Tsalatsatul Ushul: Pentingnya Belajar Tauhid
Kalau mau tahu pentingnya belajar tauhid, silakan ketahui dari keutamaan tauhid itu sendiri.
Pertemuan #02
Akidah
PENTINGNYA BELAJAR TAUHID
Kenapa penting belajar tauhid?
Ada delapan alasan:
Pertama:
Karena Allah menciptakan kita untuk mentauhidkan-Nya.
Dalam ayat disebutkan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Kata para ulama, maksud beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan Allah, berarti hanya beribadah kepada Allah semata, tidak boleh Allah disekutukan.
As-Sudi rahimahullah mengatakan bahwa ibadah itu ada yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat. Orang-orang musyrik mengenal Allah, tetapi tidak bermanfaat karena mereka masih menyekutukan Allah atau berbuat syirik. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:38)
Kedua:
Syarat masuk surga haruslah bertauhid.
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ ، أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ ، وَرُوحٌ مِنْهُ ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; begitu juga bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, serta kalimat-Nya (yaitu Allah menciptakan Isa dengan kalimat ‘kun’, -pen) yang disampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya; juga bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya; maka Allah akan memasukkan-Nya ke dalam surga apa pun amalnya.” (HR. Bukhari, no. 3435 dan Muslim, no. 28)
Dalam lafazh Muslim disebutkan,
أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ
“Allah akan memasukkannya ke pintu surga mana saja dari delapan pintu yang ia suka.”
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik kepada Allah, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim, no. 93)
Ketiga:
Tauhid adalah sebab dihapuskannya dosa (kesalahan).
Dalam hadits qudsi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau tidak berbuat syirik kepada-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Keempat:
Tauhid adalah sebab datangnya ketenangan.
Ketenangan ini bisa dengan tawakkal penuh kepada Allah dan itu adalah bentuk tauhid.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Orang yang bergantung kepada Allah akan mendapatkan ketenangan karena Allah akan tolong dan beri kecukupan, beda halnya kalau ia bergantung kepada manusia yang fakir.
Dalam hadits disebutkan,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
“Barangsiapa yang mencari rida Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari rida manusi, tetapi Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, no. 2414. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kelima:
Amalan tidaklah diterima sampai seseorang bertauhid.
Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah yang mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:201-202)
Keenam:
Tauhid sebab digandakannya kebaikan atau berlipatnya pahala.
Allah menyebutkan tentang sedekah,
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Ibnu Katsir menerangkan mengenai ayat “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki”, maksudnya adalah tergantung kepada keikhlasannya. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2:261)
Ketujuh:
Tauhid sebab hidayah dan rasa aman.
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82).
Ketika turun ayat tersebut, para sahabat pun menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata,
أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ
“Siapa yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata,
لَيْسَ هُوَ كَمَا تَظُنُّونَ إِنَّمَا هُوَ كَمَا قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ يَا بُنَىَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Itu bukan seperti yang kalian sangkakan. Yang dimaksud dengan zalim di situ adalah seperti perkataan Lukman kepada anaknya, “Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah karena syirik adalah kezaliman yang amat besar.“ (HR. Bukhari, no. 4776 dan Muslim, no. 124).
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan tentang surah Al-An’am ayat 82, “Mereka adalah orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah, tidak berbuat syirik kepada-Nya. Mereka tidak berbuat syirik sedikit pun. Balasannya, mereka mendapatkan rasa aman pada hari kiamat dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:569)
Kedelapan:
Tauhid adalah sebab mendapatkan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يا رسولَ اللهِ ، مَن أسعَدُ الناسِ بشَفاعتِك يومَ القيامةِ ؟ قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : لقد ظنَنتُ – يا أبا هُرَيرَةَ – أن لا يَسأَلَني عن هذا الحديثِ أحدٌ أولَ منك ، لمِا رأيتُ من حِرصِك على الحديثِ ، أسعَدُ الناسِ بشَفاعَتي يومَ القيامةِ ، مَن قال لا إلهَ إلا اللهُ ، خالصًا من قلبِه ، أو نفسِه.
“Katakanlah wahai Rasulullah, siapa yang berbahagia karena mendapat syafa’atmu pada hari kiamat kelak?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Abu Hurairah, aku merasa tidak ada yang bertanya kepadaku tentang hal ini selain engkau. Yang aku lihat, ini karena semangatmu mempelajari hadits. Yang berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya.” (HR. Bukhari, no. 99)
Semoga bermanfaat. Marilah rajin mempelajari tauhid. Semoga keutamaan di atas kita dapati.
Referensi:
- Syarh Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuhaa wa Al-Qawa’id Al-Arba’. Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan. Penerbit At-Taseel Al-Ilmi.
- Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid fii Syarh Kitab At-Tauhid. Cetakan kedua, Tahun 1429 H. Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab. Penerbit Ash-Shumai’i.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 28 Syawal 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com