Muamalah

Matan Taqrib: Mudharabah (Bagi Hasil) dan Musaqah, Pengertian dan Ketentuannya

Apa yang dimaksud transaksi mudharabah? Bahasa lainnya adalah qirodh. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan di dalamnya.

Berikut ini kita lihat dalam pembahasan Matan Taqrib.

 

 

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

وَلِلْقِرَاضِ أَرْبَعَةُ شَرَائِطَ : أَنْ يَكُوْنَ عَلَى نَاضٍّ مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ وَأَنْ يَأْذَنَ رَبُّ الماَلِ لِلْعَامِلِ فِي التَّصَرُّفِ مُطْلَقاً أَوْ فِيْمَا لاَ يَنْقَطِعُ وُجُودُهُ غَالِباً وَأَنْ يَشْتَرِطَ لَهُ جُزْءاً مَعْلُوْماً مِنَ الرِّبْحِ وَأَنْ لاَ يُقَدَّرُ بِمُدَّةٍ وَلاَ ضَمَانَ عَلَى العَامِلِ إِلاَّ بِعُدْوَانٍ وَإِذَا حَصَلَ رِبْحٌ وَخُسْرَانٌ جُبِرَ الخُسْرَانُ بِالرِّبْحِ.

Qirodh (qordh) itu memiliki empat syarat:

  1. Ada harta pokok yang berupa dinar dan dirham.
  2. Pemilik modal (robbul maal) memberi izin kepada pelaksana untuk mengelola harta secara mutlak atau mengelola harta yang biasanya wujudnya tidak akan terputus.
  3. Ada perjanjian bagi untung antara pemilik modal dan pengelola.
  4. Tidak ditentukan jangka waktunya.

Pelaksana tidak bertanggung jawab atas kerugian perdagangan kecuali disebabkan oleh kecerobohannya. Jika ada keuntungan dan kerugian, maka kerugian tersebut dapat ditutup dengan keuntungan.

 

Penjelasan:

Pengertian Qirodh

Qirodh secara bahasa berarti al-qath’u, memotong.

Qirodh secara syari berarti akad di mana pemilik harta menyerahkan harta kepada pengelola dan nantinya ada pembagian keuntungan di antara keduanya.

Qirodh dan mudharabah itu sama. Qirodh adalah bahasa orang Hijaz. Sedangkan, mudharabah adalah bahasa orang Iraq.

 

Dalil pensyariatan mudharabah

Allah Ta’ala berfirman,

وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ

dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS. Al-Muzamil: 20)

Dalil lainnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bekerjasama mudharabah dengan Khadijah radhiyallahu ‘anha. Modalnya dari Khadijah untuk berdagang di Syam.

Dalil lainnya adalah karena adanya kebutuhan (hajat) untuk melakukan kerjasama mudharabah.

 

Rukun mudharabah

  1. Pemilik harta (maalik)
  2. Pengelola harta (‘aamil)
  3. Adanya harta/ modal (maal)
  4. Pekerjaan (‘amal)
  5. Keuntungan (ribh)
  6. Shighah (ijab dan qabul)

Syarat Mudharabah

Pertama: Ada modal berupa dinar dan dirham. Mudharabah dengan barang dagangan tidaklah sah.

Sebenarnya akad mudharabah terdapat gharar dan pekerjaannya tidak madhbuth (tidak bisa diatur), dan besar keuntungan pun tidak bisa dijamin. Yang penting dalam mudharabah ini ada pengembalian modal. Walaupun ada hal-hal yang belum jelas tadi, di samping itu ada hajat manusia, mudharabah itu dibolehkan.

Kedua: Pemilik modal (robbul maal) memberi izin kepada pelaksana untuk mengelola harta secara mutlak atau mengelola harta yang biasanya wujudnya tidak akan terputus.

Dari sini pemilik modal tidak boleh mempersempit pengelola harta dengan melarangnya membeli barang-barang tertentu, menuntut minta izin dalam pembelian, atau membeli sesuatu yang jarang ada. Pemilik modal hendaklah tidak membuat syarat seperti ini.

Ketiga: Ada perjanjian bagi untung antara pemilik modal dan pengelola dengan persentase tertentu, seperti 50:50 atau 60:40. Dalam mudharabah, keuntungan tidaklah boleh ditentukan dengan jumlah tertentu, misalnya pihak pemilik modal harus mendapatkan 10 juta rupiah. Karena bisa jadi keuntungan hanyalah 10 juta rupiah saja. Maka pemilik modal mendapatkan keuntungan itu semua, sedangkan pengelola tidaklah mendapatkan apa-apa.

Keempat: Tidak ditentukan jangka waktunya karena keuntungan itu tidak bisa ditentukan waktunya. Oleh karenanya, keuntungan tidak boleh dibatasi dengan waktu.

 

Catatan:

  • Shighah (ijab – qabul) tidak boleh disebutkan batasan waktu dan tidak boleh disebut ta’liq (syarat tertentu).
  • Pengelola itu memegang amanah, asalnya pengelola tidaklah menanggung kerugian kecuali karena kecerobohannya.
  • Pengelola tidak boleh menjual dengan akad tertunda.
  • Pengelola tidak boleh bersafar dengan harta pemodal kecuali dengan izinnya.
  • Jika terjadi kerugian pada harta selama bukan kecerobohan dari pengelola, maka pemilik modal menanggung kerugian dan pengelola tidak diperintahkan untuk ganti rugi.
  • Jika terdapat kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutup dengan keuntungan.
  • Keuntungan belum dianggap sampai kembali modal.
  • Akad mudharabah adalah akad jaiz (boleh), kedua pihak boleh membatalkan kapan pun itu. Ketika terjadi pembatalan, pengelola harus menyelesaikan pelunasan utang dan menjadikan modal yang ada menjadi dinar ataukah dirham.
  • Jika pemodal mengatakan kepada pengelola, bahwa semua keuntungan menjadi milik pemodal, maka itu boleh. Ini berarti pekerjaan yang dilakukan pengelola hanyalah tabarru’an atau majanan, hanya membantu, alias gratis.
  • Seandainya menggunakan hewan tunggangan mudharabah, maka wajib baginya membayarkan upah kepada pemodal dari harta pengelola sendiri.
  • Tidak ada gaji untuk pengelola pada harta mudharabah walaupun ia bersafar. Gaji tersebut sudah masuk dalam kerja yang diperoleh dari keuntungan saat dibagi.

 

 Akad mudharabah berakhir

  1. Akad dibatalkan, kapan pun itu sesuai kehendak di antara kedua belah pihak.
  2. Gila atau tidak sadar yang ada pada salah satu dari kedua belah pihak.
  3. Kematian salah satu pihak.

 

Akad mudharabah ada beberapa akad

  1. Amanah: mudhorib (pengelola harta, ‘aamil) adalah amiin (yang diberi amanah) ketika memegang harta.
  2. Wakaalah: mudhorib menjadi wakil dalam penggunaan harta karena ia menggunakan harta orang lain dengan izinnya.
  3. Syirkah: mudhorib mendapatkan keuntungan dengan dibagi.
  4. Ijaaroh: ketika mudhorobah rusak, maka transaksinya ijaaroh. Di mana mudhoorib mendapatkan upah karena kerjanya. Namun, ketika mudhorib melakukan kesalahan karena keteledoran dia, beda dengan yang diamanahkan shahibul maal, maka ia dianggap merampas (ghashab), sehingga ia harus mengembalikan harta dan keuntungannya. Pekerjaan yang ia lakukan untuk kondisi terakhir ini tidak dianggap sebagaimana ghashib (perampas harta).

***

Hukum Musaqah

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

أَحْكَامُ المُسَاقَاةِ:
وَالمُسَاقَاةُ جَائِزَةٌ عَلَى النَّخْلِ وَالكَرْمِ وَلَهَا شَرْطَانِ : أَحَدُهُمَا : أَنْ يُقَدِّرُهَا بِمُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ وَالثَّانِي : أَنْ يُعَيِّنَ لِلْعَامِلِ جُزْءاً مَعْلُوْماً مِنَ الثَّمَرَةِ . ثُمَّ العَمَلُ فِيْهَا عَلَى ضَرْبَيْنِ عَمَلٌ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَى الثَّمَرَةِ فَهُوَ عَلَى العَامِلِ وَعَمَلٌ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَى الأَرْضِ فَهُوَ عَلَى رَبِّ المَالِ.

Musaqah diperbolehkan untuk pohon kurma dan anggur dengan dua syarat, yaitu:

  1. Pemilik (maalik) lahan menentukan jangka waktunya.
  2. Bagian buah-buahan yang akan diberikan kepada penggarap (‘aamil) harus diketahui.

Proses pengerjaan musaqah ada dua:

  1. Pekerjaan yang manfaatnya berhubungan dengan buah-buahan, maka itu menjadi tanggung jawab penggarap.
  2. Pekerjaan yang manfaatnya berhubungan dengan tanah, maka itu menjadi tanggung jawab pemilik modal.

 

Penjelasan:

Secara bahasa, musaqah berarti mengairi atau memberi minum.

Yang dimaksud dengan musaqah adalah akad di mana seseorang menyerah tanaman kurma atau anggur untuk diairi oleh yang merawatnya di mana ada pembagian tertentu dari hasil buahnya.

Hukum musaqah adalah boleh asalkan memenuhi syarat tertentu.

Dalil bolehnya musaqah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dalam hal musaqah.

Hikmah musaqah adalah karena adanya maslahat dan adanya hajat dalam hal ini. Karena ada yang memiliki tanaman, tetapi tidak mampu menggarapnya. Sebaliknya, ada yang mampu menggarap, tetapi tidak memiliki tanaman.

 

Rukun musaqah

  1. Maalik (pemilik).
  2. ‘Aamil (pekerja atau penggarap).
  3. ‘Amal (pekerjaan).
  4. Mawrid (tanaman yang diairi).
  5. Tsamar (buah).
  6. Shighah (ijab dan qabul).

Musaqah sah dilakukan oleh dilihat dari diri sendiri boleh melakukan transaksi. Sedangkan untuk anak kecil dan orang gila harus melalui orang lain yang menjalankan transaksi untuknya selama dituntut.

Syarat maalik dan ‘aamil sama dengan syarat yang disebutkan dalam akad qirodh.

 

Syarat ‘amal musaqah

  1. Tidak boleh menyaratkan pada yang melakukan akad sesuatu yang tidak ada, seperti memerintah untuk mendirikan tembok di kebun, karena itu bukan pekerjaannya.
  2. Tanaman-tanaman yang ada benar-benar ada, bukan suatu yang majhul.
  3. Menetapkan waktu tertentu di mana tanaman itu berbuah umumnya. Tidak sah bila akadnya dibuat selamanya atau pada waktu di mana pohon tidak berbuat secara umum.
  4. Pekerja (‘aamil) mendapatkan bagian tertentu dari hasil buah, misalnya: 50%, 25%. Jika maalik (pemilik) menentukan pada ‘aamil (pekerja) bagian tertentu dalam musaqah, misalnya: harus 1 ton untuk si pemilik, maka tidaklah sah.

 

Syarat mawrid

  1. Tanamannya adalah kurma atau anggur.
  2. Tanaman atau kurma ditanam oleh ‘aamil.

 

Proses pengerjaan musaqah ada dua

  1. Pekerjaan yang manfaatnya berhubungan dengan buah-buahan, maka itu menjadi tanggung jawab penggarap (‘aamil), seperti mengairi, menyeleksi, mengawinkan, menjaga buah dari pencurian dan dari dimakan burung.
  2. Pekerjaan yang manfaatnya berhubungan dengan tanah, maka itu menjadi tanggung jawab pemilik modal, seperti alat menanam, menggali sungai/ irigasi, membangun tembok.

 

Catatan:

  1. Akad musaqah adalah akad lazim dari kedua pihak. Di antara kedua belah pihak tidak boleh begitu saja membatalkan akad, harus diselesaikan hingga waktunya berakhir.
  2. Jika berakhir akad musaqah dan tidak ada hasil buah, hendaklah penggarap menunggu hingga berbuah. Lalu jika berbuah sebelum jangka waktu akad selesai, hendaklah penggarap menyelesaikan jangka waktu akad.
  3. Jika musaqah batal karena tidak memenuhi syarat, ‘aamil (penggarap) hendaklah mendapatkan upah mitsl (semisal).

 

 

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
  • Fiqh Al-Mu’aamalaat Al-Maaliyyah Al-Muyassar. Cetakan ketiga, Tahun 1440 H. Dr. ‘Abdurrahman bin Humud Al-Muthoiry. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.

 

Pertanyaan seputar mudharabah dari pembaca Rumaysho.Com

Pertanyaan 1:

Bolehkah modal dikembalikan di masa periode yang sudah habis dari akad mudharabah?

Jawaban:

Dalam akad mudharabah, prinsip utama adalah bahwa modal dikembalikan kepada shahibul maal (pemilik modal) setelah akad berakhir atau usaha dihentikan. Namun, jika masa akad sudah habis dan usaha masih berjalan dengan baik atau keuntungan belum mencapai target yang diinginkan, pengaturan tentang pengembalian modal bisa disesuaikan, selama ada kesepakatan baru antara kedua belah pihak.

Beberapa skenario terkait pengembalian modal setelah masa akad berakhir:

  1. Kesepakatan Perpanjangan Akad: Jika masa akad habis, kedua belah pihak dapat menyepakati perpanjangan akad mudharabah untuk jangka waktu tertentu. Dengan perpanjangan ini, mudharib tetap mengelola usaha, dan shahibul maal berhak atas bagi hasil hingga waktu perpanjangan tersebut berakhir.
  2. Pengembalian Modal Setelah Akad Berakhir: Jika kedua belah pihak tidak ingin memperpanjang akad, maka mudharib dapat mengembalikan modal yang masih tersisa setelah keuntungan dihitung. Dalam praktiknya, ada kemungkinan proses pengembalian modal membutuhkan waktu, terutama jika usaha memiliki aset yang perlu dicairkan terlebih dahulu.
  3. Pengembalian Secara Bertahap: Dalam kondisi tertentu, shahibul maal dan mudharib dapat menyepakati pengembalian modal secara bertahap, misalnya setiap bulan atau per kuartal, hingga modal kembali sepenuhnya. Ini juga dapat dilakukan jika usaha memiliki likuiditas terbatas atau keuntungan diperoleh secara bertahap.

Selama kedua belah pihak sepakat dan kesepakatan tersebut tidak merugikan salah satu pihak, pengaturan mengenai pengembalian modal setelah masa akad berakhir adalah sah menurut syariat. Yang penting, ketentuan ini harus dibuat dengan jelas dan disepakati dalam bentuk tertulis untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.

 

Pertanyaan 2:

Terkait mudharabah, profit sharing dalam mudharabah bolehkah ada batasan waktu, misalnya ditetapkan ada batasan waktu satu tahun dan usaha sudah berjalan, lalu sudah ada keuntungan. apakah seperti ini dibolehkan dalam syariat?

Jawaban:

Dalam akad mudharabah, menetapkan batasan waktu untuk pembagian keuntungan diperbolehkan asalkan disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola usaha). Prinsipnya, keuntungan dalam mudharabah dibagi berdasarkan kesepakatan yang sudah ditentukan di awal akad, baik itu dalam bentuk persentase keuntungan atau bagi hasil tertentu.

Ketentuan tentang Batas Waktu:

  1. Penentuan Periode: Menentukan periode tertentu untuk pembagian keuntungan, misalnya satu tahun, tidak melanggar syariat. Justru, penetapan ini bisa mempermudah kedua belah pihak untuk mengelola ekspektasi dan rencana keuangan. Selama kesepakatan ini ada di awal akad dan kedua belah pihak menyetujuinya, ini dianggap sah.
  2. Kebijakan Pembagian Keuntungan: Selama usaha berjalan, mudharib dapat mengelola usaha sesuai kesepakatan. Pada akhir periode (misalnya satu tahun), jika usaha menghasilkan keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi sesuai dengan persentase yang sudah disepakati di awal.
  3. Pembagian Berkala: Jika disepakati, pembagian keuntungan juga bisa dilakukan secara berkala (bulanan atau tahunan). Hal ini tidak mengubah sifat mudharabah selama proporsi keuntungan telah jelas dan mengikuti ketentuan yang disepakati di awal akad.

Oleh karena itu, penetapan batasan waktu untuk pembagian keuntungan dalam akad mudharabah, seperti periode satu tahun, dibolehkan dalam syariat. Selama memenuhi prinsip kejelasan (al-wadh’) dan keridhaan kedua belah pihak, ketentuan ini sah.

 

Pertanyaan 3:

Bisakah penanam modal dalam mudharabah bisakah berperan sebagai pekerja dalam mudharabah lagi dan dapat gaji?

Jawaban:

Dalam akad mudharabah, penanam modal (disebut shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib) memiliki peran yang berbeda. Umumnya, shahibul maal menyediakan modal, sementara mudharib mengelola usaha. Jika shahibul maal ingin turut bekerja dalam usaha tersebut, ini bisa menjadi pembahasan yang cukup kompleks dari sudut pandang fikih muamalah.

Secara umum, ada dua poin yang perlu dipertimbangkan:

  1. Peran Ganda dalam Akad Terpisah: Shahibul maal dapat berperan dalam operasi bisnis, tetapi dengan peran tersebut diatur dalam akad tersendiri. Dalam konteks ini, shahibul maal bisa memiliki akad lain, seperti akad ijarah (sewa atau upah kerja) di mana dia bekerja dan menerima gaji. Dengan demikian, ada dua akad yang terpisah: akad mudharabah untuk investasi dan akad ijarah untuk peran pekerjaannya.
  2. Penggabungan Peran dalam Akad Tunggal: Dalam beberapa kondisi, mungkin sulit memisahkan peran shahibul maal sebagai investor dan pekerja dalam satu akad yang sama. Menggabungkan kedua peran dalam akad mudharabah yang tunggal bisa menimbulkan masalah dalam pembagian keuntungan dan upah yang sesuai dengan syariat.

Namun, praktik ini masih bisa diterima selama semua pihak menyetujui syarat-syarat tersebut dan tidak menimbulkan kerancuan dalam pembagian keuntungan. Dalam kasus ini, dibutuhkan kesepakatan yang jelas tentang bagaimana pembagian hasil usaha antara modal, kerja, dan upah yang akan diterima.

 

 

Direvisi pada Malam Kamis, 14 Rabiuts Tsani 1446 H di Ponpes Darush Sholihin

Diselesaikan 11 Muharram 1445 H

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

36 Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button