Shalat

Aturan Memandikan Jenazah

Ternyata ada aturan memandikan jenazah, tidak asal memandikan saja.

 

Memandikan jenazah adalah awal pengurusan jenazah. Hukumnya adalah fardhu kifayah. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai seseorang yang meninggal dunia karena jatuh dari untanya,

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara.” (HR. Bukhari, no. 1265 dan Muslim, no. 1206)

Jika memandikan sudah diwakilkan oleh sebagian orang, maka gugur bagi yang lain. Jika semuanya meninggalkan memandikan jenazah, maka berdosa.

 

Urutan siapa saja yang memandikan jenazah

 

Yang lebih pantas memandikan jenazah adalah orang-orang yang mendoakannya (menyalatkannya), dimulai dari kerabat dekat.

Hukum asalnya: Laki-laki memandikan laki-laki, perempuan memandikan perempuan.

Untuk jenazah laki-laki didahulukan:

  1. Ayah
  2. Kakek
  3. Anak laki-laki
  4. Cucu laki-laki
  5. Saudara laki-laki
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan)
  7. Paman (saudara ayah)
  8. Anak laki-laki dari paman (sepupu)
  9. Laki-laki yang masih punya hubungan keluarga dekat
  10. Laki-laki yang tidak punya hubungan keluarga dekat
  11. Istri
  12. Wanita yang masih punya hubungan mahram

 

Untuk jenazah perempuan didahulukan:

  1. Wanita yang masih punya hubungan kerabat
  2. Wanita yang tidak punya hubungan kerabat
  3. Suami
  4. Laki-laki yang masih punya hubungan mahram

Catatan: Laki-laki lain tidak boleh memandikan jenazah perempuan.

 

Aturan siapa yang memandikan

 

  1. Disyaratkan untuk yang memandikan adalah muslim jika jenazah itu muslim.
  2. Jika jenazah itu kafir, maka kerabat yang kafir yang lebih berhak untuk memandikan, kemudian baru kerabat muslim.
  3. Si pembunuh jenazah tidak boleh memandikan jenazah. Ia tidak boleh memandikannya karena ia tidak berhak mendapatkan jatah waris.
  4. Jika tidak didapati untuk yang memandikan jenazah laki-laki selain perempuan bukan mahram, atau tidak didapati yang memandikan jenazah perempuan selain laki-laki yang bukan mahram, maka memandikan jenazah menjadi gugur. Cukup dengan tayamum untuk menggantikan mandi. Hal ini diqiyaskan seperti orang yang mandi yang tidak mendapati air.
  5. Jika ketika memandikan jenazah laki-laki muslim tidak didapati kecuali laki-laki kafir atau wanita bukan mahram, maka yang lebih layak mandikan adalah laki-laki kafir, lalu yang menyalatkannya adalah wanita muslimah tadi.
  6. Jika yang meninggal dunia itu orang kafir, maka boleh untuk kerabatnya yang muslim memandikan, mengafani, dan menguburkan jenazahnya.
  7. Anak kecil yang tidak mungkin ada syahwat padanya, maka boleh dimandikan oleh laki-laki atau pun perempuan karena ia boleh dipandang dan disentuh, terserah yang meninggal dunia adalah anak kecil laki-laki ataukah perempuan.
  8. Jika wanita kafir dzimmi dan ia memiliki suami muslim, maka suaminya boleh memandikan jenazahnya jika memang tidak ada wanita lain, karena nikah itu sama dengan nasab dalam hal memandikan.
  9. Jika seorang suami mentalak istrinya dengan talak bain, atau talak raj’iy, atau nikahnya faskh (batal), kemudian salah seorang dari mereka berdua meninggal dunia dalam masa ‘iddah, maka tidak boleh yang lain memandikannya, karena dalam hal mahram seperti wanita bukan mahram.

 

Aturan dalam memandikan jenazah

 

  1. Hendaklah yang memandikan jenazah itu amanat dan menutup aib yang dimandikan, dan ia tampakkan hanya bagus-bagus saja. Namun jika yang meninggal itu seorang yang fasik (ahli maksiat), maka sah seperti itu (membuka aib).
  2. Yang menghadiri proses memandikan hanyalah yang memandikan atau orang yang mesti membantu.
  3. Bagi wali dari jenazah boleh masuk dalam proses pemandian, walaupun ia tidak memandikan atau membantu memandikan. Tujuannya untuk menyemangati dalam maslahat.

 

Pembahasan ini kami sarikan dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhailiy.

 

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhailiy. Penerbit Darul Qalam.

 


 

Diselesaikan saat makan nasi goreng @ Pak Saripan Panggang Gunungkidul, Malam Senin, 26 Dzulqa’dah 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Satu Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button