Memahami Lebih Dalam Takbir Mutlak dan Muqayyad pada Hari Raya
Apa itu takbir mutlak dan muqayyad pada hari raya? Berikut tinjauannya dari berbagai kitab fikih Syafii.
Takbir Muqayyad dan Takbir Mutlak
Takbir hari raya itu ada dua macam: (1) takbir muqayyad, (2) takbir mutlak atau mursal.
Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat. Takbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu. Takbir mutlak adalah takbir yang dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang.
Takbir hari raya adalah syiar kaum muslimin sehingga disyariatkan dikeraskan suara.
Takbir mutlak disunnahkan diucapkan pada Idulfitri dan Iduladha. Awal waktu takbir mutlak adalah dari tenggelamnya matahari pada malam Id, kemudian berakhir saat imam memulai shalat Id. Sedangkan orang yang berhaji, syiarnya adalah membaca talbiyah pada malam Iduladha.
Dalil bertakbir pada Idulfitri adalah firman Allah Ta’ala,
وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Takbir pada Iduladha disamakan dengan takbir Idulfitri. Namun, takbir malam Idulfitri lebih ditekankan daripada malam Iduladha.
Takbir muqayyad (ketika bakda shalat) tidak disunnahkan pada malam Idulfitri, menurut pendapat ashah. Karena tidak ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini.
Takbir muqayyad disunnahkan setelah shalat terkait Iduladha, ada ijmak (kata sepakat ulama) dalam hal ini. Takbir muqayyad ini dimulai dari Shubuh hari Arafah hingga Ashar hari tasyrik terakhir. Ada dalil dari ‘Umar, ‘Ali, dan Ibnu ‘Abbas tentang hal ini.
Takbir muqayyad disunnahkan diucapkan setelah selesai shalat, baik shalat ada-an (shalat yang dikerjakan pada waktunya), maupun shalat yang luput, baik shalat fardhu maupun nadzar, baik shalat sunnah rawatib, shalat sunnah mutlak, shalat sunnah muqayyad, atau shalat sunnah yang punya sebab seperti shalat tahiyatul masjid. Karena takbir itu syiar yang terkait dengan waktu.
Tidak perlu bertakbir setelah sujud tilawah dan sujud syukur karena keduanya bukan termasuk shalat. Begitu pula tidak perlu bertakbir di luar hari-hari yang disyariatkannya takbir muqayyad untuk shalat fai’tah, shalat yang luput jika diqadha’. Takbir muqayyad hanya khusus pada lima hari (hari Arafah, Iduladha, tiga hari tasyrik).
Jika lupa bertakbir muqayyad bakda shalat, takbir tersebut tetap dilakukan, walau ada jeda waktu yang lama bakda shalat menurut pendapat ashah (paling kuat).
Lihat bahasa dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559.
Di antara dalil yang mensyariatkan takbir pada hari raya adalah firman Allah Ta’ala,
إِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah.” (QS. Al-Baqarah: 200)
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203)
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)
Lihat penyebutan dalil-dalil ini dalam Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imam Asy-Syafii karya Imam Al-‘Amrani, 2:657.
Baca juga: Dalil tentang Takbir Muqayyad dari Shubuh Hari Arafah
Kapan Membaca Takbir Selesai Shalat, Apakah Dzikir Bakda Shalat Dahulu ataukah Takbir?
Penggabungan antara dzikir bakda shalat dan takbir muqayyad bakda shalat baiknya digabungkan.
Ulama Syafiiyah belakangan menyatakan bahwa takbir muqayyad bakda shalat lebih didahulukan daripada dzikir bakda shalat. Maksudnya adalah jika waktunya takbir muqayyad, maka bakda shalat yang dilakukan adalah takbir dahulu, lalu membaca dzikir bakda shalat.
Dalam Hasyiyah Al-Bujairimi (3:2156) disebutkan,
ﻭَﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُ اﻟﻤُﺮْﺳَﻞِ ﻋَﻦْ ﺃَﺫْﻛَﺎﺭ ِاﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺑِﺨِﻼَﻑِ اﻟﻤُﻘَﻴَّﺪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﻘَﺪِّﻣُﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ، ﻭَﻣِﻦَ اﻟﻤُﺮْﺳَﻞِ اﻟﺘَّﻜْﺒِﻴْﺮُ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﻋِﻴْﺪِ اﻟﻔِﻄْﺮِ ﺧَﻠْﻒَ اﻟﺼَّﻠَﻮَاﺕِ ِﻷَﻥَّ اﻟﻔِﻄْﺮَ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴْﻪِ ﻣُﻘَﻴَّﺪٌ.
“Sebaiknya takbir mursal diakhirkan setelah dzikir bakda shalat. Hal ini berbeda dengan takbir muqayyad yang didahulukan sebelum dzikir bakda shalat. Yang termasuk takbir mursal adalah takbir pada malam Idulfitri setelah shalat lima waktu. Perlu diingat bahwa Idulfitri tidak memiliki takbir muqayyad.”
Hal ini berbeda dengan takbir mutlak yang diakhirkan setelah membaca dzikir bakda shalat. Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin berkata,
وَهَذَا التَّكْبِيْرُ المُرْسَلُ المُطْلَقُ إِذْ لاَ يَتَقَيَّدُ بِصَلاَةٍ وَلاَ غَيْرِهَا وَيُسَنُّ تَأْخِيْرُهُ عَنْ أَذْكَارِهَا
“Takbir ini dinamakan takbir mursal mutlak yang tidak terkait dengan shalat dan selainnya. Takbir ini disunnahkan diakhirkan dari dzikir bakda shalat.” (Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah (Busyral Kariim bi Syarh Masa’il At-Ta’liim), hlm. 441)
Beberapa Catatan tentang Takbir Mutlak dan Muqayyad
- Makmum yang masbuk tidaklah bertakbir melainkan setelah selesai menunaikan shalatnya. Karena takbir yang dimaksud dilakukan bakda shalat.
- Jika imam melakukan takbir pada waktunya, tetapi tidak dianggap oleh makmum atau imam meninggalkan takbir pada waktu yang dianggap oleh makmum, menurut pendapat ashah, makmum tetap mengikuti apa yang ia yakini dalam hal bertakbir ataukah tidak bertakbir. Makmum tidak perlu mencocoki imam. Karena mengikuti imam itu terputus dengan salamnya imam.
Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:560.
- Takbir hari raya ini dengan menjaharkan suara untuk laki-laki sebagai bentuk syiar. Adapun selain laki-laki (untuk perempuan dan khuntsa–yang berkelamin ganda–), maka tidaklah dengan mengeraskan suara. Jika tidak ada laki-laki bukan mahram, takbir tetap dibaca, tetapi lebih pelan dari laki-laki.
Lihat Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah (Busyral Kariim bi Syarh Masa’il At-Ta’liim), hlm. 440.
- Takbir terkait Iduladha dilakukan dalam lima hari (hari Arafah, Iduladha, tiga hari tasyrik), termasuk di dalamnya adalah takbir pada malam Id. Pada malam Id, takbir setelah shalat tetap dianjurkan. Ditinjau dari takbir tersebut dibaca bakda shalat, maka disebut takbir muqayyad. Namun, ditinjau dari takbir tersebut dibaca pada malam Id, maka disebut takbir mursal atau mutlak.
Lihat Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:198.
Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad
TAKBIR MUTLAK/MURSAL | TAKBIR MUQAYYAD |
Takbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang. | Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah. |
Terkait Idulfitri dan Iduladha | Terkait Iduladha saja. |
Waktunya:
dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id. |
Waktunya:
– Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari. – Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina). |
Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat. | Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat. |
Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha. | Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat. |
Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan berbuah amal saleh. Hanya Allah yang beri taufik dan hidayah.
Baca juga: Inilah Lafaz Takbir Hari Raya
Referensi:
- Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Cetakan keempat, Tahun 1435 H. Abul Husain Yahya bin Abil Khair Saalim Al-‘Amrani Asy-Syafii Al-Yamani. Penerbit Dar Al-Minhaaj.
- Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
- Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
- Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Al-Iqnaa’ fii Halli Alfaazh Abi Syuja’ lii Al-Khathiib Asy-Syirbiniy. Tahqiq dan Dhabth Alfaazhahu: Sa’id Al-Manduh. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Penerbit Anwar Al-Azhar.
- Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Syaikh Prof. Dr. Musthafa Dib Al-Bugha. Penerbit Dar Al-Musthafa.
- Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah (Busyral Kariim bi Syarh Masa’il At-Ta’liim). Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin. Penerbit Dar ‘Umar bin Al-Khatthab.
–
Selesai disusun pada hari Arafah, 9 Dzulhijjah 1443 H, 9 Juli 2022
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com