Aqidah

Tsalatsatul Ushul: Penjelasan Menarik Mengenai Doa, Harap, Takut, Khusyuk, dan Tawakal

Ini adalah penjelasan menarik mengenai doa, harap (raja’), takut (khauf), khusyuk, dan tawakal dari kitab Tsalatsatul Ushul.

 

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:

«الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ»

Doa adalah inti ibadah.” (HR. Tirmidzi no. 3371)

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ﴾

Dan Rabbmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang merasa tidak butuh dari berdo’a kepada-Ku akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina’.” (QS. Ghafir: 60)

Dalil khauf adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴾

Maka, janganlah engkau takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku, jika engkau orang-orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

Dalil raja` adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا﴾

Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal saleh dan tidak menyekutukan dengan suatu apa pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Dalil tawakkal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴾

Dan hanya kepada Allah-lah kalian bertawakkal, jika kalian orang-orang mukmin.” (QS. Al-Maidah: 23)

﴿وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ﴾

Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Dalil raghbah, rahbah, dan khusyuk adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ﴾

Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas, dan mereka khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

 

Doa itu Inti Ibadah

Dalam hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Daud, no. 1479; Tirmidzi, 5:426; Ibnu Majah, no. 3828; Ahmad, 30:297-298, Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 714; Al-Hakim, 1:491. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).

Sedangkan kalimat “doa adalah inti ibadah”, maksudnya adalah ibadah tidaklah tegak kecuali dengan doa.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)

Ayat ini menunjukkan bahwa doa itu ibadah. Seandainya bukan termasuk ibadah tentu tidaklah disebutkan di dalamnya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.

Oleh karena itu, barang siapa berdoa kepada selain Allah meminta sesuatu yang hanya Allah yang mampu mewujudkannya, ia itu musyrik dan kafir, baik yang ditujukan doa (al-mad’u) itu hidup ataukah mati.

  • Siapa yang berdoa kepada yang hidup “berilah aku makan” atau “berilah aku minum”, padahal ia tidak sanggup memenuhinya karena ghaib (berada di tempat yang jauh),
  • Siapa yang berdoa kepada yang mati atau yang ghaib seperti di atas,

ia dihukumi musyrik (berbuat syirik) karena orang yang sudah mati ataukah yang ghaib tidaklah mungkin memenuhi doa seperti itu di mana yang meminta pasti meyakini bahwa yang ditujukan doa punya kemampuan untuk mewujudkannya. Ingat, yang melakukannya termasuk orang musyrik.

 

Doa itu ada dua macam: doa masalah dan doa ibadah

Pertama: Doa masalah, yaitu doa permintaan hajat dari hamba kepada Rabbnya. Bentuk doa semacam ini menandakan seseorang itu butuh dan berhadap kepadanya. Hal ini berbeda kalau yang ditujukan doa itu masih hidup dan dapat memenuhinya, permintaan seperti ini tidaklah masalah.

Kedua: Doa ibadah, yaitu bentuk ibadah makhluk kepada Allah yang isinya adalah meminta pahala dan takut akan siksa-Nya. Doa semacam ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Siapa saja yang memalingkan kepada selain Allah, ia musyrik dan kafir, ia dinyatakan keluar dari Islam. Ia terancam dengan ayat yang disebutkan dalam bahasan ini, “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)

 

Khauf (Takut)

Khauf adalah takut, khawatir terkena celaka, mudarat, atau gangguan jika melakukan sesuatu. Allah Ta’ala telah mengingatkan agar tidak takut kepada wali setan. Kita hanya diperintahkan untuk takut kepada Allah semata.

Dalil yang menunjukkan khauf adalah ibadah disebutkan dalam ayat:

﴿فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴾

Maka, janganlah engkau takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku, jika engkau orang-orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

 

Khauf itu ada tiga macam: khauf thabi’i, khauf ibadah, dan khauf sirr

Khauf thabi’i adalah takut secara tabiat. Contohnya, manusia takut dengan binatang buas, manusia takut pada api, manusia takut tenggelam, manusia takut pada ular. Khauf thabi’i ini bukan termasuk ibadah.

Namun, kalau rasa takut thabi’i sampai berakibat meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu yang haram, maka dihukum haram.

 

Takut dari Allah ada dua macam dalam hal ini:

  1. Takut terpuji (mahmud), yaitu yang menghalangi kita dengan maksiat sehingga kita tetap melakukan yang wajib dan meninggalkan maksiat.
  2. Takut tidak terpuji (ghairu mahmud), yaitu yang mengakibatkan putus asa dari rahmat Allah, seseorang itu begitu menyesal dan merasa mencekam, seakan-akan ia ingin terus menerus bermaksiat karena sudah putus asa mendapati ampunan.

 

Khauf ibadah adalah takut sesuatu sehingga mengakitbatkan ia beribadah kepadanya dengan penuh rasa takut. Khauf semacam ini hanya boleh ditujukan kepada Allah. Jika dipalingkan kepada selain Allah, seseorang terjerumus dalam syirik akbar. Contoh, lewat tempat angker dan sangat takut, lalu ia meminta perlindungan (isti’adzah) dan memberi tumbal pada jin yang menjaga tempat tersebut, maka ini termasuk syirik.

Khauf sirr adalah  takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak bisa memberikan pengaruh, makanya disebut khauf sirr (diam-diam, tertutup). Contoh, takut kepada penghuni kubur atau takut kepada wali yang tempatnya jauh darinya. Para ulama menggolongkan khauf semacam ini sebagai syirik.

 

Raja’ (Harap)

Raja’ adalah sangat mengingini pada sesuatu yang dekat atau terkadang pada sesuatu yang jauh yang dianggap dekat.

Raja’ itu berisi merendahkan diri dan tunduk. Raja’ semacam ini hanya boleh ditujukan kepada Allah. Jika raja’ semacam ini ditujukan kepada selain Allah, termasuk dalam syirik ashghar (kecil). Bahkan perbuatan seperti itu bisa dihukumi syirik akbar (besar), tergantung besarnya ketundukan hati.

Raja’ yang terpuji adalah yang melakukan amalan ketaatan kepada Allah dan mengharap pahala dari ketaatan tersebut, atau yang bertaubat dari maksiat dan mengharap diterima taubat-Nya. Inilah raja’ yang disertai tindakan (amalan). Raja’ yang keliru adalah raja’ tanpa tindakan, tanpa amalan. Yang terakhir ini adalah angan-angan yang tercela.

Dalil bahwa raja’ adalah ibadah sebagaimana disebutkan dalam ayat:

﴿فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا﴾

Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan dengan suatu apa pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110). Liqa’ (perjumpaan) pada hari kiamat ada dua macam: (1) liqa’ khusus yaitu dengan orang beriman, liqa’ tersebut dinaungi rida Allah dan dikaruniakan berbagai nikmat Allah; (2) liqa’ ‘amm (umum) yaitu liqa’ dengan seluruh manusia. Liqa’ ‘amm ini sebagaimana disebutkan dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6)

 

Tawakal

Tawakal pada sesuatu berarti bersandar kepadanya. Tawakal kepada Allah berarti bersandar kepada Allah, meyakini bahwa Allah yang memberikan kecukupan, Allah yang mendatangkan manfaat dan menolak mudarat. Tawakal ini adalah tanda kesempunaan iman dan tanda benarnya iman. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23)

Jika seseorang benar-benar bersandar kepada Allah (tawakal), ia pasti akan mendapatkan kecukupan dari harapannya. (Lihat perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Tsalatsah Al-Ushul)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Tawakal itu ada beberapa macam:

  1. Tawakal kepada Allah, merupakan kesempurnaan iman dan tanda benarnya iman.
  2. Tawakal sirr, yaitu bergantung kepada mayat untuk memperoleh suatu manfaat atau menolak suatu kemudaratan. Perbuatan ini termasuk syirik akbar (besar) karena di dalamnya ada keyakinan bahwa mayat itu bisa bertindak di alam. Hal ini dihukumi sebagai syirik, baik yang dijadikan ketergantungan di situ adalah seorang nabi, wali, atau thaghut sebagai musuh Allah.
  3. Tawakal kepada yang lain pada sesuatu yang selain Allah itu masih bisa bertindak. Contohnya adalah bergantungnya hati kepada majikan. Namun, jika ketergantungan di sini hanya dijadikan sebagai sebab, sedangkan meyakini bahwa Allah yang mewujudkannya, perbuatan ini tidaklah masalah.
  4. Tawakal kepada yang lain dalam bentuk mewakilkan, hukumnya boleh. Hal ini dibolehkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak. Contohnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mewakilkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengurus penyembelihan hadyu ketika haji wada’. Kulit dan jilal (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) ikut disedekahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyembelih 63 ekor, sisanya diselesaikan oleh Ali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan untuk pengurusan dan penjagaan harta sedekah (zakat).

 

Raghbah (Harap), Rahbah, dan Khusyuk

Raghbah adalah keinginan (harapan) untuk menggapai sesuatu yang dicintai.

Rahbah adalah takut yang berakibat seseorang lari dari yang ditakuti. Rahbah adalah takut yang disertai tindakan.

Khusyuk  adalah tunduk dan patuh karena keagungan Allah di mana seseorang berserah diri kepada Allah yang kauni maupun syari.

Dalam ayat disebutkan,

﴿إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ﴾

Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas, dan mereka khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Dalam ayat disebutkan sifat orang yang berdoa hendaklah dalam keadaan raghbah (harap), rahbah (takut, cemas), dan khusyuk.

 

Manakah yang diunggulkan takut (khauf) ataukah harap (raja’)?

  • Raja’ diunggulkan ketika melakukan ketaatan sehingga kita bersemangat dan berharap amalan diterima. Khauf diunggulkan ketika ingin bermaksiat supaya maksiat itu ditinggalkan agar selamat dari hukuman.
  • Raja’ diunggulkan ketika sakit. Khauf diunggulkan ketika keadaan sehat. Orang sakit mengedepankan raja’ (rasa harap) agar ia berhusnuzhan kepada Allah karena semakin dekat ajal. Sedangkan orang yang sehat memiliki keadaan yang berbeda. Ia unggulkan khauf (takut) agar selamat dari kejelekan.
  • Raja’ tidak tepat digunakan ketika mendapatkan rasa aman karena seseorang akan merasa selamat dari murka Allah. Sedangkan khauf tidak tetap digunakan ketika putus asa dari rahmat Allah. Kedua keadaan ini akan membinasakan seorang hamba.

Baca juga: Antara Rasa Harap dan Takut

 

Semoga Allah memberikan hidayah kepada penulis dan pembaca sekalian. Moga Allah kabulkan setiap doa-doa kita yang disertai harap, takut, dan khusyuk.

 

Referensi:

  • Hushul Al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsah Al-Ushul. Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
  • Syarh Tsalatsah Al-Ushul. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Tsurayya.

 

Darush Sholihin, pagi hari 16 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button