Solusi Shalat Jumat di Masa “New Normal” Hingga Jumatan Gelombang Kedua
Bagaimana cara shalat Jumat di masa “new normal” karena keadaan masjid yang dibatasi? Apakah mungkin sampai diadakan Jumatan gelombang kedua?
Kita ketahui bersama bahwa shalat Jumat itu wajib dan dihukumi wajib ain selama terpenuhi syarat-syaratnya. Hal ini berdasarkan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Juga wajibnya shalat Jumat didukung dalil-dalil berikut ini.
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim secara berjamaah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud, no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berdua mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas tiang-tiang mimbarnya,
لَيَنْتَهِيَنَّ أقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الغَافِلِينَ
“Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Jumat atau Allah pasti akan menutupi hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim, no. 865)
Dalam hadits lain disebutkan,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” (HR. Abu Daud, no. 1052; An-Nasai, no. 1369; dan Ahmad 3:424. Kata Syaikh Al-Albani hadits ini hasan sahih).
SYARAT SHALAT JUMAT
Dalam madzhab Syafii sendiri disebutkan syarat-syarat pendirian shalat Jumat sebagai berikut.
- Harus dikerjakan di waktu shalat Zhuhur.
- Dikerjakan di kota.
- Dikerjakan secara berjamaah.
- Dikerjakan oleh empat puluh orang laki-laki merdeka, baligh, dan berdomisili di tempat tersebut (mustawthin).
- Tidak didahului atau dibarengi shalat Jumat yang lain di kota yang sama.
- Diawali dengan dua khutbah.
Syarat-syarat di atas disebutkan dalam kitab Safinah An-Najah (kitab dasar fikih Syafii), walaupun dari sisi jumlah 40 dipersilihkan oleh para ulama.
Hukum asalnya, shalat Jum’at hanya dilakukan satu kali di satu tempat dalam satu kota, agar terjadi ijtimak (pertemuan) kaum muslimin sebanyak mungkin, karena hal tersebut merupakan salah satu tujuan utama shalat Jumat itu sendiri. Inilah praktik shalat Jum’at yang telah berlangsung sejak hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah (622 M) hingga dibangunnya kota Baghdad sebagai ibukota Daulah Abbasiyah sekitar satu setengah abad kemudian (762-767 M).
PERMASALAHAN SHALAT JUMAT DI MASA “NEW NORMAL”
Di masa pandemi seperti ini, pelaksanaan ibadah atau aktivitas dengan shaf rapat di masjid ataupun lainnya sangat berpotensi dan bahkan terbukti menjadi penyebab penularan. Ini jelaslah merupakan kemudharatan besar yang wajib dicegah, apalagi jika tidak mengindahkan protokol lainnya, tentu semakin besar potensi penularan penyakit yang tergolong mematikan ini. Di samping itu, terjadinya penularan saat pelaksanaan ibadah jumatan atau shalat berjamaah dapat merusak citra masjid dan kaum muslimin, karena akan dituding sebagai sumber masalah.
Akan tetapi bila kita menerapkan physical distancing dalam masjid, maka daya tampung masjid akan berkurang dratis hingga menjadi sekitar 40% saja. Ini tentunya menimbulkan masalah baru yaitu tidak tertampungnya jamaah.
Dalam kondisi seperti ini, kita dihadapkan kepada empat pilihan yang masing-masing memiliki mudharat di satu sisi dan manfaat di sisi lain, yaitu:
Opsi A: Tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid dengan shaf rapat.
Opsi B: Melaksanakan shalat Jumat satu kali di masjid dengan shaf renggang tanpa menambah tempat alternatif.
Opsi C: Menyediakan tempat alternatif sebagai masjid darurat khusus untuk shalat Jum’at, semisal aula, ruang pertemuan, ruang futsal atau yang lainnya.
Opsi D: Melakukan shalat Jumat dalam dua gelombang di satu masjid.
Tentunya, opsi C adalah yang paling sesuai dengan kaidah syariat, karena paling kecil mudharatnya dan paling besar manfaatnya, kemudian disusul dengan opsi D. Sebab, opsi C lah yang paling aman bagi kesehatan jamaah, sedangkan ibadah hanya dapat ditunaikan sesuai tuntunan (sempurna) bilamana seseorang dalam kondisi sehat dan aman. Adapun bila ia jatuh sakit atau terancam keselamatan dirinya, maka akan sulit melakukan ibadah dengan sempurna.
Oleh karenanya, menjaga kesehatan masyarakat secara umum lebih didahulukan daripada menjaga kesempurnaan suatu ibadah. Sebab bila masyarakat jatuh sakit, niscaya bukan hanya shalat jum‟atnya yang tidak dapat dilakukan dengan sempurna, namun ibadah-ibadah lainnya juga terpengaruh.
Adapun opsi D (mengadakan shalat Jumat dua gelombang di satu masjid), maka tidak boleh dilakukan selagi masih dapat dicarikan tempat alternatif, karena inilah yang lebih kecil mudharatnya dan lebih besar manfaatnya. Demikian pula opsi A (mengadakan shalat Jum‟at satu kali dengan shaf rapat), jelas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada kesempurnaan ibadah. Sedangkan opsi B tidak memberikan solusi apa-apa bagi jamaah yang tidak tertampung.
Namun bila pihak DKM atau pihak terkait tidak mendapatkan tempat alternatif untuk menampung jamaah dan para jamaah juga kesulitan untuk melaksanakan shalat Jumat di tempat lain; maka dalam kondisi darurat seperti ini, opsi D dapat dipilih.
KAIDAH-KAIDAH YANG MENDASARI HAL DI ATAS
Pertama:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَاتِ وَتُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang pada dasarnya terlarang, tapi harus ditentukan kadar daruratnya secara proporsional.”
Kedua:
لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ
“Tidak ada kewajiban saat tidak mampu melakukannya.”
Ketiga:
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kondisi yang sulit mengundang datangnya kemudahan.”
Keempat:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membiarkan maupun melakukan kemudharatan.”
Kelima:
اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
“Memilih perbuatan yang paling kecil kemudaratannya.”
Keenam:
الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
“Adanya kebutuhan umum dapat dianggap seperti kondisi darurat.”
HIMBAUAN DARI DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD
- Bagi kaum muslimin yang hendak melaksanakan shalat berjamaah di masjid, maka wajib mengikuti protokol penggunaan masjid yang ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, termasuk merenggangkan shaf dan memakai masker.
- Bagi orang tertentu yang dianjurkan oleh dokter untuk tidak berangkat ke masjid, maka ia tidak boleh berangkat ke masjid.
- Orang yang sedang sakit batuk, flu, dan demam tidak boleh ke masjid selama pandemi belum berakhir.
- Bagi yang masih merasa belum aman untuk shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid, maka secara syari masih diberi udzur untuk shalat di rumah.
- Jika dengan protokol New Normal masjid jami’ tidak bisa menampung jamaah, maka shalat Jumat dapat dilakukan di masjid lain, mushalla, gedung, lapangan dan sebagainya untuk menampung jamaah yang tidak tertampung oleh masjid jami’.
- Bila poin kelima tidak dapat diwujudkan, maka shalat Jumat boleh dilakukan dalam dua gelombang di masjid yang sama. Dalam hal ini, hendaknya diupayakan menyiapkan imam dan khatib yang berbeda pada masing-masing gelombang, namun jika kesulitan maka boleh dilakukan oleh imam dan khatib yang sama.
- Panduan ini hanya berlaku untuk daerah yang memenuhi syarat penerapan aturan New Normal menurut disiplin ilmu kesehatan.
Dua masalah yang sering ditanyakan terkait shalat saat “new normal”:
REFERENSI
- Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbi Darul Qalam.
- Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad no. 030/ DFPA/ X/ 1444.
- Safinah An-Naja. Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami.
Semoga bermanfaat.
Baca Juga: Hukum Shalat Berjamaah ke Masjid di Masa “New Normal”, Apakah Harus?
Diselesaikan di Darush Sholihin, Kamis sore, 12 Syawal 1441 H, 4 Juni 2020
Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com