Teladan

Sejarah Perang Mu’tah: Sebab Terjadi, Jalannya Pertempuran, dan Kemenangan Kaum Muslimin

Perang Mu’tah adalah salah satu pertempuran besar yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah, antara kaum muslimin dan pasukan Romawi di wilayah Syam (sekarang Yordania). Perang ini meletus setelah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Harits bin Umair Al-Azdi, dibunuh secara keji oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Rasulullah pun mengirim pasukan berkekuatan 3.000 orang sahabat untuk memberi balasan, meski harus menghadapi 200.000 tentara Romawi dan sekutunya. Pertempuran berlangsung sengit hingga tiga panglima kaum muslimin gugur secara bergantian sebelum Khalid bin Walid memimpin dan berhasil membawa pasukan pulang dengan kemenangan. Meski menghadapi musuh yang jauh lebih besar, kaum muslimin hanya kehilangan kurang dari sepuluh prajurit, sebuah tanda pertolongan Allah yang nyata.

 

 

Para ahli sejarah kehidupan Nabi (sirah) menyebut bahwa peristiwa ini termasuk dalam kategori ghazwah, yaitu peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Namun sebenarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikut serta dalam peperangan ini. Meski begitu, jumlah pasukan yang terlibat sangat besar, mencapai 3.000 orang sahabat. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan sebagian besar peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perang ini berlangsung pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah. Disebut “Perang Mu’tah” karena terjadi di daerah yang bernama Mu’tah, sebuah desa di kawasan Balqa’, wilayah Syam (kini termasuk Yordania). Secara geografis, lokasi tersebut berada di dekat kota Karak, sebelah timur Sungai Yordan. Sekarang tempat itu menjadi bagian dari kota Mu’tah, provinsi Al-Karak, Yordania.

Latar belakang terjadinya perang ini bermula ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azdi untuk membawa surat dakwah kepada penguasa Bashrah. Namun di tengah jalan, ia dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Utusan Rasulullah tersebut ditangkap, diikat, dan dibunuh. Ketika mendengar kabar itu, Rasulullah sangat marah karena tindakan membunuh utusan merupakan pelanggaran berat. Maka beliau mengirim pasukan untuk memberi balasan, dan menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima. Beliau juga bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far juga terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.”

Saat pasukan siap berangkat, kaum muslimin mengiringi mereka dengan penuh semangat dan doa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pesan kepada mereka agar singgah di tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair, dan menyeru penduduk di sana kepada Islam. Jika mereka menerima dakwah, maka berdamailah. Namun jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangi mereka.

Dalam momen itu, Abdullah bin Rawahah terlihat menangis. Ketika ditanya alasannya, ia berkata, “Demi Allah! Aku menangis bukan karena ingin berpisah dengan kalian atau karena cinta dunia. Tapi aku teringat satu ayat yang pernah dibacakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang neraka. Allah berfirman:

وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا

‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan pasti akan mendatanginya (neraka itu). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.’ (QS. Maryam: 71)

“Aku tidak tahu bagaimana nasibku saat melewati tempat itu.” Mendengar ucapannya, kaum muslimin pun menenangkan dan menguatkannya, “Allah pasti akan membersamai kalian dan menyelamatkan kalian saat melewati jembatan neraka itu, sebagai orang-orang yang saleh.”

Setelah itu, Abdullah bin Rawahah melantunkan bait syair dengan semangat:

Aku hanya memohon ampunan pada Ar-Rahman
Juga sabetan pedang yang telah menghapus noda
Atau tikaman tanganku yang perkasa
Dengan tombak yang merobek perut dan dada
Hingga ketika orang melintas makamku berkata:
‘Allah telah membimbingnya, pejuang yang mendapat hidayah.’

Pasukan kaum muslimin pun berangkat, diiringi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengantar mereka hingga ke perbatasan Tsaniyatul Wada’. Di sana beliau berhenti untuk melepas keberangkatan mereka dengan penuh doa dan harapan.

Sementara itu, Raja Romawi mendapatkan kabar tentang pergerakan pasukan Islam. Ia segera mempersiapkan pasukan besar untuk menghadang mereka. Sebanyak 100.000 tentara dikerahkan di bawah pimpinan Heraklius, dengan tambahan bala bantuan dari berbagai suku seperti Lakhm, Judzam, Balqin, Bahra, Wabil, hingga total pasukan mencapai 200.000 orang.

Mendengar jumlah musuh yang begitu besar, pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang berkumpul di Ma’an dan melakukan musyawarah selama dua hari. Sebagian di antara mereka mengusulkan, “Mari kita kirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan jumlah pasukan musuh. Mungkin beliau akan mengirimkan bala bantuan tambahan, atau memerintahkan kita untuk tetap melanjutkan misi ini.”

Di tengah perbincangan yang penuh kegelisahan itu, Abdullah bin Rawahah tampil untuk menyemangati pasukan. Ia berkata dengan lantang, “Wahai para prajurit! Bukankah yang kalian takutkan justru adalah sesuatu yang kalian rindukan ketika berangkat ke medan perang? Yaitu syahadah (mati syahid). Kita tidak pernah menang karena jumlah atau kekuatan kita yang besar, tetapi karena agama ini—semangat iman yang Allah jadikan sebagai kemuliaan kita. Maka majulah! Kita hanya punya dua pilihan yang sama-sama baik: menang atau mati syahid!”

Kata-kata itu menggugah hati para prajurit. Mereka pun menyahut dengan penuh semangat, “Demi Allah! Sungguh benar apa yang engkau ucapkan, wahai Abdullah bin Rawahah!” Akhirnya, pasukan sepakat untuk meneruskan perjalanan. Mereka maju menghadapi musuh hingga tiba di Masyarif. Pasukan Heraklius bergerak mendekat, sementara kaum muslimin masuk ke perkampungan Mu’tah, membangun markas militer, dan bersiap-siap melancarkan serangan.

Di medan Mu’tah, kedua pasukan akhirnya bertemu. Pasukan muslim yang hanya berjumlah 3.000 orang harus menghadapi gempuran dahsyat dari 200.000 tentara Romawi. Pertempuran yang berat pun terjadi. Panglima kaum muslimin, Zaid bin Al-Haritsah, gugur sebagai syuhada setelah memimpin pasukan dengan gagah berani.

Setelah Zaid syahid, panji pasukan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dengan kudanya, ia menerobos barisan musuh, namun sebuah pedang menebas tangan kanannya. Ia pun memindahkan panji ke tangan kirinya, hingga tangan kirinya juga tertebas. Tidak menyerah, Ja’far memeluk panji dengan dadanya, bertahan sampai akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap di surga, sehingga ia dikenal sebagai “orang yang memiliki dua sayap”.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima perang. Beliau bersabda, *‘Jika Zaid gugur, maka pengganti berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.’” Ibnu Umar melanjutkan, “Saat itu kami bersama pasukan, dan ketika mencari Ja’far, kami mendapati tubuhnya sudah dipenuhi lebih dari 90 luka akibat panah, tombak, dan pedang.” Karena itu, setiap kali Ibnu Umar bertemu putra Ja’far, ia berkata, *“Salam untukmu, wahai putra pemilik dua sayap.”

Setelah Ja’far gugur, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berjuang sampai akhirnya ia pun syahid. Kemudian Tsabit bin Arqam maju menyelamatkan panji dan berkata kepada pasukan, “Wahai kaum muslimin! Sepakatlah untuk menunjuk seorang panglima baru.” Mereka menjawab, “Kamu saja yang memimpin!” Namun Tsabit menolak dengan rendah hati, “Aku tidak mau.” Akhirnya, para prajurit memilih Khalid bin Walid sebagai pemimpin.

Ketika panji pasukan dipegang oleh Khalid bin Walid, ia memimpin pertempuran dengan penuh keberanian dan kegigihan. Qais bin Abi Hazim meriwayatkan bahwa Khalid pernah berkata, “Pada Perang Mu’tah, aku telah mematahkan sembilan pedang. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedang tersisa di tanganku, kecuali sebuah pedang lebar buatan Yaman.”

Pada malam hari, Khalid mulai menyusun strategi untuk mengecoh musuh. Pagi harinya, ia mengatur ulang barisan pasukan: posisi pasukan depan dipindah ke belakang, pasukan belakang maju ke depan, yang berada di sayap kiri digeser ke kanan, dan yang di sayap kanan dipindah ke kiri. Pergeseran posisi ini membuat musuh tidak lagi mengenali pasukan kaum muslimin. Mereka menyangka pasukan bantuan telah datang dari Madinah. Dengan perasaan gentar, pasukan musuh pun menjadi takut dan memilih mundur.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berduka atas gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Di hadapan para sahabat, bahkan sebelum berita kematian mereka sampai, beliau bersabda dengan mata yang berlinang, “Panji telah diambil oleh Zaid, dan ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji dipegang oleh Ja’far, dan ia pun gugur sebagai syahid. Setelah itu diambil oleh Ibnu Rawahah, dan ia juga gugur sebagai syahid. Hingga akhirnya panji itu diambil oleh salah satu pedang Allah, lalu Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.”

Meski pertempuran berlangsung sengit dan pasukan musuh sangat besar, jumlah syuhada di pihak kaum muslimin kurang dari sepuluh orang. Sementara jumlah korban dari pihak musuh tidak diketahui secara pasti, namun melihat kondisi pertempuran, jumlahnya pasti sangat banyak. Salah satu tandanya adalah sembilan pedang yang patah di tangan Khalid bin Walid, sebagaimana yang beliau sebutkan. Dengan izin Allah, kaum muslimin akhirnya kembali dari medan Mu’tah membawa kemenangan.

 

Pelajaran Penting dari Perang Mu’tah

Pertama: Membunuh seorang utusan atau delegasi merupakan tindakan kejahatan besar. Sejak zaman dahulu, telah menjadi aturan tak tertulis bahwa utusan tidak boleh disakiti, apalagi dibunuh. Namun, Syurahbil Al-Ghassani melanggar norma ini dengan membunuh utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tak bersenjata dan tidak berdaya.

Tindakan ini jelas tidak bisa dibiarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merespons dengan mengirim pasukan dalam jumlah besar sebagai bentuk pembelaan atas terbunuhnya seorang muslim yang sedang menjalankan misi dakwah kepada penguasa Bashrah.

Kedua: Perang Mu’tah menjadi momen pertama kali kaum muslimin berhadapan langsung dengan pasukan Romawi dalam sebuah jihad di jalan Allah. Dengan pertolongan Allah, kemenangan pun berpihak kepada kaum muslimin. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dari wilayah Syam, hingga akhirnya wilayah itu menjadi bagian dari negeri Islam.

Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dalam ekspedisi Mu’tah. Padahal, Zaid adalah seorang mantan budak, sementara dalam barisan pasukan terdapat tokoh-tokoh terhormat seperti Ja’far bin Abi Thalib—sepupu Nabi sendiri—juga Abdullah bin Rawahah, dan sejumlah sahabat mulia lainnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menilai seseorang berdasarkan status sosial, keturunan, atau latar belakangnya, melainkan berdasarkan kualitas iman dan takwa.

Sikap ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۗ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)

Dengan kata lain, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata didasarkan pada kemaslahatan umat dan ketakwaan orang yang ditunjuk, bukan karena keturunan atau asal-usulnya.

Keempat: Pertempuran antara kaum muslimin dan pasukan Romawi yang terkenal besar dan ditakuti menjadi titik balik yang menggetarkan banyak kabilah Arab. Melihat keberanian dan kekuatan kaum muslimin menghadapi lawan sebesar itu, banyak kabilah yang sebelumnya ragu akhirnya merasa gentar dan tak lagi memusuhi Islam. Bahkan, sebagian besar dari mereka kemudian masuk Islam setelah menyaksikan kejadian ini.

Kelima: Sikap Abdullah bin Rawahah –raḍiyallāhu ‘anhu– yang menangis ketika mengingat sebuah ayat Al-Qur’an menunjukkan betapa dalamnya keimanan beliau. Ia sadar betul akan kenyataan berat yang menanti setiap manusia di akhirat, sehingga hatinya luluh dan matanya menangis.

Ayat yang membuatnya menangis adalah firman Allah Ta‘ala:

وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا

Dan tidak ada seorang pun dari kamu, melainkan akan mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketetapan yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71)

Ayat ini mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan melewati neraka, meski pada akhirnya orang beriman akan diselamatkan oleh Allah. Abdullah bin Rawahah tidak sekadar memahami maknanya, tapi benar-benar merenungkannya hingga membekas dalam jiwa. Ini menjadi teladan bagi kita semua, bahwa keimanan yang kuat akan membuat seseorang lebih takut kepada akhirat dan lebih sungguh-sungguh mempersiapkan bekalnya.

Keenam: Para sahabat memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap janji kemenangan dari Allah. Ketika mereka maju ke medan perang, yang jadi pegangan bukanlah hitung-hitungan jumlah atau kekuatan musuh. Mereka tidak gentar meskipun tahu bahwa pasukan lawan jauh lebih besar. Mereka tetap maju karena yang mereka andalkan adalah iman yang kokoh di dalam hati, dan keyakinan penuh bahwa pertolongan Allah akan datang kepada mereka.

Ketujuh: Salah satu keutamaan Ja’far bin Abi Thalib –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak jelas di medan perang. Meski kedua tangannya telah putus akibat sabetan musuh, ia tidak rela panji Islam jatuh ke tanah. Dengan sisa kekuatannya, ia dekap panji itu ke dadanya, mempertahankannya tetap tegak hingga akhirnya beliau gugur sebagai syuhada. Karena pengorbanan luar biasa itu, Allah memberinya balasan istimewa: dua sayap di surga yang membuatnya bisa terbang ke mana pun ia mau. Semoga Allah selalu meridhainya.

Kedelapan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepada para sahabat tentang jalannya Perang Mu’tah—bahwa tiga panglima gugur sebagai syahid, lalu kepemimpinan beralih kepada Khalid bin Walid, hingga akhirnya pasukan muslimin meraih kemenangan. Padahal semua itu terjadi jauh dari Madinah dan belum ada utusan yang datang membawa kabar. Ini menjadi salah satu bukti nyata dari sekian banyak tanda kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kesembilan: Salah satu keutamaan besar yang dimiliki Khalid bin Walid –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak dalam Perang Mu’tah. Dalam pertempuran itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai “Pedang Allah” karena keberaniannya dan kepiawaiannya memimpin pasukan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah memberikan kemenangan melalui tangannya.” Julukan dan pengakuan ini menunjukkan bahwa Khalid adalah panglima hebat yang memainkan peran penting dalam kemenangan kaum muslimin.

Kesepuluh: Perang Mu’tah menyimpan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Ini adalah pertempuran pertama mereka melawan kekuatan besar seperti Romawi. Dari peristiwa ini, kaum muslimin bisa belajar mengenali karakter musuh, memahami strategi tempur yang digunakan, dan menyesuaikan taktik sesuai kondisi medan serta wilayah yang dihadapi. Pengalaman ini menjadi bekal penting untuk jihad-jihad selanjutnya.

Kesebelas: Besarnya duka yang dirasakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far juga gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far adalah sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang ikut hijrah ke Habasyah.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kabar gugurnya mereka, beliau bersabda:

“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang lebih membuatku gembira: kedatangan Ja’far, atau pembukaan (kemenangan) Khaibar?”

Namun keduanya tidak datang. Justru kabar duka yang tiba: Ja’far –semoga Allah meridhainya– gugur setelah peristiwa Khaibar. Maka tidak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kegembiraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ja’far dan pembukaan Khaibar, kecuali kabar gugurnya mereka yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berduka. Mereka berdua—Zaid dan Ja’far—dibawa kabarnya dalam satu waktu.

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan gugurnya tiga panglima tersebut: Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah –semoga Allah meridhai mereka semua–.

Kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang, air matanya menetes saat beliau menyampaikan kabar itu. Hati beliau turut bersedih.

Maka semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka, dan semoga Allah memberikan balasan terbaik atas jasa-jasa mereka, serta memberikan balasan yang sama kepada kita semua. Semoga kita dikumpulkan bersama mereka pada hari telaga Nabi dan di surga Firdaus yang tertinggi.

Kedua belas: Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallāhu ‘anhu, diriwayatkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”
(HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3:280, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Ini adalah contoh nyata perhatian terhadap orang yang tertimpa musibah, serta bentuk empati dengan ikut meringankan beban mereka.

Hadis ini juga menunjukkan salah satu hak seorang muslim atas muslim lainnya: menghibur dan membantu ketika tertimpa musibah. Ini adalah hal yang patut terus diingat dan diamalkan oleh setiap muslim.

Di masa sekarang, anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sering diwujudkan dengan takziyah sambil membawa bahan makanan, seperti beras, gula, teh, kelapa, atau bahkan uang tunai. Lalu, bahan tersebut biasanya dimasak oleh para tetangga dan dibagikan kepada pelayat yang hadir. Bila hal ini dilakukan tanpa memberatkan keluarga yang sedang berduka dan dalam kadar yang wajar, maka tidaklah termasuk hal yang tercela, bahkan menjadi bentuk kebersamaan dan gotong royong yang dianjurkan.

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:

“Jika memang diperlukan, seperti banyaknya pelayat yang datang dari jauh, maka tidak mengapa menyediakan makanan bagi mereka.”

Larangan Membebani Ahlul Mayit

Namun, para sahabat melarang bila justru keluarga mayit yang membuat dan menyuguhkan makanan untuk para pelayat—apalagi setelah pemakaman—karena dikhawatirkan menambah beban di tengah kondisi duka.

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan:

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah pemakaman termasuk bagian dari ratapan (niyāhah).” (HR. Ahmad)

Demikian pula dalam riwayat Ibnu Mājah, Umar bin Khattab –raḍiyallāhu ‘anhu– pernah menegur praktik serupa:

رُوِيَ أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: وَهَلْ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَيَجْعَلُونَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَلِكَ النَّوْحُ

“Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya: ‘Apakah mayit kalian diratapi?’ Jarir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi: ‘Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan?’ Jarir menjawab: ‘Iya.’ Maka Umar berkata: ‘Itu adalah bentuk ratapan.’” (HR. Ibnu Mājah)

Maka kesimpulannya, membantu keluarga duka dengan membawa bahan makanan atau membantu memasak adalah sunnah jika tidak membebani mereka. Namun, jika keluarga mayit yang malah dipaksa menjamu tamu, apalagi disertai batasan waktu seperti tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari, maka praktik seperti itu menyerupai tradisi meratap (niyāhah) yang dilarang.

Prinsipnya adalah: selama tidak berlebihan, tidak memberatkan, dan tidak disertai keyakinan tertentu yang tidak ada dasarnya, maka hal itu dibolehkan.

 

Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?

Para ulama ahli sirah berbeda pendapat dalam menyimpulkan hasil dari pertempuran ini, karena tidak ada pihak yang benar-benar menang mutlak. Jumlah pasukan dari kedua kubu seimbang. Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat bahwa masing-masing pihak mengklaim kemenangan atas pihak lain.

Al-Baihaqi rahimahullah berkata:

“Para ahli maghazi (sejarah peperangan Nabi) berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaum Muslimin mundur dan mundurnya itu disebut kemenangan karena bertahan hidup. Sebagian lain berpendapat bahwa kaum Muslimin menang dan berhasil mengalahkan pasukan musyrikin. Ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‘Kemudian Khalid mengambil panji lalu ia menang (فتح الله عليه).’”

Hal ini menunjukkan bahwa Khalid mendapatkan kemenangan. Wallahu a‘lam mana yang lebih tepat.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

“Pendapat ini bisa dikompromikan dengan riwayat Ibnu Ishaq dan riwayat lainnya. Khalid bin Walid mengambil panji lalu ia memimpin sayap pasukan Muslimin, dan berhasil menyelamatkan mereka dari kepungan pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya. Ketika pagi hari datang, posisi pasukan Muslimin telah berubah; mereka berada di sayap kanan, kiri, dan tengah. Kaum Romawi mengira telah datang bala bantuan baru kepada kaum Muslimin, sehingga mereka menjadi gentar. Lalu Khalid pun menyerang mereka, dan Allah mengalahkan mereka melalui tangannya.”

Bagaimanapun keadaannya, sikap berani para sahabat –semoga Allah meridhai mereka– dalam menghadapi pasukan Romawi yang besar, lengkap dengan jumlah dan perlengkapannya, menunjukkan keteguhan dan ketegaran mereka. Mereka tahu betapa besarnya kekuatan lawan, namun tetap berdiri tegak tanpa gentar.

Padahal jumlah pasukan Islam saat itu sangat kecil. Bahkan dari seluruh pasukan, yang gugur hanya 12 orang. Sementara dari pihak Romawi dan sekutunya, dikatakan bahwa seribu pasukan mereka tewas. Ini menunjukkan bahwa dari segi jumlah korban, pasukan musuh jauh lebih banyak yang jatuh.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menyebut nama-nama para syuhada di Perang Mu’tah:

“Totalnya hanya dua belas orang yang gugur. Ini luar biasa. Sebab dua pasukan besar yang berhadapan, salah satunya adalah pasukan yang berjuang di jalan Allah, berjumlah 3.000 personel. Sedangkan yang satu lagi adalah pasukan kafir dari Romawi dan sekutunya, berjumlah 100.000 orang, ditambah 100.000 lagi dari sekutu mereka bangsa Arab. Mereka semua bersatu untuk melawan kaum muslimin. Namun tetap saja, jumlah syuhada dari kaum muslimin tidak lebih dari 12 orang, padahal jumlah musuh yang terbunuh jauh lebih banyak. Hal ini sungguh menakjubkan.”

Khalid bin Walid bahkan berkata:

“Sungguh, aku kehilangan sembilan pedang dalam pertempuran ini. Tidak tersisa di tanganku kecuali pedang buatan Yaman.”

Apa yang bisa kita katakan melihat keberanian para sahabat ini? Mereka adalah para pahlawan sejati, orang-orang pemberani, penghafal Al-Qur’an, dan para kekasih Allah yang memiliki semangat jihad yang luar biasa. Mereka berjuang membela agama ini pada zaman yang penuh kegelapan.

Ibnu Katsir kemudian mengutip firman Allah Ta’ala:

{قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ}

Sungguh, telah ada tanda (kekuasaan Allah) pada dua kelompok yang saling berhadapan: satu kelompok berperang di jalan Allah, sedangkan yang lain kafir. Mereka (orang kafir) melihat (kaum muslimin) dua kali lipat dari mereka menurut pandangan mata. Dan Allah memberi pertolongan kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Āli ‘Imrān: 13)

Baca Juga: 

—-

 

Ditulis pada Jumat Sore, 7 Safar 1447 H, 1 Agustus 2025

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button