Kaedah Penting: Ibadah Paling Afdal itu Dilihat dari Waktu dan Tugas
Ini kaedah penting yang akan membantu kita dalam memprioritaskan amalan. Kaedah ini adalah faedah dari Ibnul Qayyim rahimahullah.
Para ulama berkata,
إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ
“Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.
Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.
Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar.
Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.
Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya.
Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.
Apabila ada orang yang membutuhkan bantuan lewat kedudukan, badan, atau harta, maka kita sibuk dengan menolongnya, mengangkat kesulitannya, hal itu didahulukan dari amalan rutin dan senangnya kita bersendirian.
Apabila waktu membaca Al-Qur’an, yang afdal adalah konsentrasi untuk merenungkan dan memahami seakan-akan Allah sedang berbicara denganmu secara langsung, sehingga hati benar-benar menyatu saat itu. Adapun bertekad untuk melaksanakan setiap perintah yang ada dalam Al-Qur’an lebih lagi dari sekadar konsentrasi merenungkannya.
Apabila seseorang wukuf di Arafah, yang afdal adalah bersungguh-sungguh merendahkan diri, berdoa, berdzikir, tidak berpuasa supaya lebih semangat dalam berdoa dan berdzikir saat itu.
Apabila seseorang masuk dalam sepuluh hari pertama Dzulhijjah, afdalnya ia memperbanyak beribadah, lebih-lebih lagi memperbanyak takbir, tahlil, tahmid, dan semua itu lebih afdal daripada jihad kecuali jihad yang fardhu ‘ain.
Apabila seseorang masuk pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, afdalnya adalah beriktikaf di masjid, menyendiri, mengurangi bergaul dan sibuk dengan manusia, bahkan iktikaf itu lebih afdal dari menyampaikan ilmu dan membaca Al-Qur’an menurut kebanyakan ulama.
Apabila saudara kita sakit atau meninggal dunia, afdalnya adalah menjenguk yang sakit, menghadiri prosesi dan mengurus jenazahnya, ini lebih didahulukan daripada menyendiri (iktikaf) atau kumpul-kumpul dengan yang lain.
Apabila seseorang mendapati musibah atau kita disakiti lainnya, afdalnya adalah bersabar ketika bergaul dengan yang lain, tanpa membalas dengan menyerang. Karena seorang mukmin yang bergaul dengan manusia yang bersabar atas gangguan mereka lebih afdal daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak pula diganggu lainnya.
Seseorang bergaul dengan yang lain dalam kebaikan, itu lebih afdal daripada ia hidup mengasingkan diri sehingga tidak bisa mengajarkan kebaikan pada yang lain. Seseorang yang hidup mengasingkan diri dari kejelekan, itu lebih afdal daripada ia bergaul lantas terpengaruh kejelekan. Jika ia tahu dengan , ia bisa meminimalkan kejelekan, itu lebih baik daripada ia mengasingkan diri.
Maka afdalnya pada tiap waktu dan keadaan, seseorang mendahulukan sesuatu yang Allah ridhai pada waktu dan keadaan tersebut, dan sibuk dengan kewajiban di dalamnya sesuai dengan waktu, tugas, dan konsekuensinya.”
Baca juga: Fikih Prioritas
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com