Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Maimunah binti Al-Harits
Sekarang kita mengenal istri nabi yang paling terakhir dinikahi yaitu Maimunah binti Al-Harits. Total sudah 11 istri yang dikaji.
Beliau adalah Maimunah binti Al-Harits bin Hazn bin Bujair bin Al-Hazim bin Ruwaibah bin ‘Abdullah ibnu Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin ‘Ikrimah bin Hafsh bin Qais bin ‘Ailan bin Mudhar Al-Hilaliyah.
Nama asli Maimunah adalah Barrah, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Maimunah.
Nama ibu dari Maimunah adalah Hindun binti ‘Auf bin Zuhair bin Al-Harits bin Hamathah bin Jurasy (Ibnu Juraisy). Ibnu Hajar sendiri menyatakan bahwa nama ibunya adalah Khaulah binti ‘Auf Al-Qurasyiyyah. Sedangkan ibunya ini tidak diketahui keislamannya.
Maimunah sendiri adalah bibi (khalah) dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ibu dari Ibnu ‘Abbas adalah Ummul Fadhl Lubabah Al-Kubra yang merupakan saudara perempuan dari Maimunah.
Maimunah juga adalah bibi (khalah) dari Khalid bin Al-Walid. Ibu dari Khalid bin Al-Walid adalah Lubabah Ash-Shughra yang merupakan saudara perempuan dari Maimunah. Berarti Maimunah memiliki saudara-saudara perempuan yang luar biasa.
Maimunah sudah menjanda dua kali. Suami pertamanya adalah Mas’ud bin ‘Amr Ats-Tsaqafi. Ia bercerai dengan Maimunah. Suaminya ini tidak diketahui keislamannya. Suaminya yang kedua adalah Abu Ruhm bin ‘Abdul ‘Uzza bin Abi Qays bin Bani Malik bin Hisl bin ‘Amir bin Luay. Ia meninggal dunia dan membuat Maimunah menjanda. Juga suaminya yang kedua tidak diketahui keislamannya.
Adapun Maimunah menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Dzulqa’dah tahun ketujuh Hijriyah. Inilah pendapat jumhur ulama. Maimunah adalah istri terakhir yang dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pengaruh bagi kaumnya Bani Hilaliyah. Mereka berjuang menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maimunah dikenal sebagai seorang Mujahidah dan pemberani, ia ikut serta dalam peperangan untuk membantu pasukan-pasukan yang terluka dan sakit, seperti terjadi pada Perang Tabuk.
Maimunah meninggal dunia di Sarif, pada tahun 51 Hijriyah.
Pernikahan Maimunah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Madinah ingin berumrah ke Makkah pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam Hijriyah. Ketika Quraisy mengetahui hal ini mereka berusaha menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Makkah hingga terjadilah kesepakatan dalam perjanjian Hudaibiyah. Isi perjanjiannya agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda memasuki Makkah pada tahun berikutnya.
Di bulan Dzulqa’dah pada tahun ketujuh Hijriyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar lagi untuk berumrah. Beliau pun menyelesaikan umrahnya. Di saat berumrah tadi, beliau menikahi Maimunah binti Al-Harits. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ja’far bin ‘Abi Thalib kepada Maimunah untuk melamarnya. Sedangkan Maimunah sendiri memilih urusan nikahnya diwakili oleh saudara perempuannya yaitu Ummul Fadhl yang merupakan istri dari ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib. Dan pernikahan ini akhirnya diurus oleh ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menikahi Maimunah dengan mahar 400 dirham (sekitar 12 juta rupiah, pen). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi dan menggaulinya di daerah bernama Sarif, sekitar enam mil dari Makkah (1 mil = 1,6 KM).
Namun apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah ketika sedang berihram (muhrim)? Walau Ibnu ‘Abbas (keponakan Maimunah) menyatakan sendiri bahwa bibinya dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berihram (muhrim), yang tepat adalah dinikahi setelah halal. Pernyataan Ibnu ‘Abbas dianggap sebagai suatu wahm atau kebimbangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaad Al-Ma’ad, 1:109.
Ada yang menyebutkan bahwa Maimunah radhiyallahu ‘anha-lah yang menawarkan diri kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena prosesi lamaran Nabi berlangsung saat Maimunah berada di atas tunggangannya. Maimunah berkata, “Tunggangannya dan apa yang ada di atasnya (dirinya) adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat,
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50).
Keutamaan Maimunah binti Al-Harits
1- Maimunah sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bergaul baik dengan Maimunah.
Di antara buktinya diterangkan oleh keponakannya, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.” (HR. Muslim, no. 323)
Juga dalam hadits disebutkan pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَمَيْمُونَةَ كَانَا يَغْتَسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Maimunah mandi bersama dari satu bejana.” (HR. Bukhari, no. 253 dan Muslim, no. 322)
Dari hadits di atas ada pelajaran penting tentang hukum air musta’mal atau bekas bersuci.
Ibnul Mundzir dalam Al-Awsath mengatakan, “Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Begitu pula air musta’mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:519)
Bukti lagi kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Maimunah.
Dari Kuraib—bekas budak Ibnu ‘Abbas—menyatakan bahwa ia mendengar Maimunah berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَضْطَجِعُ مَعِى وَأَنَا حَائِضٌ وَبَيْنِى وَبَيْنَهُ ثَوْبٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring bersamaku dan aku dalam keadaan haidh. Ada selembar kain antaraku dengannya.” (HR. Muslim, no. 295)
2- Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaksikan ia beriman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memujinya dan saudari-saudarinya dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الأَخَوَاتُ مُؤْمِنَاتٌ: مَيْمُونَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ، وَأُمُّ الْفَضْلِ بنتُ الْحَارِثِ، وسَلْمَى امْرَأَةُ حَمْزَةَ، وَأَسْمَاءُ بنتُ عُمَيْسٍ هِيَ أُخْتُهُنَّ لأُمِّهِنَّ
“Perempuan-perempuan beriman yang bersaudara adalah Maimunah istri Nabi, Ummul Fadhl binti Al-Harits, Salma istrinya Hamzah (bin Abdul Muthalib), Asma binti Umais. Mereka semua saudara seibu.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat, 8:138; Ibnu Mandah dalam Al-Ma’rifah, 2:328:2, Al-Hakim, 3:32; Ibnu ‘Asakir dalam At-Tarikh, 1:239:2. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1764)
3- Maimunah rajin menjalin hubungan silaturahim.
Aisyah radhiyallahu ‘anhu sendiri mengakui Maimunah sebagai seseorang yang bertakwa dan rajin menjalin hubungan silaturahim. (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4:34. Ia katakan hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).
4- Maimunah dikenal berilmu dan fakih.
Keilmuannya dapat dinilai dari jumlah periwayatannya terhadap hadits. Maimunah meriwayatkan 76 hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Nawawi sendiri mengatakan ada 46 hadits, Imam Dzahabi mengatakan ada 13 hadits.
Hadits dari Maimunah dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim ada 13 hadits. Hadits yang muttafaqun ‘alaih (sepakat Bukhari – Muslim) ada tujuh hadits. Hadits yang diriwayatkan Bukhari saja ada satu hadits, sedangkan Muslim saja ada lima hadits.
Di antara kefakihannya dibuktikan lewat cerita Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ada seorang wanita yang sakit lantas ia menyatakan kalau Allah menyembuhkannya, ia akan shalat di Baitul Maqdis. Lantas ia sembuh dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke Baitul Maqdis. Maimunah—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—lantas mengucapkan salam kepadanya.Ia mengabarkan kepada Maimunah kepada maksudnya untuk ke Baitul Maqdis. Maimunah lantas berkata, ‘Duduklah, makanlah apa yang telah engkau buat. Cukuplah engkau shalat di Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ini karena sungguh aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ مَسْجِدَ الْكَعْبَةِ
‘Shalat di masjid ini (Masjid Nabawi) lebih afdal seibu kali dari shalat di masjid lainnya kecuali masjid yang ada Ka’bah (Masjidil Haram).’” (HR. Muslim, no. 1396)
5- Maimunah sangat mencintai kebaikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Maimunah, lalu beliau diceritakan oleh Maimunah bahwa ia telah memerdekakan seorang budak miliknya (tanpa izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya,
وَلَوْ وَصَلْتِ بَعْضَ أَخْوَالِكِ كَانَ أَعْظَمَ لأَجْرِكِ
“Jika engkau memberinya kepada sebagian pamanmu (keluargamu dari Bani Hilal, pen.), tentu pahalamu akan lebih besar.” (HR. Bukhari, no. 2592, 2594 dan Muslim, no. 999)
Semoga jadi pelajaran berharga dan bisa dicontoh. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
- Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Zaad Al-Ma’ad. Cetakan keempat, Tahun 1425 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
—
Disusun di Perpus Rumaysho, 9 Jumadal Ula, Jumat siang
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com