Shalat

Bulughul Maram – Shalat: Menjawab Azan

Hadits ini penuh faedah karena berisi bahasan masalah menjawab azan.

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat – Bab Al-Azan (Tentang Azan)

Hadits #192

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا سَمِعْتُمْ اَلنِّدَاءَ, فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian mendengar azan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muazin.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 611 dan Muslim, no. 383]

 

Hadits #193

وَلِلْبُخَارِيِّ: عَنْ مُعَاوِيَةَ

Dalam riwayat Al-Bukhari, “Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu seperti itu pula.” [HR. Bukhari, no. 612, 613]

 

Hadits #194

وَلِمُسْلِمٍ: – عَنْ عُمَرَ فِي فَضْلِ اَلْقَوْلِ كَمَا يَقُولُ اَلْمُؤَذِّنُ كَلِمَةً كَلِمَةً, سِوَى اَلْحَيْعَلَتَيْنِ, فَيَقُولُ: “لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ”

Dalam riwayat Muslim dari Umar radhiyallahu ‘anhu tentang keutamaan mengucapkan kalimat sebagaimana yang diucapkan oleh muazin, kalimat demi kalimat kecuali hayya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah, maka hendaknya mengucapkan “laa hawla wa laa quwwata illa billah”. [HR. Muslim, no. 385]

 

Faedah Hadits

  1. Disunnahkan mengikuti (menjawab) ucapan azan, hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Demikian pendapat jumhur ulama.
  2. Mengikuti ucapan muazin adalah dalam semua ucapan muazin kecuali pada kalimat hay’alatain (hayya ‘alash shalah, hayya ‘alal falah) yaitu dijawab dengan LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH.
  3. Menjawab azan dan menghadiri shalat berjamaah adalah dengan kekuatan, pertolongan, dan taufik dari Allah.
  4. Hendaklah yang berada dalam dzikir, doa, membaca Al-Qur’an kala mendengar azan yang ia pentingkan adalah meniru azan. Karena mengikuti azan adalah ibadah yang waktunya terbatas. Jika waktunya telah lewat, maka dianggap luput. Sedangkan membaca Al-Qur’an, dzikir, dan doa masih bisa dilakukan pada waktu lainnya.
  5. Orang yang sedang thawaf keliling Kabah juga mengikuti muazin kala mendengar azan. Mengikuti muazin seperti ini pula termasuk dzikir. Dzikir disyariatkan saat thawaf.
  6. Menjawab azan dituntut pada siapa saja kecuali ketika berada di kamar mandi atau kala ia jimak.
  7. Orang yang sedang shalat lantas mendengar azan, maka ia tidak perlu mengikuti ucapan azan walaupun ia sedang melakukan shalat sunnah. Inilah pendapat kebanyakan ulama karena berdasarkan hadits, “Sesungguhnya dalam shalat itu benar-benar berada dalam kesibukan.” (HR. Bukhari, no. 1199 dan Muslim, no. 538, 34)
  8. Muazin yang mengumandangkan azan tidak perlu menjawab azan yang ia ucapkan sendiri karena dalam hadits disebutkan “jika kalian mendengar azan” berarti cuma berlaku bagi yang mendengar saja.
  9. Azan yang dijawab adalah setiap azan yang didengar sesuai praktik tekstual hadits.
  10. Tetap menjawab azan dengan sekadar mendengar azan walau tidak melihat muazin.
  11. Dalam menjawab “ash-shalaatu khoirum minan nauum” juga sama dengan ucapan seperti itu. Karena hadits hanya mengecualikan yang jawabannya berbeda adalah ucapan hayya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah. Adapun ucapan tatswib (ash-shalaatu khoirum minan nauum) dijawab dengan shadaqta wa barirta (ada juga yang membaca: shadaqta wa bararta) sebagaimana anjuran dalam madzhab Hambali dan Syafii, maka tidak ada dalilnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam At-Talkhish (1:222) bahwa jawaban shadaqta wa barirta itu LAA ASHLA LAHU, artinya tidak diketahui dalilnya. Imam Ash-Shan’ani dalam Subul As-Salam (1:244) mengatakan bahwa jawaban itu hanya anggapan baik dari orang yang menganjurkan, padahal tidak ada dalil sunnah yang mendukungnya.
  12. Menjawab muazin adalah setelah mengucapkan setiap kalimat, bukan diucapkan berbarengan atau diucapkan telat.
  13. Jika tidak mendengar azan melainkan pas di pertengahan, maka ia ikuti azan yang tersisa, lalu ia qadha yang luput. Karena azan adalah bagian dari dzikir. Seorang muslim hendaknya menjaga amalan salehnya. Yang ia luput hendaklah ia qadha. Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa seperti itu tidak perlu diqadha’. Inilah yang jadi pendapat Syaikh ‘Utsman An-Najdi dan disetujui pula oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim.
  14. Hadits ini menunjukkan akan keutamaan menjawab azan dan menjawab dengan dzikir-dzikir yang disebutkan. Inilah tanda luasnya karunia Allah dan rahmat-Nya pada hamba-Nya, serta menunjukkan sempurnanya syariat-Nya.
  15. Disunnahkan berdoa sesudah azan karena saat itu adalah waktu diijabahinya doa.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ

Siapa yang mengucapkan setelah mendengar azan: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa (artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku ridha sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku), maka dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim, no. 386)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa seseorang pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya muadzin selalu mengungguli kami dalam pahala amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ

Ucapkanlah sebagaimana disebutkan oleh muadzin. Lalu jika sudah selesai kumandang azan, berdoalah, maka akan diijabahi (dikabulkan).” (HR. Abu Daud no. 524 dan Ahmad 2: 172. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Baca Juga: 5 Amalan Ketika Mendengar Azan

Arti Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata mengenai arti laa hawla wa laa quwwata illa billah,

لاَ حَوْلَ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ إِلاَّ بِعِصْمَتِهِ، وَلاَ قُوَّةَ عَلَى طَاعَتِهِ إِلاَّ بِمَعُوْنَتِهِ

“Tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan perlindugan dari Allah. Tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 26-27)

 

Perlukah menjawab iqamah?

Tanya:

Apa hukum ucapan “Allahumma aqoomahallahu wa adamahaa maa daamatis samawaati wal ardh” (Semoga Allah tetap memberikan kekuatan kepada kami untuk bisa menegakkan sholat dan melanggengkannya selama langit dan bumi masih ada) ketika dikumandangkannya iqamah?

Jawab:

Yang dituntunkan bagi orang yang mendengarkan iqamah adalah sama seperti orang yang mengumandangkannya yaitu juga mengucapkan “qod qoomatish sholaah, qod qoomatish sholaah” karena iqamah itu termasuk adzan kedua (sehingga hukumnya sama dengan adzan, pen). Sedangkan terdapat dalam hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Jika seseorang mendengar muazin mengumandangkan adzan, maka hendaklah ia mengucapkan sebagaimana diucapkan oleh muazin.” (HR. Muslim, At Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud dan Ahmad)

Sebagian ulama menganjurkan bahwa orang yang mendengar “qod qoomatish sholaah” hendaklah mengucapkan “aqoomahallahu wa adaamah.” Landasan dari ulama ini adalah hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan seperti ini ketika dikumandangkannya iqamah. Namun perlu diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang dhoif (lemah). Yang tepat adalah mengucapkan sebagaimana diucapkan muazin yaitu ucapan: qod qoomatish sholaah.

Semoga Allah memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud selaku anggota.

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 6/91 , pertanyaan keenam dari fatwa no. 5609]

Simak juga pembahasan lainnya dari kitab Bulughul Maram disini.

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram.Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua.


 

Disusun di Darush Sholihin, 13 Shafar 1441 H (11 Oktober 2019)

Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button