Amalan

Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi

Ayat Kursi dikenal sebagai ayat paling agung dalam Al-Qur’an, dengan berbagai keutamaan yang telah disebutkan dalam banyak hadits sahih, termasuk dari Rasulullah ﷺ. Dalam Kitab Al-Fadhail dari Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, dibahas anjuran membaca Ayat Kursi dan surah-surah tertentu serta tafsir singkat dari ayat kursi ini. Artikel ini menguraikan keutamaan Ayat Kursi dan hikmah yang terkandung di dalamnya berdasarkan penjelasan para ulama.

 

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)

ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ

Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu

 

Hadits #1019

ِوَعَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: “يَا أَبَا الْمُنْذِرِ، أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟” قُلْتُ: اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ. فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ: “لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ”. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ: ٨١٠، حَدِيثٌ صَحِيحٌ)

Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ’anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Al-Mundzir, tahukah engkau ayat mana dari Kitab Allah yang ada bersamamu itu yang paling agung?” Aku menjawab, ‘Allāhu lā ilāha illā huwal hayyul qayyūm.’ Lalu beliau memukul dadaku dan berkata, ‘Semoga engkau mudah memperoleh ilmu, wahai Abu Al-Mundzir.’ (HR. Muslim: 810, hadits sahih)

 

Faedah hadits

  1. Disunnahkan menggunakan kun-yah untuk laki-laki dan dipanggil dengan kun-yah tersebut.
  2. Hadits ini menunjukkan keutamaan Abul Mundzir.
  3. Menghormati ulama dan meletakkan mereka pada tempatnya.
  4. Dibolehkan seorang ulama bertanya kepada muridnya dalam rangka taklīm atau penegasan (konfirmasi).
  5. Boleh memuji seseorang di hadapannya apabila aman dari keburukan atau pujian tersebut dapat menimbulkan mashlahat.
  6. Hadits ini menunjukkan keutamaan ayat kursi yang merupakan ayat yang paling agung dalam Al-Qur’an.
  7. Hadits ini menunjukkan fadlilah atau keutamaan ilmu. Oleh karena itu, sepantasnya diambil dari sumbernya yang benar, dan tidak boleh ditetapkan dengan hadits-hadits yang dha’if dan riwayat-riwayat yang lemah.

 

Ayat ini adalah ayat Kursi. Ayat yang mengandung sesuatu yang sangat agung. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Ayat ini mencakup 10 (sepuluh) kalimat yang berdiri sendiri.

 

Pertama: Tidak Ada Ilah yang Berhak Disembah Selain Allah

Allah Ta’ala berfirman,

ِاللَّهُ‭ ‬لَا‭ ‬إِلَٰهَ‭ ‬إِلَّا‭ ‬هُوَ‭ ‬الْحَيُّ‭ ‬الْقَيُّومُ

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).”

Artinya, Allah menjelaskan bahwa Dia adalah satu-satunya sesembahan yang tunggal, yang wajib disembah oleh seluruh makhluk, tunggal dalam uluhiyah-Nya. Dialah Allah yang kekal hidupnya dan tidak pernah mati selamanya, yang mengendalikan segala sesuatu yang ada. Dengan demikian, semua yang ada di dunia ini sangat membutuhkan-Nya, sedangkan Dia sama sekali tidak membutuhkan mereka. Segala sesuatu tidak akan tegak tanpa perintah-Nya. Seluruh makhluk ini adalah ciptaan-Nya, dan Dia lah yang mengatur semuanya. Sebagaimana firman-Nya,

ِوَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَن تَقُومَ ٱلسَّمَآءُ وَٱلْأَرْضُ بِأَمْرِهِۦ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradah (kehendak)-Nya.” (QS. Ar-Ruum: 25)

 

Kedua: Al-Hayyu & Al-Qayyum

Dari Anas, ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam keadaan duduk lantas ada seseorang yang shalat, kemudian ia berdo’a,

ِاللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ.

Allahumma inni as-aluka bi-anna lakal hamda, laa ilaha illa anta al-mannaan badii’us samaawaati wal ardh, yaa dzal jalali wal ikram, yaa hayyu yaa qayyum [artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu karena segala puji hanya untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, Yang Banyak Memberi Karunia, Yang Menciptakan langit dan bumi, Wahai Allah yang Maha Mulia dan Penuh Kemuliaan, Ya Hayyu Ya Qayyum –Yang Maha Hidup dan Tidak Bergantung pada Makhluk-Nya-].”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِلَقَدْ دَعَا اللَّهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيمِ الَّذِى إِذَا دُعِىَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى

Sungguh ia telah berdo’a pada Allah dengan nama yang agung di mana siapa yang berdo’a dengan nama tersebut, maka akan diijabahi. Dan jika diminta dengan nama tersebut, maka Allah akan beri.” (HR. Abu Daud no. 1495 dan An-Nasa’i no. 1301. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Makna Al-Hayyu

Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani berkata, yang dimaksud dengan al-hayyu adalah hidup yang sempurna. Di dalam sifat al-hayyu ada sifat dzatiyah bagi Allah yaitu al-‘ilmu (ilmu), al’ izzah (mulia), al-qudrah (kemampuan), al-iradah (keinginan), al-‘azhamah (mulia), al-kibriya’ (maha tinggi) dan sifat-sifat dzatiyah yang sangat suci (sakral) lainnya. (Syarh Asma’ Allah Al-Husna, hlm. 104)

Al-hayyu melazimkan seluruh adanya seluruh sifat kamal (kesempurnaan bagi Allah). Sifat pendengaran, penglihatan, ilmu, kemampuan, kemuliaan, rahmat, kehendak, ada pada nama Al-Hayyu (Maha Hidup).

Konsekuensi dari mengimani nama Allah Al-Hayyu tentu akan membuat hamba memurnikan atau mengikhlaskan ibadah hanya pada Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Demikian yang diterangkan dalam Kitab At-Tauhid, hlm. 165-168.

 

Makna Al-Qayyum

Al-qayyum punya dua makna:

  • Allah berdiri sendiri dengan sifat kemuliaan-Nya dan tidak bergantung pada satu pun makhluk-Nya.
  • Allah yang mengatur bumi dan langit serta segala makhluk di dalamnya. Allah tidak butuh pada makhluk, bahkan makhluk yang butuh pada-Nya. (Syarh Asma’ Allah Al-Husna, hlm. 105)

Konsekuensi dari nama Allah Al-Qayyum, Allah itu berdiri sendiri. Allah juga mengatur setiap makhluk-Nya. Allah yang mengatur rezeki mereka. Allah yang mengatur urusan mereka, akan mengumpulkan dan menghisab pada hari kiamat.

Yang menunjukkan kesempurnaan sifat Al-Hayyu Al-Qayyum, Allah tidak mengantuk dan tidak tidur. Allah berdiri sendiri dan tidak butuh pada makhluk-Nya. Kitab At-Tauhid, hlm. 170.

 

Kandungan mendalam Al-Hayyu & Al-Qayyum

Ibnul Qayyim dalam Zaad Al Ma’ad (4: 187) berkata, “Do’a ‘yaa hayyu yaa qayyum, bi rahmatika astaghits …’ punya kandungan yang luar biasa.

Sifat hayyu (kehidupan) mengandung makna bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan mengonsekuensikan sifat sempurna tersebut. Sedangkan sifat qayyum mengandung makna seluruh sifat fi’liyah (sifat yang menunjukkan perbuatan Allah).

Oleh karena itu, nama Al-Hayyu Al-Qayyum termasuk dalam nama Allah yang agung (ism Allah Al A’zham) di mana jika seseorang berdo’a dengannya, akan dikabulkan. Jika meminta dengannya, akan diberi.

Kalau disebut Allah memiliki sifat hayat (kehidupan) yang sempurna, maka tentu Allah terlepas dari berbagai cacat (penyakit). Karenanya, penduduk surga mengalami kehidupan yang sempurna yang tidak lagi merasa cemas, susah, sedih, dan kesengsaraan lainnya.

Kalau sifat hayat (kehidupan) tak sempurna, berarti berpengaruh pada perbuatan yang tidak sempurna. Sehingga sifat qayyum pula jadi tidak sempurna. Sifat qayyum yang sempurna (ketidakbergantungan pada makhluk) pasti berasal dari sifat hayat (kehidupan) yang sempurna. Sifat hayyu (kehidupan) yang sempurna menunjukkan adanya sifat lain yang sempurna. Sedangkan sifat qayyum yang sempurna menunjukkan sifat perbuatan yang sempurna.

Karenanya seseorang yang bertawassul dengan sifat hayyu dan qayyum punya pengaruh besar, di mana ia akan dihilangkan dari sifat yang bertentangan dengan sifat kehidupan (seperti dijauhkan dari penyakit, pen.) dan dapat dihilangkan dari sifat jelek lainnya.”

 

Amalan dengan Al-Hayyu dan Al-Qayyum

1. Dzikir pagi dan petang

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Fatimah (puterinya), “Apa yang menghalangimu untuk mendengar wasiatku atau yang kuingatkan padamu setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah:

ِيَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, wa ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan [artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya].” (HR. Ibnu As Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 46, An-Nasa’i dalam Al-Kubra 381: 570, Al-Bazzar dalam musnadnya 4/ 25/ 3107, Al-Hakim 1: 545. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 227).

2. Doa ketika dirundung duka

Dari Anas bin Malik, ia berkata,

ِكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ « يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dapat masalah berat (kesedihan mendalam), beliau membaca: Yaa Hayyu Yaa Qayyum, bi rahmatika as-taghiits [artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan].” (HR. Tirmidzi no. 3524. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ada juga doa yang lafazhnya hampir mirip dengan lafazh di atas dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِدَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Doa orang yang dirundung duka: Allahumma rahmataka arjuu fa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin wa ash-lihlii sya’nii kullahu laa ilaha illa anta [artinya: Ya Allah, dengan rahmat-Mu, aku berharap, janganlah Engkau sandarkan urusanku pada diriku walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku seluruhnya, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau].” (HR. Abu Daud no. 5090, Ahmad 5: 42. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan karena mengingat adanya penguat).

 

Ketiga: Tidak Mengantuk dan Tidak Tidur

Allah Ta’ala berfirman,

ِلَا‭ ‬تَأْخُذُهُ‭ ‬سِنَةٌ‭ ‬وَلَا‭ ‬نَوْمٌ

“Tidak mengantuk dan tidak tidur”

Artinya, Dia terhindar dari segala cacat, kelengahan, dan kelalaian dalam mengurus makhluk-Nya. Sebaliknya, Dia senantiasa mengurus dan memperhatikan apa yang dilakukan setiap individu. Dia selalu menyaksikan segala sesuatu; tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Di antara kesempurnaan sifat-Nya adalah Dia tidak pernah dikalahkan oleh kantuk. Oleh karena itu, Dia juga berfirman, “Dan tidak juga tidur,” karena tidur itu lebih kuat daripada kantuk.

Dalam hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Abu Musa, telah berkata, 

ِ- قام فينا رسولُ اللهِ – صلَّى اللهُ عليه وسلَّم – بخمسِ كلماتٍ : قال : إنَّ اللهَ لا ينامُ ، ولا ينبغي له أن ينامَ ، ولكن يخفضُ القسطَ ويرفعُه ، يُرفعُ إليه عملُ اللَّيلِ قبل عملِ النَّهارِ ، وعملُ النَّهارِ قبلَ عملِ اللَّيلِ ، حجابُه النُّورُ ، لو كشفها لأحرقت سبُحاتُ وجهِه ما انتهَى إليه بصرُه من خلقِه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami lalu menyampaikan lima kalimat: (1) sesungguhnya Allah tidak pernah tidur dan tidak layak bagi-Nya untuk tidur; (2) Allah menurunkan dan menaikkan timbangan; (3) diangkat kepada-Nya amalan siang sebelum amalan malam dan amalan malam sebelum amalan siang; (4) hijab-Nya terbuat dari cahaya; (5) jika Allah perlihatkan wajah-Nya, pasti akan terbakar segala yang dilihat-Nya di antara makhluk-Nya.” (HR. Muslim, no. 179)

 

Keempat: Allah Menguasai Langit dan Bumi

Allah Ta’ala berfirman,

ِلَّهُ‭ ‬مَا‭ ‬فِي‭ ‬السَّمَاوَاتِ‭ ‬وَمَا‭ ‬فِي‭ ‬الْأَرْضِ

“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi”

Hal itu merupakan pemberitahukan bahwa semua makhluk dan hamba-Nya, dan berada di dalam kerajaan-Nya, pemaksaan-Nya, dan juga kekuasaan-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

ِإِنْ‭ ‬كُلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬فِي‭ ‬السَّمَاوَاتِ‭ ‬وَالْأَرْضِ‭ ‬إِلَّا‭ ‬آَتِي‭ ‬الرَّحْمَنِ‭ ‬عَبْدًا‭ * ‬لَقَدْ‭ ‬أَحْصَاهُمْ‭ ‬وَعَدَّهُمْ‭ ‬عَدًّا‭ * ‬وَكُلُّهُمْ‭ ‬آَتِيهِ‭ ‬يَوْمَ‭ ‬الْقِيَامَةِ‭ ‬فَرْدًا

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (QS. Maryam : 93-95)

 

Kelima: Syafaat Harus dengan Izin Allah

Allah Ta’ala berfirman,

ِمَن‭ ‬ذَا‭ ‬الَّذِي‭ ‬يَشْفَعُ‭ ‬عِندَهُ‭ ‬إِلَّا‭ ‬بِإِذْنِهِ

“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?”

Ini merupakan bagian dari keagungan, keperkasaan,dan kebesaran Allah swt yang mana tidak seorang pun dapat memberikan syafa’at kepada orang lain, kecuali dengan seizin-Nya. Ayat lain yang senada denga ayat ini adalah firman-Nya :

ِوَكَمْ‭ ‬مِنْ‭ ‬مَلَكٍ‭ ‬فِي‭ ‬السَّمَاوَاتِ‭ ‬لَا‭ ‬تُغْنِي‭ ‬شَفَاعَتُهُمْ‭ ‬شَيْئًا‭ ‬إِلَّا‭ ‬مِنْ‭ ‬بَعْدِ‭ ‬أَنْ‭ ‬يَأْذَنَ‭ ‬اللَّهُ‭ ‬لِمَنْ‭ ‬يَشَاءُ‭ ‬وَيَرْضَى

“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm: 26)

Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits tentang syafaat :

“آتي تحت العرش فأخر ساجداً، فيدعني ما شاء الله أن يدعني، ثم يقال: ارفع رأسك، وقل يُسمع، واشفع تُشفَّع.” قال: “فيحد لي حداً فأُدخلهم الجنة.”

Aku datang ke bawah Arsy, lalu aku tunduk bersujud. Maka Dia membiarkanku selama waktu yang Dia kehendaki. Kemudian dikatakan “Angkatlah kepalamu, katakanlah perkataanmu maka akan didengar,dan berilah syafaat,dan engkau akan mendapatkan syafaat”. Nabi bersabda :”kemudian Allah memberikan suatu balasan kepadaku,lalu aku memasukan mereka ke dalam surga” (HR. Bukhari dan yang lainnya)

 

Keenam: Ilmu Allah yang Kini dan Akan Datang

Allah Ta’ala berfirman,

ِيَعْلَمُ‭ ‬مَا‭ ‬بَيْنَ‭ ‬أَيْدِيهِمْ‭ ‬وَمَا‭ ‬خَلْفَهُمْ

“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka”

Yang demikian itu sebagai bukti yang menunjukan ilmu-Nya meliputi segala yang ada baik yang lalu maupun yang kini dan yang akan datang. Sebagaiman firman-Nya yang lain saat memberitahu kepada para Malaikat :

ِوَمَا‭ ‬نَتَنَزَّلُ‭ ‬إِلَّا‭ ‬بِأَمْرِ‭ ‬رَبِّكَ‭ ‬لَهُ‭ ‬مَا‭ ‬بَيْنَ‭ ‬أَيْدِينَا‭ ‬وَمَا‭ ‬خَلْفَنَا‭ ‬وَمَا‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ذَلِكَ‭ ‬وَمَا‭ ‬كَانَ‭ ‬رَبُّكَ‭ ‬نَسِيًّا

Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa”. (QS. Maryam : 64)

 

Ketujuh: Manusia Tidak Dapat Mengetahui Imu Allah Seluruhnya

Allah Ta’ala berfirman,

ِوَلَا‭ ‬يُحِيطُونَ‭ ‬بِشَيْءٍ‭ ‬مِّنْ‭ ‬عِلْمِهِ‭ ‬إِلَّا‭ ‬بِمَا‭ ‬شَاءَ

“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”

Artinya, tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui sesuatu pun dari ilmu Allah kecuali yang telah diajarkan dan diberitahukan oleh Allah ta’ala kepadanya. Mungkin juga makna penggalan ayat tersebut adalah, manusia tidak dapat mengetahui ilmu Allah sedikitpun, dzat dan sifat-Nya melainkan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Hal itu senada denga firman-Nya pada ayat yang lain :

ِوَلَا‭ ‬يُحِيطُونَ‭ ‬بِهِ‭ ‬عِلْماَ

Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya” (QS. Thaahaa : 110)

 

Kedelapan: Kursi Allah

Allah Ta’ala berfirman,

ِوَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Kursi Allah itu tempat berpijaknya dua telapak kaki-Nya. Adapun ‘Arsy Allah hanya diketahui ukuran besarnya oleh Allah itu sendiri.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2:282. Al-Hakim katakan bahwa hadits ini sesuai syarat Bukhari dan Muslim, walaupun tidak dikeluarkan oleh keduanya).

Ada penjelasan tentang perbandingan ‘Arsy dan Kursi Allah dibandingkan dengan langit dan lainnya. Hal ini disebutkan dalam riwayat Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu. Ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Kursi Allah, beliau pun menjawab,

ِوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا السَّمَوَاتُ السَّبْعُ وَالاَرْضُوْنَ السَّبْعُ عِنْدَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ وَإِن فَضْلَ العَرْشِ عَلَى الكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الحَلْقَة

Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi itu sangat kecil dibandingkan dengan Kursi Allah, gambarannya seperti cincin yang dilemparkan di padang pasir. Sedangkan, ‘Arsy Allah itu jauh lebih besar dibandingkan Kursi Allah, gambarannya seperti padang pasir dibandingkan cincin tadi.” (HR. As-Suyuthi dalam Ad-Durul Mantsur, 1:328). Ini menunjukkan sangat besarnya ‘Arsy Allah dibandingkan dengan Kursi-Nya, lebih-lebih lagi dibandingkan dengan kita manusia yang super kecil.

 

Pemahaman yang keliru tentang Kursi Allah

Para pakar ilmu astronomi yang mempelajari tentang benda langit, mereka menyatakan bahwa Kursi itu adalah galaksi kedelapan, mereka sebut dengan falak al-kawakib ats-tsawaabit. Pernyataan mereka ini jelas keliru.

Sanggahannya, Kursi Allah sendiri begitu besar dibandingkan dengan langit dan bumi sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas. Kursi di sini juga secara bahasa bukan bermakna galaksi (al-falak). Ulama salaf menyebutkan bahwa Kursi Allah adalah tempat berpijaknya Kaki Allah (sesuai Maha Kesempurnaan Allah). Kursi itu terletak di hadapan ‘Arsy seperti mirqoh (tangga) menuju ‘Arsy.

Baca juga: Penjelasan Mengenai Arsy Allah

 

Kesembilan: Allah Tidak Merasa Berat Memelihara Langit dan Bumi

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

 

 

Referensi:

Kitab At-Tauhid fi Dhau’ Al-Qur’an wa As-Sunnah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdullah At-Tuwaijiri. Penerbit Dar Ashda’ Al-Mujtama’.

Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan kedua belas, tahun 1431 H. Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani. Maktabah Al-Malik Fahd.

Fiqh Al-Ad’iyyah wa Al-Adzkar. Cetakan pertama, tahun 1426 H. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badar. Penerbit Kunuz Isybiliya.

Zaad Al-Ma’ad fi Hadyi Khair Al-‘Ibad. Cetakan keempat, tahun 1425 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

 

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button