Muamalah

Matan Taqrib: Kerjasama Menggarap Tanah dan Membuka Lahan Baru

Bagaimana hukum menggarap tanah dan membuka lahan baru?

 

 

Menggarap Tanah dengan Muzara’ah dan Mukhabarah

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

وَإِذَا دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ أَرْضًا لِيَزْرَعَهَا وَشَرَطَ لَهُ جُزْءاً مَعْلُوْماً مِنْ رَيْعِهَا لَمْ يَجُزْ وَإِنْ أَكْرَاهُ إِيَّاهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَوْ شَرَطَ لَهُ طَعَاماً مَعْلُوْماً فِي ذِمَّتِهِ جَازَ.

Jika seseorang menyerahkan tanahnya kepada petani untuk ditanami, lalu ia mensyaratkan hasil dari sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan hasil sebidang tanah lainnya untuk si petani, maka hukumnya tidak boleh. Jika dia menyewakannya dengan emas atau perak atau mensyaratkan makanan tertentu dalam tanggungannya, maka ini hukumnya boleh.

 

Penjelasan:

Muzara’ah adalah menyerahkan tanah kepada seseorang untuk ditanami dan bibit dari si pemilik tanah.

Mukhabarah adalah menyerahkan tanah kepada seseorang untuk ditanami dan bibit dari yang mengolah tanah.

Dari Tsabit bin Adh-Dhahak, ia berkata,

أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُزَارَعَةِ، وَأَمَرَ بالمُؤَاجَرَةِ، وَقالَ: لا بَأْسَ بهَا.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang muza’ra’ah. Beliau memerintahkan mu’ajarah (sewa). Ia berkata, “ Hal itu tidaklah masalah.” (HR. Muslim, no. 1549)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُخَابَرَةِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mukhabarah.” (HR. Muslim, no. 1536)

 

Catatan:

  • Jika muzara’ah terjadi, maka akadnya batil karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Hasil panen nantinya tetap dimiliki oleh si pemilik tanah. Lalu si pemilik tanah menyerahkan upah pekerja dan alat menanam yang digunakan untuk menggarap tanahnya.
  • Jika mukhabarah terjadi, maka akadnya batil karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Panen atau tanaman untuk pekerja. Pengelola tanah harus membayarkan upah dari penggunaan tanah.
  • Sebaiknya akad yang dipilih adalah ijarah (sewa), bukan akad muzara’ah dan mukhabarah. Namun, jika yang dipilih adalah akad ijarah (sewa), maka harus memperhatikan waktu yang jelas.
  • Jika pemilik tanah menyewa pekerja, ia hendaklah menyerahkan upah yang jelas dan memperhatikan waktu sewa yang ditetapkan.

Muzara’ah barulah sah jika mengikuti akad musaqah asalkan memenuhi empat syarat:

  1. Akad musaqah dan muzara’ah menjadi satu.
  2. Pekerja musaqah sama dengan pekerja muzara’ah.
  3. Kesulitan menyirami tanaman.
  4. Mendahulukan akad musaqah dari muzara’ah, atau akadnya berbarengan.

Sedangkan akad mukhabarah tidak bisa digabungkan dengan musaqah.

* Yang dimaksud dengan musaqah adalah akad di mana seseorang menyerah tanaman kurma atau anggur untuk diairi oleh yang merawatnya di mana ada pembagian tertentu dari hasil buahnya.

 

Membuka Lahan Baru

وَإِحْيَاءُ المَوَاتِ جَائِزٌ بِشَرْطَيْنِ : أَنْ يَكُوْنَ المُحْيِي مُسْلِماً ، وَ أَنْ تَكُوْنَ الأَرْضُ حُرَّةً لَمْ يَجْرِ عَلَيْهَا مِلْكٌ لِمُسْلِمٍ وَ صِفَةُ الإِحْيَاءِ : مَا كَانَ فِي العَادَةِ عِمَارَةً لِلْمُحْيَا وَيَجِبُ بَذْلُ المَاءِ بِثَلاَثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَفْضَلَ عَنْ حَاجَتِهِ وَ أَنْ يَحْتَاجَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِبَهِيْمَتِهِ وَأَنْ يَكُوْنَ مِمَّا يَسْتَخْلِفُ فِي بِئْرٍ أَوْ عَيْنٍ.

Ihya’ al-mawaat, membuka lahan baru diperbolehkan dengan dua syarat: (1) orang yang membukanya adalah muslim, (2) tanah itu bebas dan tidak dimiliki oleh seorang muslim. Sifat pembukaan tanah yang mati itu menurut kebiasaannya (adat) jika memang dapat dihidupkan.

Dalam membuka lahan baru, wajib menyumbangkan air jika terdapat tiga syarat: (1) air yang ada melebihi kebutuhan, (2) air itu mencukupi kebutuhan orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatang ternaknya, (3) air itu terdapat di sumur atau mata air.

Penjelasan:

Al-mawaat adalah tanah yang tidak ada pemilik dan tidak ada yang dimanfaatkan oleh seorang pun. Al-ihyaa’ secara bahasa berarti menjadikan sesuatu menjadi hidup. Al-ihyaa’ secara istilah berarti menguasai tanah yang tidak ada yang memiliki dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkan.

Hukum al-ihyaa’ adalah disunnahkan, walaupun penulis Matan Taqrib memilih pendapat bahwa hukum al-ihyaa’ adalah jawaz (boleh). Namun, yang lebih kuat adalah yang menyatakan hukumnya adalah sunnah.

Dalilnya mengenai ihyaa’ al-mawaat adalah,

مَن أحيا أرضًا ميتةً فَهيَ لَهُ، وليسَ لعِرقِ ظالمٍ حقٌّ

“Siapa yang menghidupkan tanah yang tak bertuan, maka itu adalah miliknya. Keringat orang zalim tidaklah mendapatkan keberhakan apa-apa.” (HR. Abu Daud, no. 3073. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Menghidupkan tanah yang sudah mati mendapatkan ganjaran dan bernilai ibadah. Seorang muslimlah yang dianggap mendapatkan ganjaran dalam hal ini.

Syarat ihyaa’ al-mawaat adalah:

  1. Yang menghidupkannya adalah seorang muslim.
  2. Tanah tersebut tidaklah dimiliki oleh seorang muslim atau lainnya. Tanah tersebut ada yang asli belum dimiliki siapa pun, ada juga yang thaari’, yaitu yang dahulu dikuasai orang Jahiliyyah, lalu dikuasai dan dihidupkan oleh muslim untuk kali kedua. Menghidupkan tanah ini bisa dengan membangun bangunan, bertanam, menggali sumur, sampai pada memagari lalu dianggap secara ‘urf atau adat masyarakat sebagai ihyaa’ al-mawaat.

 

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.

 

 

Diselesaikan 29 Rabiul Akhir 1445 H, 13 November 2023 di perjalanan Panggang – Playen

Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button