Kamuflase Istilah Syariah
Telinga kita pasti sudah akrab dengan istilah khamar. Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan baik dari benda padat, cair dan gas. Di masa silam, istilah khamar ini diubah menjadi nabidz, supaya mengelabui orang agar bisa menikmatinya. Demikian pula di zaman kita saat ini berbagai istilah dibumbui di produk-produk tertentu baik pada barang dan produk perbankan bahkan pada ritual kesyirikan dengan bumbuan yang indah, namun hakikatnya hanya pengaburan istilah. Orang yang menyangka sah-sah saja menikmati atau memanfaatkannya, padahal nyatanya haram dan terlarang. Oleh karenanya, kita mesti jeli. Jangan sampai kita tertipu dengan istilah dan nama, lihatlah hakikatnya.
Jangan Tertipu dengan Istilah
Kamuflase istilah atau pengelabuan dalam nama sudah ada sejak masa silam, bahkan sejak Nabi Adam ‘alaihis salaam di surga. Adam tertipu dengan pengelabuan iblis yang memberi nama pohon yang terlarang dengan nama pohon khuldi, artinya pohon yang akan membuat orang yang memakannya kekal di surga. Iblis berkata,
يَا آَدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
“Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS. Thoha: 120)
Di akhir zaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan bahwa akan muncul orang-orang yang ingin mengelabui sesuatu yang haram dengan merubah namanya. Abu Malik Al Asy’ari berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا
“Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamar, mereka menamakannya dengan selain namanya.” (HR. Abu Daud no. 3688, An Nasai no. 5658, Ibnu Majah no. 3384 dan Ahmad 4: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
At Turbasyti menjelaskan, “Mereka sengaja menutup-nutupi nama khamar tadi dengan nama nabidz (sejenis minuman yang sebenarnya bukan khamar).” Ibnu Malik mengatakan, “Mereka ingin menikmati khamar tersebut dan sengaja merubah namanya dengan nama berbagai nabidz yang hukumnya mubah. Misal saja mereka sebut dengan air madu dan air dzurroh yang tidak haram. Khamar biasanya berasal dari anggur dan kurma, namun kedua minuman tadi tidak demikian. Mereka hanya ingin mengelabui. Padahal kita harus melihat hakikatnya bahwa setiap yang memabukkan itu haram (apa pun namanya).” (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 10: 110)
Mengelabui dengan merubah sesuatu yang diharamkan untuk merubah hukum ini pun menjadi watak Yahudi. Supaya minyak bangkai yang asalnya cair tidak terlarang diperjualbelikan, mereka merubahnya menjadi padat.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ ، وَهُوَ بِمَكَّةَ « إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ . فَقَالَ « لاَ ، هُوَ حَرَامٌ » . ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عِنْدَ ذَلِكَ « قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ ، إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ »
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Mekah saat penaklukan kota Mekah, “Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai jual beli lemak bangkai, mengingat lemak bangkai itu dipakai untuk menambal perahu, meminyaki kulit, dan dijadikan minyak untuk penerangan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh! Jual beli lemak bangkai itu haram.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat Yahudi. Sesungguhnya, tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjual minyak dari lemak bangkai tersebut, kemudian mereka memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim, no. 4132)
Lihat Hakikatnya
Nilailah sesuatu dari hakikatnya, bukan dari nama atau istilah. Karena kadang nama sesuatu yang berbau syirik atau bid’ah –misalnya- diubah menjadi nama yang indah dan menarik. Lihat saja istilah yang dibuat untuk wisata ke kuburan para wali songo, dengan istilah “wisata religi”. Padahal di dalamnya terdapat bentuk ibadah yang jauh dari tuntunan Islam karena di dalamnya terdapat tawassul atau tabarruk (ngalap berkah) yang bid’ah bahkan bisa sampai tingkatan syirik. Safar dengan tujuan ibadah seperti yang disebut dengan wisata religi ini juga telah melanggar sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ – صلى الله عليه وسلم – وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidaklah diikat pelana (janganlah bersengaja bersafar -dalam rangka ibadah-) selain ke tiga masjid: masjidil haram, masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (masjid nabawi) dan masjidil aqsho’.” (HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397).
Pengecualian dalam hadits ini bukanlah pada tiga masjid saja. Termasuk di dalamnya segala tempat yang dimaksudkan untuk beribadah pada Allah. Buktinya disebutkan dalam riwayat dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, katanya: Abu Basrah Al Ghifari suatu ketika berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari bukit Thur, maka tanyanya: “Anda datang dari mana?” “Dari bukit Thur… aku shalat di sana“, jawab Abu Hurairah. “Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah diikat pelana… dst”, kata Abu Basrah. (HR. Ahmad 39: 270. Hadits ini sanadnya shahih, Al Haitsami mengatakan dalam Majma’uz Zawa-id (4:3), “Para perawi hadits Ahmad tsiqah semua dan kuat hafalannya”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik secara panjang lebar dalam Muwaththa’nya no 241). Jelas, bukit Thur merupakan bukit yang diberkahi oleh Allah. Dalam menjelaskan hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (23: 28) berkata: “Ucapan Abu Hurairah ‘Aku pergi ke bukit Thur’; jelas sekali dalam hadits ini bahwa beliau tidak bersafar kecuali demi mencari berkah dan shalat di sana”. Wisata religi nyatanya termasuk dalam larangan hadits di atas.
Contoh lainnya lagi, kadang istilah yang digunakan dikelabui dengan ditambahi istilah ‘syariah’, semisal pada bank atau pegadaian. Salah satu produk yang bermasalah di lembaga tersebut adalah kredit emas batangan. Padahal berdasarkan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, pembelian emas tidak boleh dilakukan secara kredit (alias: harus tunai). Ketika menyebutkan barang-barang ribawi semisal emas dan perak, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika berbeda jenis (semisal menukar emas dengan mata uang, pen), maka juallah terserah kalian, asalkan tunai.” (HR. Muslim no. 1587). Syarat yang diberikan di sini adalah tunai, yadan bi yadin. Jadi, label lembaga syariah tidak bisa melegalkan yang Allah haramkan.
Bagi hasil di BMT atau bank syariah bisa jadi contoh yang lain. Mereka menyebut bagi hasil yang dilakukan adalah mudhorobah, nama yang syar’i. Aturan mereka dalam mudhorobah adalah hanya mau bagi untung dan tidak mau bagi rugi. Jika memang aturannya seperti ini, hakikatnya bukan mudhorobah, namun mengutangi. Menurut aturan syari’at mengenai mudhorobah, sebagaimana keuntungan dibagi bersama, begitu pula dengan kerugian harus ditanggung bersama antara pemilik modal dan pelaku usaha. Jika hanya mau bagi untung, maka hakikat akad yang dilakukan adalah utang-piutang. Jika ditarik untung dalam utang-piutang, maka itu sama saja riba walaupun memakai istilah yang syar’i. Para ulama membuat kaedah yang telah ma’ruf,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”
Dari sini kita dapat memahami bahwa tidak setiap istilah syar’i menunjukkan kebenaran. Perlu kita ketahui hakikatnya, lebih-lebih di zaman ini yang penuh pengelabuan. Hal ini juga menuntut kita untuk banyak belajar dan mengkaji ilmu Islam, tidak hanya sekedar ikut-ikutan. Banyak ilmu yang mesti kita dalami, yang utama adalah ilmu akidah, menyusul setelahnya adalah ilmu yang wajib kita ketahui sehari-hari seperti penjelasan shalat bagi setiap muslim dan penjelasan hukum perniagaan bagi yang ingin melakukan muamalah dagang. Jika kita tidak mampu, maka rajinlah bertanya pada ahli ilmu yang pedomannya dalam berpendapat adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 1 Shofar 1433 H
ما شاء الله
Assalamu’alaikum..
Saya ingin bertanya, dulu saya adalah palang saham…
Bagaimana hukumnya jual beli saham di bursa, mekanismenya adalah pembeli dan penjual deal harga pada hari ini tetapi sesuai prosedur transaksi maka barang dan uang akan diterima setelah 3 hari kerja bursa..padahal pada saat itu harga terus berubah dipasar. Hal ini saya pertanyakan karena adanya hadist diatas menyangkut emas/ perak yang mesti “tunai’ dalam transaksinya, sementara saham menurut saya adalah surat/ berharga (yang mungkin ada kemiripan dengan emas/ perak).
Sebelumnya terima kasih atas penjelasannya.
PS. Dinegara yang menganut syariat Islam pun setahu saya ada Bursa Saham.
Aslkm, mengenai akad mudhorobah. bagaimana klo untung bagi hasil tetapi klo rugi hanya mengembalikan pokoknya saja dan ini ditulis dalam akadnya. syariah atau tidak ??? trims, waslm.
Wa’alaikumus salam. Itu hakekatnya mengutangi bukan mudhorobah. Karena mudhorobah, kalau rugi nanggung bersama sebagaimana untung. Sistem di atas adl sistem riba.
Assalaamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ustadz menulis: “Aturan
mereka dalam mudhorobah adalah
hanya mau bagi untung dan tidak mau bagi rugi. Jika memang aturannya seperti
ini, hakikatnya bukan mudhorobah, namun mengutangi. Menurut aturan syari’at mengenai
mudhorobah, sebagaimana keuntungan dibagi bersama, begitu pula dengan kerugian
harus ditanggung bersama antara pemilik modal dan pelaku usaha. Jika hanya mau
bagi untung, maka hakikat akad yang dilakukan adalah utang-piutang. Jika
ditarik untung dalam utang-piutang, maka itu sama saja riba walaupun memakai
istilah yang syar’i.”
Ustadz, ana mau melengkapi
statement diatas agar kita mendapatkan pemahaman yang berimbang. Pertama memang di Bank
Syariah ada akad Mudharabah, namun kita harus melihatnya dari dua sisi, yaitu
pendanaan dan pembiayaan.
Ustadz setahu ana ada tiga sistem bagi hasil di Bank Syariah; 1. Profit
sharing, 2. Revenue Sharing dan 3. Lost
and Profit Sharing.
Setahu ana untuk pendanaan, yaitu pengumpulan dana dari penabung nasabah
diikat dengan akad mudharabah sistem Revenue Sharing, dimana apabila Bank
untung, maka Nasabah akan mendapat bagi hasil dan apabila Bank Rugi, maka
Nasabah tidak mendapat bagi hasil tetapi tidak ikut menanggung kerugian yang
dialami Bank.
Nampak bahwa revenue sharing ini tidak menganut faham
keadilan dan gak syar’I banget juga boleh dibilang gak manusiawi, tul kan?
Bayangin aja kita nabung di Bank Syariah dengan akad mudharabah kalau Bank tersebut untung maka kita dapat bagi hasil la
giliran Banknya rugi (?) Bank menanggung sendiri sebab prinsip revenue sharing adalah Pendapatan yang
dibagi sebelum dikurangi biaya.
Sistem ini (revenue sharing dlm akad mudharabah) menurut saya merupakan ijtihadi
para ulama fiqih saja, termasuk Imam Syafi’i karena kaedah usul fiqih muamalah
adalah
الأصل
في المعاملة الإباحة إلا أن يكون دليل على تحريمها
Maksudnya
Semua bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Lalu kenapa
Bank syariah menggunakan system ini (pastinya sempatin nanya ke mereka ya..)
karena Sistem ini memberikan kemudahan di dalam menghitung Bagi Hasil yang
diberikan kepada Nasabah akibat dana yang dihimpun oleh Bank berupa polling
dana Wadiah dan Mudharabah.
Dan ketidak siapan Nasabah Bank Syariah untuk
menerima kerugian dan berkurangnya dana yang disimpan Kalau
pun ada yang mau mungkin sangat kecil sekali (walau sdh berulang kali pergi
haji sekalipun). Ini hal yg manusiawi.
Adapun dalam pembiayaan Bank Syariah
untuk akad mudharabah memakai sistem Lost
and Profit Sharing, walaupun dalam perkembangannya akad ini kurang
berkembang, bukan hanya di Indonesia tapi umumnya di dunia Islam yang memiliki
Bank Syariah (Islam).
Ustadz pasti tahu kenapa…
Demikian dulu Ustadz, insya Allah kita bisa
diskusi lagi di lain waktu.
Assalamu ‘alaikum warrohmatullahi wa barokatuh, Bagaimana hukumnya jual beli perhiasan emas dan mata uang asing saat ini yang menggunakan dua harga,harga jual dan harga beli yang dilakukan oleh pedagang perhiasan emas dan valas ?
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh.
Bisa diperinci yang dimaksd dua harga?