Shalat

Matan Taqrib: Apa Saja yang Termasuk Syarat Sah Shalat?

Apa saja syarat sah shalat yang mesti dilakukan sebelum shalat dilaksanakan? Syarat sah shalat adalah bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan dua lainnya.

 

 

 

Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib

Kitab Shalat

 

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,

وَشَرَائِطُ الصَّلاَةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ طَهَارَةُ الأَعْضَاءِ مِنَ الحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَسَتْرُ العَوْرَةِ بِلِبَاسٍ طَاهِرٍ وَالوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ وَالعِلْمُ بِدُخُوْلِ الوَقْتِ وَاسْتِقْبَالُ القِبْلَةِ وَيَجُوْزُ تَرْكُ القِبْلَةِ فِي حَالَتَيْنِ فِي شِدَّةِ الخَوْفِ وَفِي النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ.

Syarat shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima:

  1. menyucikan anggota badan dari hadats dan najis,
  2. menutup aurat dengan pakaian yang suci,
  3. berdiri di tempat yang suci,
  4. mengetahui masuknya waktu shalat,
  5. menghadap kiblat. Namun, menghadap kiblat bisa gugur dalam dua keadaan: (a) keadaan sangat takut, (b) dalam shalat sunnah ketika safar di kendaraan.

 

 

Penjelasan:

Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225)

Baca juga: Orang yang Berhadats Tidak Diterima Shalatnya

Tubuh suci dari hadats kecil maupun hadats besar harus dilakukan, begitu pula menghilangkan najis dari badan sebelum shalat.

 

Kedua: Menutup aurat.

Yang dimaksud adalah menutup aurat dengan pakaian di dalam shalat. Seandainya seseorang shalat hanya bersendirian tetap harus menutup aurat karena kita shalat itu menghadap Allah dan harus malu ketika berhadapan dengan Allah.

Aurat di dalam shalat:

  • untuk laki-laki: antara pusar dan lutut, di mana pusar dan lutut bukanlah aurat.
  • untuk perempuan: seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Catatan:

  • Wanita ketika shalat wajib menutup kaki baik bagian punggung maupun dalam telapak kaki, karena kaki termasuk aurat yang mesti ditutup ketika shalat.
  • Wanita wajib menutup aurat dengan pakaian yang suci, tidak tipis yang akhirnya menampakkan warna kulit.
  • Jika aurat terbuka di tengah shalat, lalu mampu untuk ditutup segera, shalatnya sah. Namun, jika tidak ditutup segera, shalatnya tidaklah sah.

Baca juga: Apakah Bawah Dagu Wanita Harus Ditutup Saat Shalat?

 

Ketiga: berdiri di tempat yang suci

Shalat haruslah dilakukan di tempat yang suci. Dalilnya adalah sebagaimana dikeluarkan oleh yang lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh menyiramkan air pada tempat yang dikencingi Arab Badui di dalam masjid.

Catatan:

  • Jika seseorang shalat di atas sajadah atau karpet, lalu di tempat tersebut ditemukan najis, tetapi ia shalat di bagian yang tidak terdapat najis dari sajadah atau karpet tersebut, shalatnya tetap sah. Jika sajadahnya suci lalu diletakkan di atas tempat yang terkena najis, maka shalatnya sah.
  • Jika seseorang shalat, lalu bakda shalat mendapati najis pada tempat atau pakaian, lalu ada kemungkinan najis tersebut ada sebelum selesai shalat, maka shalatnya diulangi. Namun jika kemungkinan najis itu ada setelah selesai shalat, maka najis dianggap tidak ada, shalatnya tak perlu diulangi.

 

Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat

Jika seseorang shalat sebelum masuknya waktu shalat, shalatnya harus diulangi karena ia tidak melakukannya di waktunya berarti shalatnya dianggap tidak ada.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103)

Tingkatan (marotib) mengetahui masuknya waktu shalat:

  1. Mengetahuinya langsung seperti dengan melihat keadaan matahari saat tenggelam.
  2. Mendapatkan berita dari yang terpercaya yang menyaksikan langsung, seperti mengetahui waktu shalat dari jam (jadwal shalat) atau mendengar azan.
  3. Ijtihad dalam menentukan waktu.

Baca juga: Penjelasan Waktu Shalat Lima Waktu

 

Kelima: menghadap kiblat

Allah Ta’ala berfirman,

وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ

“Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144). Yang dimaksud adalah menghadap ke arah Kabah dengan dada. Jika dekat dari Kabah, berarti menghadap Kabah secara yakin. Jika jauh dari Kabah, berarti dengan sangkaan menghadap Kabah.

Catatan:

  • Siapa yang tidak mampu menghadap kiblat karena ada uzur ketika melaksanakan shalat fardhu, maka ia shalat tergantung keadaannya. Lalu hendaklah shalatnya diulangi (menurut satu pendapat). Sedangkan pendapat lainnya, shalatnya tidak perlu diulangi.

Menghadap kiblat menjadi gugur untuk dua keadaan:

  1. Keadaan sangat takut misalnya ketika dalam kondisi perang

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239)

  1. Ketika melaksanakan shalat sunnah saat safar di atas kendaraan. Inilah kemudahan bagi musafir.

Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.” (HR. Bukhari, no. 1093 dan Muslim, no. 701). Al-Bukhari menambahkan, “Beliau memberi isyarat dengan kepalanya, namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib.”

Baca juga: Shalat Sunnah di Kendaraan Saat Safar

Catatan:

  • Jika musafir telah sampai di negerinya di pertengahan shalat, wajib baginya menghadap kiblat, juga wajib rukuk dan sujud karena sebab safar telah hilang.

Sebagai penutup, ingatlah bahwa syarat sah shalat adalah fondasi ibadah kita. Dengan menyucikan diri, menutup aurat, berdiri di tempat suci, mengetahui waktu shalat, dan menghadap kiblat, kita mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah. Penuhi setiap syarat dengan niat tulus, karena shalat yang sah adalah kunci keberkahan hidup. Mari jaga kualitas shalat kita demi meraih ridha Allah subhanahu wata’ala.

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.

 

Diselesaikan 17 Jumadal Ula 1445 H, 30 November 2023 di perjalanan Panggang – MPD

Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button