Keluarga

Hukum Meminang Wanita dalam Berbagai Kondisi Menurut Islam

Dalam Islam, proses pernikahan diawali dengan pinangan atau khithbah. Namun, tidak semua kondisi wanita boleh dipinang, karena syariat telah mengatur hukum pinangan sesuai statusnya—apakah ia masih lajang, sudah menikah, atau dalam masa iddah. Ada pinangan yang dibolehkan secara terang-terangan, ada pula yang hanya boleh dengan sindiran, bahkan ada yang diharamkan sama sekali. Memahami aturan ini penting agar proses menuju pernikahan tetap sesuai syariat dan terhindar dari pelanggaran.

 

Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَرَّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ، وَيَجُوزُ أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا، وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا.
وَالنِّسَاءُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: ثَيِّبَاتٌ وَأَبْكَارٌ، فَالْبِكْرُ يَجُوزُ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ، وَالثَّيِّبُ لَا يَجُوزُ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهَا وَإِذْنِهَا.

“Tidak boleh secara terang-terangan meminang wanita yang masih menjalani masa iddah. Namun, diperbolehkan menyampaikan pinangan secara sindiran, dan boleh menikahinya setelah masa iddahnya selesai.

Wanita terbagi menjadi dua jenis:

Perawan (bikr): Ayah atau kakek boleh menikahkannya tanpa persetujuannya (dalam hukum fikih klasik, ini disebut hak ijbar).

Janda (tsayyib): Tidak boleh dinikahkan kecuali setelah ia baligh dan memberikan izinnya.”

 

Penjelasan

Dalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan:

Khithbah adalah permintaan untuk menikah.

Jika seorang wanita tidak sedang menikah dan tidak dalam masa iddah, maka boleh dipinang baik secara terang-terangan (tashrih) maupun sindiran (ta‘ridh).

Jika ia masih berstatus istri orang lain, maka haram meminangnya, baik terang-terangan maupun sindiran.
Jika ia sedang dalam masa iddah, maka:

  • Untuk iddah talak raj‘i: Haram meminangnya, baik dengan terang-terangan maupun sindiran, karena statusnya masih sebagai istri.
  • Untuk iddah wafat suami, atau status yang semakna dengannya seperti talak bain atau nikah yang dibatalkan (faskh): Haram pinangan secara terang-terangan, tetapi boleh secara sindiran, sebagaimana firman Allah:

﴿وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ﴾

Tidak ada dosa bagi kalian jika menyampaikan sindiran dalam meminang wanita.” (QS. Al-Baqarah: 235)

Contoh dalam hadits: Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ditalak bain oleh suaminya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika masa iddahmu telah habis, beritahulah aku.”

Perbedaan antara pinangan terang-terangan dan sindiran adalah:

  • Jika terang-terangan, sudah jelas ada keinginan menikah sehingga dikhawatirkan wanita tersebut berdusta mengaku iddahnya telah selesai karena dorongan syahwat atau sebab lainnya.
  • Jika sindiran, hal ini tidak terlalu dikhawatirkan.

Dalam hal ini, sebagian ulama membedakan antara iddah yang dihitung dengan masa haid (al-aqra’) dan yang dihitung dengan bulan (asy-syuhur), namun pendapat yang lebih kuat mengatakan tidak ada perbedaan hukumnya.

Contoh kata-kata pinangan terang-terangan:

“Aku ingin menikahimu.”

“Jika masa iddahmu selesai, aku akan menikahimu.”

Contoh kata-kata sindiran:

“Mungkin ada yang tertarik padamu.”

“Jika masa iddahmu selesai, kabari aku.”

“Siapa yang akan mendapatkan wanita seperti dirimu?”

Semua pembahasan ini berlaku jika yang meminang bukan mantan suami yang berhak rujuk. Adapun jika yang meminang adalah mantan suami yang masih boleh menikahinya dalam masa iddah (seperti talak raj‘i), maka ia boleh meminang secara terang-terangan.

 

Kesimpulan

Islam membedakan hukum meminang berdasarkan kondisi wanita—apakah tidak menikah, masih berstatus istri, atau sedang dalam masa iddah. Pinangan bisa dilakukan dengan dua cara: terang-terangan (tashrih) atau sindiran (ta‘ridh), masing-masing memiliki aturan tersendiri. Dengan memahami ketentuan ini, seorang Muslim dapat menjaga kehormatan, menghindari dosa, dan menempuh jalan pernikahan yang diridai Allah.

Referensi:

  • Abu Syujak, Ahmad bin Al-Husain. (t.t.). Matn Abi Syujak al-musamma al-Ghayah wa al-Taqrib. ‘Alam al-Kutub.
  • Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair.

 

_____

 

Ditulis pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush Sholihin

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button