Haji Umrah

10 Pelajaran di Balik Ibadah Haji

Apa saja pelajaran-pelajaran penting di balik ibadah haji?

1- Belajar untuk ikhlas

Dalam penyembelihan hadyuu dan qurban, Allah Ta’ala berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)

Untuk ibadah haji demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, no. 1521).

2- Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dalam ibadah haji, hadyuu disembelih sebagaimana aturan qurban untuk waktunya, yaitu mulai dari Iduladha.

Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Iduladha setelah mengerjakan shalat Iduladha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ

“Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.”

Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ

“Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,

شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ

“Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955)

Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ

Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297, dari Jabir).

 

3- Belajar untuk sedekah harta, berderma, dan mengorbankan harta

Ingat Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588; dari Abu Hurairah)

Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).

 

4- Dalam haji saat ihram, belajar untuk meninggalkan larangan walau sementara waktu

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pakaian yang dipakai oleh orang yang berihram. Beliau bersabda,

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ”

Tidak boleh memakai gamis (baju), surban, celana, penutup kepala, dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memakai sandal, ia boleh mengenakan sepatu. Namun, hendaklah ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Jangan memakai pakaian yang terkena za’faran dan wars.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafaznya dari Imam Muslim). [HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177]

  • Pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikenakan adalah: (1) qamis, yaitu pakaian yang memiliki lengan, yang dilarang pula kaos, jubah, dan kemeja, (2) imamah, yaitu penutup kepala, yang dilarang pula kopiah, (3) sarowil, yaitu pakaian bawah seperti celana, yang dilarang pula celana pendek dan celana dalam, (4) burnus, yaitu pakaian yang menutupi kepala dan badan, yang dilarang pula abaya (mantel), (5) khuf, yaitu yang menutupi kaki terbuat dari kulit, yang dilarang pula sepatu dan kaos kaki.
  • Lima hal di atas dilarang bertujuan: (1) agar menjauhkan dari hidup mewah, lebih dari hal yang biasa dikenakan, (2) orang yang berihram tampak seperti orang yang tunduk dan zuhud, (3) orang-orang yang berihram semuanya berpakaian sama, tak tampak saling berbangga diri, (4) ibadah yang dilakukan sejatinya lebih besar dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan, (5) lebih fokus untuk memperbanyak dzikir dan makin dekat kepada Allah, serta berusaha menjauhi maksiat, (6) lebih banyak mengingat mati karena pakaian ihram mengingatkan pada kain kafan yang dikenakan saat meninggal dunia, (7) mengingatkan pada hari berbangkit kelak. Inilah beberapa rahasia di balik larangan ihram.
  • Kaidah larangan ihram: SEGALA YANG MENYELIMUTI BADAN ATAU BAGIAN DARINYA ATAU SEBAGIAN ANGGOTANYA, MAKA ORANG YANG BERIHRAM (MUHRIM) TERLARANG MELAKUKANNYA.

Baca juga: Inilah pakaian yang dilarang bagi laki-laki saat ihram dan hikmah di balik itu

 

5- Belajar untuk rajin berdzikir

Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.

Dalam ayat lain disebutkan,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203). Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq.

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,

Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)

Ibadah thawaf, sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah).” (HR. Abu Daud, no. 1888; Tirmidzi, no. 902; Ahmad, 6: 46. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dha’if)

Di hari-hari tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201)

Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atha’. (Lihat Latha-if Al-Ma’arif, hlm. 505-506).

Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ »

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ahmad, 4: 188. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani).

Baca juga: Khutbah Idul Adha, Pelajaran di Balik Ibadah Qurban dan Haji

 

6- Capek dalam ibadah pasti berpahala

Ibadah haji pasti akan mendapatkan rasa capek, letih, kepayahan luar biasa. Ini namanya capek dalam ibadah. Capek dalam ibadah pasti berpahala.

Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur,

العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ

“Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.”

Dasar kaidah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ

“Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaidah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320).

Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi berkata:

Aku telah membaca lebih dari tujuh puluh tahun, perkataan penuh hikmah yang paling berkesan adalah:

” أن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها وأن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها “

– kesulitan dalam ketaatan akan sirna, pahalanya akan tetap ada kelak.

– kenikmatan saat bermaksiat akan hilang, tentu hukumannya akan tetap ada.

 

7- Semangat meraih surga

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya. Pahala bagi haji mabrur tentu saja adalah surga.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349)

Haji mabrur berarti memiliki lima sifat atau tanda:

  1. haji yang ikhlas karena Allah, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah,
  2. haji dengan menggunakan harta halal,
  3. haji yang jauh dari maksiat, dosa, bid’ah, dan penyimpangan agama,
  4. berakhlak yang baik,
  5. melakukan syiar Allah dengan penuh pengagungan dan ketundukan kepada Allah, di mana ditandai dengan ketenangan dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat, serta melakukan haji dengan memperbanyak dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan istighfar.

Baca juga: 5 Tanda Haji Mabrur

 

8- Ibadah melihat dari kemampuan

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adalah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167)

Baca juga: Syarat Mampu dalam Berhaji

 

 

9- Amalan ada yang bisa dibadalkan

Amalan itu ada yang bisa dibadalkan, digantikan oleh orang lain seperti amalan haji.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا

Istri Sinan bin Salamah Al-Juhaniy meminta bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya? Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasai, no. 2634; Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An-Nasai Al-Kubra 3613. Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh Abu Thahir).

Dalam riwayat lain,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ حُجِّى عَنْ أَبِيكِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari, no. 1513; Muslim, no. 1334, lafazhnya adalah dari An-Nasai dalam sunannya, no. 2635).

Begitu pula boleh menghajikan dan mengumrahkan orang yang tidak mampu itu manfaat sebagaimana hadits berikut.

عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ

Dari Abu Razin Al-‘Uqaili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An-Nasai, no. 2638, sanadnya sahih kata Al Hafizh Abu Thahir).

Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ

“Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim, no. 997).

Juga didukung oleh hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2903; Abu Daud, no. 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dha’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini).

Membadalkan haji untuk mayat ada tiga keadaan:

  1. Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin.
  2. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak.
  3. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan.

Lihat Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 216.

Baca juga: 10 Ketentuan Badal Haji

 

10- Belajar dari ucapan talbiyah

Dari Khallad bin As-Saa-ib, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَانِي جِبْرِيلُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَأَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ

Jibril datang kepadaku, lalu memerintahkanku agar aku menyuruh sahabat-sahabatku mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiyah.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 1814; Tirmidzi, no. 829; An-Nasai, 5:162; Ibnu Majah, no. 2922; Ahmad, 27:89-90; Ibnu Hibban, no. 3791].

Kalimat “LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK” di atas maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu, wahai Rabbku, sekali lalu sekali. Kalimat “LAA SYARIKA LAK”, maksudnya adalah aku penuhi panggilan-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Artinya, kalimat ini berisi pengakuan untuk tidak berbuat syirik. Ini menunjukkan ibadah haji dan ibadah lainnya mesti dilakukan dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah Ta’ala.

Lafazh talbiyah diucapkan dengan pengulangan dengan mengharap bahwa pengabulannya itu berulang kali.

Lafazh talbiyah yang baik adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam tidak mengapa ditambah atau dikurangi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para sahabat menambah atau mengurangi, tetapi beliau tidak mengingkari mereka.

Baca juga: Ucapan Talbiyah, Maksud dan Aturan Pengucapannya untuk Jamaah Haji dan Umrah

Semoga Allah mudahkan untuk berhaji. Bagi yang sudah berhaji, semoga menjadi haji mabrur.

Perjalanan Panggang – Bandara YIA Kulonprogo, 21 Dzulhijjah 1445 H, 30 Mei 2024

Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button