Amalan

Tahajud itu Dilakukan Setelah Bangun Tidur

Sekarang kita bahas qiyamul lail, shalat malam, atau shalat tahajud. Pembahasannya diambil dari Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi dan penjelasan ayat dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir.

 

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

  1. Bab Keutamaan Qiyamul Lail

 

Ayat Pertama

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabbmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’: 79)

 

Faedah Ayat

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ayat ini maksudnya adalah perintah untuk melakukan qiyamul lail setelah melakukan shalat wajib. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:103)

Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim, no. 1163)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan pula, “Karenanya Allah memerintahkan pada Rasul-Nya setelah diperintahkan shalat wajib untuk melaksanakan shalat malam. Adapun tahajud sendiri dilakukan setelah bangun tidur. Inilah yang dikatakan oleh ‘Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim An-Nakha’i, dan ulama lainnya. Tahajud dilakukan setelah bangun tidur itulah makna yang ditangkap dari bahasa Arab (tahajjud berasal dari kata ‘hajjada’ yang berarti bangun tidur, pen.). Juga dalam hadits-hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tahajud setelah bangun tidur. Inilah yang disimpulkan dari hadits dari Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, dan sahabat lainnya, sebagaimana dijelaskan masalah ini pada tempatnya, walhamdulillah atas segala nikmat.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:103)

Masih dari penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa shalat tahajud adalah shalat yang dilakukan bakda Isya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dengan sanad hasan dari jalur Hisyam dari Al-Hasan).

Bisa jadi kalimat Al-Hasan Al-Bashri dimaknai pula bahwa shalat tahajud dilakukan setelah bangun tidur.

Kalimat “naafilatan laka” sebagai tambahan untukmu, maknanya bahwa ada ulama yang mengatakan, shalat tahajud itu wajib bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak bagi umatnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-‘Aufi, dari Ibnu ‘Abbas, dan merupakan salah satu dari dua pendapat ulama yang ada, dan juga menjadi salah satu pendapat Imam Syafi’i, juga dipilih oleh Ibnu Jarir ketika menjelaskan maksud ayat.

Sedangkan pendapat yang lainnya menyatakan bahwa “naafilatan laka” bahwa shalat malam itu dijadikan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tambahan yang khusus baginya, karena beliau sendiri telah dihapus dosa-dosa yang lalu dan akan datang. Sedangkan bagi umat Muhammad, shalat tahajud dapat menghapuskan dosa-dosa yang mereka perbuat. Mujahid berkata bahwa ini disebutkan dalam Al-Musnad, dari Abu Umamah Al-Bahiliy radhiyallahu ‘anhu.

Sedangkan maksud dari ayat “mudah-mudahan Rabbmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”adalah lakukanlah yang diperintahkan kepadamu supaya mendapatkan balasan kedudukan yang mulia pada hari kiamat. Allah akan memujimu di hadapan seluruh makhluk dan Allah sudah pasti memujimu.

Menurut Imam Ibnu Jarir bahwa yang dimaksud ayat adalah kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak untuk memberi syafaat kepada manusia supaya manusia mendapatkan keselamatan dari beratnya hari kiamat. Demikian penjelasan dari Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:103.

 

Referensi:

  1. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H.  Imam Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

 


 

Disusun @ Darush Sholihin, 5 Muharram 1441 H (4 September 2019)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button