Manhajus Salikin: Qadha’ Shalat yang Luput #02
Masih melanjutkan qadha’ shalat. Kali ini dibahas bagaimana kalau ada yang meninggalkan shalat dengan sengaja, apakah shalatnya perlu diqadha’?
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,
وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.”
Qadha’ Shalat Karena Tidur dan Lupa
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha:14). (HR. Muslim, no. 684)
Orang yang luput dari shalat karena tertidur atau lupa, maka tidak ada dosa untuknya, namun wajib baginya mengqadha’ shalat ketika ia bangun atau ketika ia ingat. Lihat penjelasan dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 111783.
Qadha’ Shalat yang Diperselisihkan Para Ulama
Ada qadha’ shalat yang para ulama perselisihkan wajibnya seperti:
- Meninggalkan shalat dengan sengaja
- Orang yang murtad
- Orang gila setelah ia sadar
- Orang yang pingsan
- Anak kecil ketika ia telah baligh
- Orang yang masuk Islam di negeri perang
- Orang yang shalat dalam keadaan tidak berthaharah karena tidak punya kemampuan
Qadha’ Shalat bagi yang Meninggalkannya dengan Sengaja
Menurut jumhur ulama tetap ada qadha’ bagi shalat yang ditinggalkan dengan sengaja. Namun, sebagian ulama berpandangan bahwa tidak wajib qadha’ bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Yang jelas orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja telah terjatuh dalam dosa besar. Kewajibannya adalah bertaubat kepada Allah yaitu menyesal, kembali lagi mengerjakan shalat, dan bertekad tidak akan meninggalkannya lagi pada masa akan datang. Hendaklah ia rajin mengerjakan pula amal shalih dan menutup kesalahannya dengan rajin mengerjakan shalat sunnah.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Adapun orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja sampai keluar waktunya, maka tidak ada qadha’ baginya selamanya. Hendaklah ia memperbanyak amalan kebaikan dan rajin mengerjakan shalat sunnah untuk memberatkan timbangannya pada hari kiamat. Hendaklah ia bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas kesalahan-Nya.” (Al-Muhalla, 2:235).
Pendapat yang menyatakan tidak perlu ada qadha’ juga menjadi pendapat ‘Umar bin Al-Khatthab, Ibnu ‘Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Salman, Ibnu Mas’ud, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Badil Al-‘Uqaili, Muhammad bin Sirin, Mutharrif bin ‘Abdillah, dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Pendapat ini juga dianut oleh Daud Az-Zahiriy, Ibnu Hazm, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta Asy-Syaukani. Ulama belakangan yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Di antara dalil yang menyatakan tidak ada qadha’ adalah karena waktu shalat sudah ada batasannya sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103). Berarti tidak boleh mengerjakan shalat di luar dari waktunya kecuali jika ada dalil.
Dalam Al-Muhalla (2:235) disebutkan bahwa karena Allah telah menetapkan waktu shalat punya batasan awal dan akhir, maka jika shalat tidak boleh dilakukan sebelum waktunya, maka tidak boleh dilakukan setelah waktunya habis.
Jangan Kira Sekadar Qadha’ Shalat Sudah Menghapuskan Dosa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-Sunnah (5:233) menyatakan bahwa ulama-ulama yang memerintahkan untuk mengqadha’ shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tidaklah mengatakan bahwa dengan qadha’ semata lantas dosa meninggalkan shalatnya jadi terhapus atau jadi ringan. Jika ia luput dari shalat hingga keluar waktu dan dilakukan dengan sengaja, maka tetap butuh untuk bertaubatsebagaimana dosa-dosa lainnya. Ia butuh memperbanyak kebaikan untuk menghapuskan kesalahannya atau menghapuskan hukumannya.
Masih berlanjut tentang masalah qadha’ shalat yang luput pada edisi berikutnya insya Allah.
Referensi:
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
- Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
- Fatwa Al–Islam Sual wa Jawab, https://islamqa.info/ar/answers/111783, oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com