Bulughul Maram – Shalat: Lebih Baik Ketika Turun Sujud Mendahulukan Lutut Lalu Telapak Tangan
Lebih baik ketika turun sujud, kita mendahulukan lutut lalu telapak tangan lalu dahi dan hidung. Coba lihat keterangan dalam kitab Bulughul Maram berikut dan perselisihan kuat di dalamnya.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat
بَابُ صِفَةِ الصَّلاَةِ
Lutut Dulu ataukah Telapak Tangan Saat Turun Sujud?
Hadits #310
عَنْ أَبي هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ، فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ». أَخْرَجَهُ الثَّلاَثَةُ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian sujud, maka janganlah berlutut seperti berlututnya unta, yaitu meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Dikeluarkan oleh Imam yang tiga)
[HR. Abu Daud, no. 840; Tirmidzi, no. 269; An-Nasai, 2:207. Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama mengenai kesahihannya, sebagian ulama mendhaifkan, sebagian ulama mensahihkan. Ulama yang mensahihkan adalah ‘Abdul Haqq, As-Suyuthi, Ahmad Syakir, Al-Albani, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Bulughul Maram. Hadits ini didhaifkan oleh ulama besar semacam Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi].
وَهُوَ أَقْوَى مِنْ حَدِيثِ وَائِلِ:
Hadits ini lebih kuat dari hadits Wail bin Hujr:
Hadits #311
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ. أَخْرَجَهُ الأرْبَعَةُ.
Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. (Dikeluarkan oleh Imam yang empat)
[HR. Abu Daud, no. 838; Tirmidzi, no. 267; An-Nasai, 2:207; Ibnu Majah, no. 882. Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama mengenai kesahihannya, sebagian ulama mendhaifkan, sebagian ulama mensahihkan. Ulama yang mendhaifkannya adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni, dan Al-Albani. Ulama yang mensahihkannya adalah Tirmidzi, Ath-Thahawi, Al-Khathabi, Al-Baghawi, dan Ibnul Qayyim. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan sendiri mendukung pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini sahih. Hadits ini punya syaahid atau penguat pada hadits Anas radhiyallahu ‘anhu di mana disebutkan bahwa ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan mendahulukan lutut dari tangannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, 1:345; Al-Hakim, 1:226; Al-Baihaqi, 2:99. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Syaikhain dan tidak diketahui ‘illah dalam hadits ini].
فَإِنَّ لِلأَوَّلِ شَاهِداً مِنْ حَدِيْثِ:
Hadits yang pertama mempunyai syahid dari hadits:
Hadits #312
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ صَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ، وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ مُعَلَّقاً مَوْقُوفاً.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah. Imam Al-Bukhari menyebutnya dalam keadaan mu’allaq mauquf. [HR. Ibnu Khuzaimah, no. 627; Ad-Daruquthni, 1:344; Al-Hakim, 1:266; Al-Baihaqi, 2:100; Bukhari menyebut secara mu’allaq, 2:290].
Perselisihan para ulama mengenai cara turun sujud, apakah lutut dahulu ataukah tangan
Pendapat pertama: Mendahulukan lutut dari kedua tangan. Ini adalah pendapat dari Umar bin Al-Khaththab, Ibrahim An-Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, dan pendapat ashabur ro’yi (ulama Hanafiyah). Alasan pendapat ini adalah hadits dari Wail bin Hujr.
Pendapat kedua: Mendahulukan kedua tangan sebelum lutut. Inilah pendapat Imam Malik, Al-Auza’i, salah satu pendapat Imam Ahmad. Dalil pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah.
Pendapat ketiga: Boleh memilih mendahulukan yang mana. Inilah pendapat Imam Malik.
Para ulama sepakat bahwa shalat dengan mendahulukan lutut ataukah tangan keduanya sah. Yang terjadi ikhtilaf hanyalah manakah yang lebih afdal antara keduanya.
Baca juga: Cara Sujud dalam Madzhab Syafii
Lebih baik mendahulukan lutut dari telapak tangan
Abul Husain Yahya bin Abu Al-Khayr bin Salim Al-‘Imraani Al-Yamani (489 – 558 H) berkata,
وَالمُسْتَحَبُّ: أَنْ يَكُوْنَ أَوَّلَ مَا يَقَعُ مِنْهُ عَلَى الأَرْضِ فِي السُّجُوْدِ: رُكْبَتَاهُ ثُمَّ يَدَاهُ ثُمَّ جَبْهَتُهُ وَأَنْفُهُ
“Yang disunnahkan ketika meletakkan anggota sujud di lantai adalah: (1) kedua lutut, lalu (2) kedua telapak tangan, lalu (3) dahi dan hidungnya.” (Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imam Asy-Syafii, 2:215, Penerbit Dar Al-Minhaj)
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (3:274) berkata,
مَذْهَبُنَا إِنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقَدِّمَ فِي السُّجُوْدِ الرُّكْبَتَيْنِ ثُمَّ اليَدَيْنِ ثُمَّ الجَبْهَةَ وَالاَنْفَ
“Menurut madzhab kami (Syafii), disunnahkan ketika akan sujud mendahulukan kedua lutut, lalu kedua telapak tangan, lalu dahi dan hidung.”
Ada penukilan dari kitab Al-Majmu’ (3:275) sebagai berikut,
قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الاُمِّ أُحِبُّ أَنْ يَبْتَدِئَ التَّكْبِيْرَ قَائِمًا وَيَنْحِطُّ وَكَأَنَّهُ سَاجِدٌ ثُمَّ إِنَّهُ يَكُوْنُ أَوَّلَ مَا يَضَعُ عَلَي الأَرْضِ مِنْهُ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَدَيْهِ ثُمَّ وَجْهَهُ فَإِنْ وَضَعَ وَجْهَهُ قَبْلَ يَدَيْهِ أَوْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ كَرِهْتُه ُوَلاَ إِعَادَةَ عَلَيْهِ وَلاَ سُجُوْدَ سَهْوٍ
“Imam Syafii dalam Al-Umm berkata, ‘Aku suka jika memulai dengan takbir mulai dari berdiri lalu turun sujud. Lalu ketika akan sujud yang pertama kali diletakkan di lantai adalah kedua lutut, kemudian kedua telapak tangan, kemudian wajah. Jika wajah diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua telapak tangan atau kedua telapak tangan diletakkan sebelum kedua lutut, aku tidak menyukainya (menganggap makruh). Namun, jika hal tersebut dilakukan, tidak perlu ada pengulangan dan tidak perlu ada sujud sahwi.’”
Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii (1:282), Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menyebutkan, “Orang yang menjalankan shalat disunnahkan meletakkan lutut, lalu telapak tangan, kemudian dahi dan hidung. Hal ini berdasarkan hadits dari Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Ketika bangkit, beliau mengangkat tangannya sebelum kedua lututnya.’ Seandainya ada yang akan sujud meletakkan kedua tangannya sebelum lutut, tetaplah sah. Ia tidak mesti sujud sahwi karena yang ditinggalkan hanyalah sunnah hay’ah. Meletakkan hidung saat sujud adalah sunnah. Namun, orang yang sujud tidak cukup sujud pada hidung saja, sedangkan dahinya tidak terkena lantai saat sujud.”
Alasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah yang lebih menguatkan pendapat “mendahulukan lutut dari kedua telapak tangan”:
- Haditsnya memiliki taabi‘ dan syaahid (penguat).
- Hadits Wail bin Hujr sesuai dengan hadits Abu Hurairah yang melarang orang yang shalat seperti berlututnya unta, di mana unta itu mendahulukan tangan.
- Mendahulukan lutut lebih mudah bagi orang yang shalat dan sesuai dengan keadaan badan. Karena yang lebih dekat ke lantai adalah lutut, lalu tangan, kemudian dahi dan hidung. Sedangkan ketika bangkit berkebalikan dengan hal itu.
- Mendahulukan turun dengan lutut dilakukan oleh beberapa sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, begitu pula sekelompok tabiin.
Catatan: Tentu saja yang bisa melakukan cara sujud dengan mendahulukan lutut dari tangan adalah yang mampu. Jika dalam keadaan tidak mampu, misal karena fisik tidak kuat lagi atau dalam keadaan sakit, maka ia mendahulukan manakah yang mudah baginya. Wallahu a’lam. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:145-146.
Baca juga: Tangan Dulu ataukah Lutut Saat Turun Sujud?
Referensi
- Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab lis Asy-Syairazi. Cetakan kedua, tahun 1427 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Tahqiq: Muhammad Najib Al Muthi’i. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
- Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
- Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Cetakan keempat, Tahun 1435 H. Abul Husain Yahya bin Abu Al-Khayr bin Salim Al-IMRANI Al-Yamani. Penerbit Dar Al-Minhaj.
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:140-146.
- Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
—
Selasa siang, 13 Rajab 1443 H, 15 Februari 2022
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com