka syafa’at[1] kepada mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

Dan mereka menyembah selain Allah yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu hanyalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah“. (QS. Yunus [10] : 18 ). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala berfirman,

مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ

Tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan”. Mereka (orang-orang musyrik) mengetahui semua ini yaitu sesembahan selain Allah tidaklah dapat memberikan manfaat dan mendatangkan bahaya kepada mereka. Sebenarnya orang-orang musyrik hanya  menjadikan  sesembahan mereka tersebut sebagai pemberi syafa’at bagi mereka di sisi Allah, yaitu sebagai perantara antara mereka dengan Allah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka (orang-orang musyrik) menyerahkan hasil sembelihan kepada sesembahan mereka. Mereka juga melakukan nadzar yang ditujukan kepada sesembahan-sesembahan tersebut. Namun, mereka semua melakukan perbuatan seperti ini bukanlah karena mereka meyakini bahwa sesembahan mereka tersebut adalah pencipta, pemberi rizki, atau yang mendatangkan manfa’at atau menolak bahaya. Mereka melakukan hal ini hanya sebagai perantara antara mereka dengan Allah, yaitu sebagai pemberi syafa’at bagi mereka. Inilah aqidah orang-orang musyrik (yang sebenarnya).

Sekiranya saat ini, engkau berbincang-bincang dengan para penyembah kubur, mereka tentu akan mengatakan perkataan yang serupa dengan orang-orang musyrik dahulu. Boleh jadi mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami mengetahui bahwa wali ini atau orang sholih ini tidak dapat menolak bahaya dan mendatangkan manfaat. Akan tetapi, dia adalah orang sholih dan kami hanya  menginginkan agar dia dapat memberikan syafa’at pada kami di sisi Allah.”

Namun ketahuilah bahwa syafa’at itu ada yang benar dan ada yang bathil (salah). Syafa’at yang benar dan bisa diterima harus memiliki dua syarat berikut.

[Syarat Pertama] Orang yang akan memberi syafa’at telah mendapat izin dari Allah.

[Syarat Kedua] Orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridhoi, yaitu orang yang bertauhid yang mendapatkan kesulitan (ahli maksiat).

Jika salah satu dari syarat di atas tidak ada, maka syafa’at tersebut termasuk syafa’at yang bathil (keliru). Allah  Ta’ala mengatakan mengenai syarat syafa’at di atas,

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al Baqarah [2] : 255 ).

وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى

 “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah”. (QS. Al Anbiya’ [21] : 28 ). Orang-orang yang diberi syafa’at adalah dari ahli maksiat di kalangan orang yang bertauhid. Adapun orang kafir dan orang musyrik, tidak bermanfaat bagi mereka syafa’at dari orang yang hendak memberi syafa’at. Allah Ta’ala berfirman,

مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ

Orang-orang yang zholim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya”. (QS. Al Mu’min [40] : 18 )[2].

Orang-orang yang mendengar kata syafa’at sebenarnya mereka tidak mengetahui makna syafa’at yang sebenarnya. Mereka malah pergi mencarinya kepada selain Allah tanpa izin dari-Nya. Bahkan orang-orang semacam ini meminta syafa’at kepada orang-orang yang berbuat syirik kepada Allah, padahal orang semacam ini tidaklah bermanfaat sama sekali syafa’at bagi orang yang berbuat syirik. Mereka inilah yang tidak mengetahui hakekat syafa’at yang sebenarnya padahal syafa’at ada yang diterima dan ada pula yang ditolak.

****

وَدَلِيْلُ الشَّفَاعَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ﴾[يونس:18]، وَالشَّفَاعَةُ شَفَاعَتَانِ: شَفَاعَةٌُ مَنْفِيَّةٌُ وَشَفَاعَةٌُ مُثْبَتَةٌُ: فَالشَّفَاعَةُ الْمَنْفِيَّةُ مَا كَانَتْ تُطْلَبُ مِنْ غَيْرِ اللهِ فِيْمَا لا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إِلاَّ اللهُ، وَالدَّلِيْلُ: قَوْلُهُ تَعَالَى ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمْ الظَّالِمُونَ﴾[البقرة:254].

Dalil bahwa argumen mereka adalah untuk memperoleh syafa’at yaitu firman Allah  ta‘ala (yang artinya), “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada Kami di sisi Allah”.” (QS. Yunus [10] : 18)

(Ketahuilah) bahwa syafa’at itu ada dua macam yaitu [1] syafa’at manfiyah (yang tertolak) dan [2] syafa’at mutsbatah (yang ditetapkan).

Syafa’at manfiyah (yang tertolak) adalah syafa’at yang diminta dari selain Allah, padahal tidak ada yang mampu memberikan syafa’at kecuali dengan izin-Nya. Dalilnya hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al Baqarah [2] : 254)

 

Syafa’at itu memiliki syarat-syarat sehingga tidak berlaku secara mutlak[3].

Syafa’at itu ada dua macam. Pertama adalah syafa’at yang dinafikan (ditiadakan) oleh Allah jalla wa ‘ala yaitu syafa’at yang diminta tanpa izin Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan izin-Nya. Perhatikanlah makhluk yang paling utama dan penutup para Nabi -yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-, jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberi syafa’at kepada orang-orang yang mengalami kesulitan di padang mahsyar pada hari kiamat, beliau tersungkur dan bersujud di hadapan Allah, beliau memohon kepada-Nya dan menyanjung-Nya. Beliau tidaklah berhenti bersujud sampai dikatakan padanya,

ارْفَعْ رَأْسَكَ قُلْ تُسْمَعْ اشْفَعْ تُشَفَّعْ

 “Angkatlah kepalamu. Mintalah pasti engkau akan didengar. Berilah syafa’at pasti akan dikabulkan“.[4]

Perhatikanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri baru bisa memberi syafa’at setelah diizinkan oleh Allah.

****

]. وَالشَّفَاعَةُ الْمُثْبَتَةُ هِيَ: الَّتِي تُطْلَبُ مِنَ اللهِ، وَالشَّافِعُ مُكْرَمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالْمَشْفُوْعُ لَهُ: مَنْ رَضِيَ اللهُ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ بَعْدَ الإذْنِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ﴾[البقرة:255].

Syafa’at mutsbatah (yang ditetapkan) adalah syafa’at yang diminta dari Allah. Pemberi syafa’at adalah orang yang dimuliakan dengan syafa’atnya. Sedangkan orang yang disyafa’ati adalah orang yang Allah ridhoi perkataan dan amalannya, syafa’at tersebut diberikan setelah mendapatan izin dari Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS Al Baqarah [2] : 255)

Syafa’at mutsbatah (yang ditetapkan) adalah syafa’at yang diberikan kepada orang yang bertauhid. Syafa’at tidaklah bermanfaat bagi orang-orang musyrik dan orang-orang yang bertaqarub (mendekatkan diri) dan bernadzar kepada kubur. Perbuatan semacam ini adalah kesyirikan, syafa’atnya tidak bermanfaat sama sekali.

KESIMPULAN :

Sesungguhnya syafa’at manfiyah (yang ditolak) adalah syafa’at yang diminta tanpa izin Allah atau yang diminta oleh orang musyrik. Sedangkan syafa’at mutsbatah (yang ditetapkan) adalah syafa’at yang diminta setelah izin Allah dan akan diberikan pada ahli tauhid.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh TuasikalFans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom

Telah hadir buku terbaru: Buku Mengenal Bid’ah Lebih Dekat (harga: Rp.13.000,-), karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Kirimkan format pemesanan via sms ke no 0852 0017 1222 atau via PIN BB 2AF1727A: Buku Bid’ah#Nama#Alamat#no HP. Nanti akan diberitahu biaya dan rekening untuk transfer.

[1] Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan, “Syafa’at secara bahasa diambil dari kata (الشَفْعُ) yang merupakan lawan kata dari (الوِتْرُ). Sedangkan (الوِتْرُ) adalah ganjil atau tunggal. Kata (الشَفْعُ) berarti lebih dari satu yaitu dua, empat, atau enam. Dan (الشَفْعُ) dikenal dengan istilah bilangan ‘genap’.

Secara istilah, syafa’at adalah menjadi perantara (penghubung) dalam menyelesaikan hajat yaitu perantara antara orang yang memiliki hajat dan yang bisa menyelesaikan hajat.” (At Ta’liqot Al Mukhtashoroh ‘alal Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 95, Darul ‘Ashomah)

Agar lebih memahami syafa’at dapat kami contohkan sebagai berikut:

Si A memiliki hajat untuk membangun rumah. Dia tidak memiliki dana yang cukup. Oleh karena itu, agar bisa mencukupi kebutuhannya dia ingin meminjam uang pada si B yang terkenal kaya di daerahnya. Namun, si A ini tidak begitu akrab dengan si B sehingga dia meminta si C untuk jadi perantara. Akhirnya, si C mengantarkan si A pada si B sehingga keperluan si A terpenuhi.

Si C yang berlaku sebagai perantara di sini disebut dengan syafi’ yaitu pemberi syafa’at. [pent]

[2] Yang dimaksud dengan orang zholim di sini adalah orang kafir berdasarkan hadits mutawatir mengenai adanya syafa’at bagi pelaku dosa besar.

Al Hafizh Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab 1/205 mengatakan, “Orang zholim dalam ayat ini adalah orang-orang kafir. Yang menguatkan hal ini adalah konteks ayat sebelumnya yang membicarakan tentang orang kafir.”

Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Orang yang menzholimi dirinya dengan berbuat syirik kepada Allah tidak akan mendapatkan manfaat (pertolongan) dari kerabat dekatnya dan juga mendapatkan syafa’at dari syafi’ (orang yang memberi syafa’at).” [pent]

[3] Maksudnya tidak semua syafa’at bisa diterima. [pent]

[4] Hadits ini adalah potongan dari hadits yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari no. 7510 dalam At Tauhid, Bab ‘Perkataan Allah pada hari kiamat kepada para Nabi dan selainnya’. Juga diriwayatkan oleh Muslim no. 193 dalam Al Iman, Bab ‘Kedudukan penduduk surga yang paling rendah’ dari Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Artikel yang Terkait

Satu Komentar

  1. bisakah anda menjelaskan (jika anda memang menyamakan persis) kesamaan tawasulnya kaum musyrikin dan kaum muslimin (yang bertawasul kepada para nabi dan kaum shalihin yang msh hidup atau yg sdh wafat)?

    mohon dijawab dulu
    karena ayat-ayat yg anda kutip tidak mengena, jauh panggang dari api..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button