Aqidah

Tsalatsatul Ushul: Allah Tidak Ridha pada Syirik

 

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah dalam Tsalatsatul Ushul berkata,

Kedua: Sesungguhnya Allah tidak ridha untuk disekutukan dengan sesuatu pun bersama-Nya dalam ibadah kepada-Nya, baik malaikat yang didekatkan ataupun Nabi yang diutus. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid adalah milik Allah, maka janganlah kamu berdoa kepada seorang pun bersama Allah.” (QS. Jin: 18)

 

Allah Tidak Ridha pada Perbuatan Syirik

 

Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah menyatakan bahwa Allah tidaklah ridha ada yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah, tidak dengan malaikat yang dekat dengan-Nya, tidak pula dengan nabi yang diutus, lebih-lebih pada makhluk lainnya. Jika Allah tidak ridha disekutukan dengan malaikat dan nabi tersebut padahal keduanya adalah makhluk yang mulia, maka tentu selain keduanya tidak pantas untuk disekutukan. Ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Allah itu bersendirian dalam hal mencipta, memberi rezeki, dan mengatur jagat raya, maka Dia yang berhak ditujukan ibadah daripada selain-Nya. Lihat Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 18.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Allah tidaklah meridhai kekufuran dan kesyirikan. Bahkan Allah mengutus para rasul dan Dia menurunkan kitab untuk memerangi kekafiran dan kesyirikan. … Kalau Allah tidak ridha pada keduanya, maka wajib bagi setiap mukmin untuk tidak meridhainya pula.” Lihat SyarhTsalatsah Al-Ushul, hlm. 34.

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa maksud ayat tersebut mencakup doa mas’alah dan doa ibadah. Karena di masjid dilakukan dua macam ibadah, yaitu doa berisi permintaan pada Allah (inilah yang dimaksud doa mas’alah) dan ibadah secara umum (inilah yang dimaksud doa ibadah). Sehingga maksud ayat di atas berisi larangan menujukan doa dan ibadah secara umum kepada selain Allah. Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 33-34.

 

Masjid Hanyalah Milik Allah

 

Dalam ayat yang dibawakan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab disebutkan,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid adalah milik Allah, maka janganlah kamu berdoa kepada seorang pun bersama Allah.” (QS. Jin: 18)

 

Ada empat penafsiran tentang “masjid” dalam ayat ini:

  1. Masjid adalah tempat shalat. Ketika Yahudi dan Nashrani masuk dalam tempat ibadah mereka, di dalamnya mereka berbuat syirik, maka Allah perintahkan kaum muslimin untuk memurnikan ibadah hanya untuk Allah ketika mereka memasuki masjid. Demikian kata Qatadah.
  2. Masjid yang dimaksud adalah anggota tubuh yang digunakan seseorang untuk sujud. Sehingga maknanya, janganlah sujud dengan anggota badan tersebut pada selain Allah. Pendapat kedua ini menjadi pendapat Sa’id bin Jubair.
  3. Makna masjid adalah seluruh tempat di muka bumi sebagaimana kata Al-Hasan Al-Bashri. Artinya, seluruh muka bumi adalah tempat sujud, maka janganlah sujud di tempat tersebut kepada selain Sang Khaliq, Allah Ta’ala.
  4. Masjid berarti sujud. Karenanya maknanya adalah sujudlah pada Allah saja, jangan sujud pada selain-Nya.

Empat tafsiran di atas disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaad Al-Masiir, 8:382-383.

Syaikh Ibnu Qasim rahimahullah menyatakan bahwa yang dimaksud masjid adalah tempat yang digunakan untuk shalat, beribadah kepada Allah, dan dzikir kepada-Nya. Juga yang dimaksud dengan masjid adalah anggota sujud. Sedangkan kalimat “maka janganlah kamu berdoa”, ini adalah larangan umum kepada seluruh makhluk dari manusia dan jin agar tidak berbuat syirik kepada Allah. Dalam ayat ada kata “ahadan” yang merupakan bentuk nakirah (dalam istilah Bahasa Arab), maka siapa saja tidak boleh dijadikan sekutu bagi Allah, baik itu yang ditujukan ibadah adalah berhala, wali, pohon, kubur, jin, atau selainnya. Berdoa kepada selain Allah adalah bentuk syirik akbar. Syirik akbar ini adalah dosa yang tidak bisa dimaafkan (jika dibawa mati), baru dimaafkan ketika bertaubat semasa hidup. Lihat Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 18.

 

Ingatlah Bahaya Syirik

 

Pertama: Syirik itu dosa nomor wahid

 

Ketahuilah bahwa syirik adalah dosa nomor wahid, sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar“.” (QS. Lukman: 13).

 

Kedua: Syirik itu dosa yang besar

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48).

 

Ketiga: Syirik itu menghapus amal

 

Jika seseorang berbuat syirik akbar (besar), seluruh amalannya bisa terhapus. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 88).

Dalam ayat lain disebutkan,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65).

Keempat: Dosa syirik yang dibawa mati tidak diampuni, beda halnya dengan dosa di bawah syirik yang dibawa mati

 

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah berkata, “Syirik adalah dosa yang amat besar karena Allah sampai mengatakan bahwa Dia tidak akan mengampuninya bagi siapa yang tidak bertaubat dari dosa syirik tersebut. Sedangkan dosa di bawah syirik, maka itu masih di bawah kehendak Allah. Jika Allah kehendaki ketika ia berjumpa dengan Allah, maka bisa diampuni. Jika tidak, maka ia akan disiksa. Jika demikian seharusnya seseorang begitu takut terhadap syirik karena besarnya dosa tersebut di sisi Allah.” (Fath Al-Majid, hlm. 85).

 

Kelima: Orang yang berbuat syirik pantas masuk neraka dan diharamkan masuk surga

 

Orang yang berbuat syirik akbar (syirik besar) pantas masuk neraka dan diharamkan surga untuknya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72).

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim, no. 93).

 

Referensi:

  1. Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul. Cetakan Tahun 1429 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-Hambali An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Malik Fahd.
  2. Fath Al-Majid. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.
  3. Syarh Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuhaa wa Al-Qawa’id Al-Arba’. Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan. Penerbit At-Taseel Al-Ilmi.
  4. Syarh Tsalatsah Al– Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsurayya.
  5. Syarh Tsalatsah Al– Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh. Penerbit Maktabah Dar Al-Hijaz.
  6. Zaad AlMasiir. Ibnul Jauzi. Al-Maktab Al-Islami.

Diselesaikan pada perjalanan Jogja – Ambon (Garuda), Jumat pagi, 24 Muharram 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button