51 Keutamaan Dzikir
Dzikir merupakan amal ibadah yang paling mudah dilakukan, namun menyimpan keutamaan yang sangat besar. Ia adalah makanan hati, penyejuk jiwa, dan penghubung seorang hamba dengan Rabb-nya. Para ulama menjelaskan bahwa dalam dzikir terkandung ratusan manfaat yang mampu mengangkat derajat seorang muslim. Karena itu, siapa saja yang ingin hatinya hidup dan dekat dengan Allah ﷻ, hendaknya senantiasa membasahi lisannya dengan dzikir.
Berikut adalah keutamaan-keutamaan dzikir yang disarikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Al Wabilush Shoyyib. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
وَفِي الذِّكْرِ أَكْثَرُ مِنْ مِائَةِ فَائِدَةٍ
Lebih dari Seratus Faedah Dzikir
Di antara faedah dzikir yang sangat banyak itu adalah:
(إِحْدَاهَا) أَنَّهُ يَطْرُدُ الشَّيْطَانَ وَيَقْمَعُهُ وَيَكْسِرُهُ.
Pertama, dzikir dapat mengusir setan, melemahkan, dan menghancurkan kekuatannya.
[الثَّانِيَةُ]
أَنَّهُ يُرْضِي الرَّحْمٰنَ عَزَّ وَجَلَّ.
Kedua, dzikir mendatangkan keridaan Allah ﷻ.
[الثَّالِثَةُ]
أَنَّهُ يُزِيلُ الهَمَّ وَالغَمَّ عَنِ القَلْبِ.
Ketiga, dzikir mampu menghilangkan kekhawatiran pada masa akan datang (hamm) dan kesedihan saat ini (ghamm) dari hati.
[الرَّابِعَةُ]
أَنَّهُ يَجْلِبُ لِلْقَلْبِ الفَرَحَ وَالسُّرُورَ وَالبَسْطَ.
Keempat, dzikir membawa kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan bagi hati.
[الخَامِسَةُ]
أَنَّهُ يُقَوِّي القَلْبَ وَالبَدَنَ.
Kelima, dzikir menguatkan hati dan tubuh.
[السَّادِسَةُ]
يُنَوِّرُ الوَجْهَ وَالقَلْبَ.
Keenam, dzikir menjadikan wajah dan hati bercahaya.
[السَّابِعَةُ]
أَنَّهُ يَجْلِبُ الرِّزْقَ.
Ketujuh, dzikir mendatangkan rezeki.
[الثَّامِنَةُ]
أَنَّهُ يَكْسُو الذَّاكِرَ المَهَابَةَ وَالحَلَاوَةَ وَالنُّضْرَةَ.
Kedelapan, dzikir membuat orang yang melakukannya memiliki wibawa, pesona, dan keteduhan.
[التَّاسِعَةُ]
أَنَّهُ يُورِثُهُ المَحَبَّةَ الَّتِي هِيَ رُوحُ الإِسْلَامِ، وَقُطْبُ رَحَى الدِّينِ، وَمِدَارُ السَّعَادَةِ.
قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا، وَجَعَلَ سَبَبَ المَحَبَّةِ دَوَامَ الذِّكْرِ.
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنَالَ مَحَبَّةَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَلْهَجْ بِذِكْرِهِ، فَإِنَّهُ الدَّرْسُ وَالمُذَاكَرَةُ كَمَا أَنَّهُ بَابُ العِلْمِ، فَالذِّكْرُ بَابُ المَحَبَّةِ وَشَارِعُهَا الأَعْظَمُ وَصِرَاطُهَا الأَقْوَمُ.
Kesembilan, dzikir menumbuhkan rasa cinta, yang merupakan ruh Islam, poros agama, dan inti kebahagiaan. Allah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab, dan sebab tumbuhnya cinta kepada-Nya adalah dengan terus berdzikir.
Siapa saja yang ingin meraih cinta Allah ﷻ, hendaklah ia senantiasa basah lisannya dengan dzikir. Sebagaimana pengulangan pelajaran adalah kunci ilmu, maka dzikir adalah kunci cinta, jalan besarnya, dan jalan lurus menuju-Nya.
[العَاشِرَةُ]
أَنَّهُ يُورِثُهُ المُرَاقَبَةَ حَتَّى يُدْخِلَهُ فِي بَابِ الإِحْسَانِ، فَيَعْبُدُ اللهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، وَلا سَبِيلَ لِلْغَافِلِ عَنِ الذِّكْرِ إِلَى مَقَامِ الإِحْسَانِ، كَمَا لا سَبِيلَ لِلْقَاعِدِ إِلَى الوُصُولِ إِلَى البَيْتِ.
Kesepuluh, dzikir melahirkan sikap muraqabah (merasa diawasi Allah) hingga mengantarkan seseorang ke pintu ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Orang yang lalai dari dzikir tidak akan mungkin sampai pada derajat ihsan, sebagaimana orang yang hanya duduk tidak akan pernah sampai ke rumah tujuan.
[الحَادِيَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يُورِثُهُ الإِنَابَةَ، وَهِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَمَتَى أَكْثَرَ الرُّجُوعَ إِلَيْهِ بِذِكْرِهِ أَوْرَثَهُ ذٰلِكَ رُجُوعَهُ بِقَلْبِهِ إِلَيْهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ، فَيَبْقَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَفْزَعَهُ وَمَلْجَأَهُ، وَمَلَاذَهُ وَمَعَاذَهُ، وَقِبْلَةَ قَلْبِهِ وَمَهْرَبَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ وَالبَلَايَا.
Kesebelas, dzikir menumbuhkan sikap inābah, yaitu kembali kepada Allah ﷻ. Semakin banyak seseorang kembali kepada-Nya melalui dzikir, semakin membuatnya terbiasa menjadikan Allah sebagai tempat kembali hatinya dalam setiap keadaan. Allah menjadi pelindung, sandaran, tujuan, dan tempat ia mengadu di saat datangnya musibah dan ujian.
[الثَّانِيَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يُورِثُهُ القُرْبَ مِنْهُ، فَعَلَى قَدْرِ ذِكْرِهِ للهِ عَزَّ وَجَلَّ يَكُونُ قُرْبُهُ مِنْهُ، وَعَلَى قَدْرِ غَفْلَتِهِ يَكُونُ بُعْدُهُ مِنْهُ.
Kedua belas, dzikir mendekatkan hamba kepada Allah ﷻ. Sejauh mana ia berdzikir, sejauh itu pula kedekatannya. Sebaliknya, sejauh mana ia lalai, sejauh itu pula jaraknya dari Allah.
[الثَّالِثَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يَفْتَحُ لَهُ بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ المَعْرِفَةِ، وَكُلَّمَا أَكْثَرَ مِنَ الذِّكْرِ ازْدَادَ مِنَ المَعْرِفَةِ.
Ketiga belas, dzikir membuka pintu besar menuju ma‘rifah (pengenalan yang mendalam terhadap Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah pula ma‘rifah.
[الرَّابِعَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يُورِثُهُ الهَيْبَةَ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِجْلَالَهُ، لِشِدَّةِ اسْتِيلَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ وَحُضُورِهِ مَعَ اللهِ تَعَالَى. بِخِلافِ الغَافِلِ فَإِنَّ حِجَابَ الهَيْبَةِ رَقِيقٌ فِي قَلْبِهِ.
Keempat belas, dzikir menumbuhkan rasa haibah (kewibawaan batin) dan pengagungan terhadap Allah ﷻ, karena dzikir memenuhi hati dengan kehadiran-Nya. Sebaliknya, orang yang lalai tidak memiliki haibah dalam hatinya, bahkan tirai pengagungan terhadap Allah sangat tipis.
[الخَامِسَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يُورِثُهُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى لَهُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى:
﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ﴾ [البقرة: ١٥٢]
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذِّكْرِ إِلَّا هٰذِهِ وَحْدَهَا لَكَفَتْ فَضْلًا وَشَرَفًا.
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:
«مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ».
Kelima belas, dzikir mendatangkan balasan berupa Allah mengingat hamba-Nya. Allah ﷻ berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152)
Seandainya tidak ada keutamaan dzikir kecuali ini saja, tentu sudah cukup sebagai kemuliaan dan keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits qudsi dari Allah Ta‘ala:
«مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ»
“Siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan siapa yang mengingat-Ku di tengah sebuah kelompok, maka Aku akan mengingatnya di tengah kelompok yang lebih baik dari mereka.” (HR. Al-Bukhārī dan Muslim)
[السَّادِسَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يُورِثُ حَيَاةَ القَلْبِ. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللهُ تَعَالَى رُوحَهُ يَقُولُ:
Keenam belas, dzikir menghidupkan hati. Aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah mensucikan ruhnya – berkata:
«الذِّكْرُ لِلْقَلْبِ مِثْلُ المَاءِ لِلسَّمَكِ، فَكَيْفَ يَكُونُ حَالُ السَّمَكِ إِذَا فَارَقَ المَاءَ؟».
“Dzikir bagi hati itu laksana air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan jika ia berpisah dari airnya?”
[السَّابِعَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ قُوتُ القَلْبِ وَالرُّوحِ، فَإِذَا فَقَدَهُ العَبْدُ صَارَ بِمَنْزِلَةِ الجِسْمِ إِذَا حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قُوتِهِ.
Ketujuh belas, dzikir adalah makanan hati dan ruh. Jika hamba kehilangan dzikir, maka ia bagaikan tubuh yang kehilangan makanannya.
وَحَضَرْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ مَرَّةً، صَلَّى الفَجْرَ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى إِلَى قَرِيبٍ مِنِ انْتِصَافِ النَّهَارِ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ وَقَالَ:
«هٰذِهِ غَدْوَتِي، وَلَوْ لَمْ أَتَغَدَّ الغَدَاءَ سَقَطَتْ قُوَّتِي».
أَوْ كَلَامًا قَرِيبًا مِنْ هٰذَا.
Aku pernah hadir bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Suatu hari setelah salat Subuh, beliau duduk berdzikir kepada Allah hingga mendekati pertengahan siang. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata: “Inilah sarapan pagiku. Seandainya aku tidak sarapan seperti ini, pasti tenagaku melemah.”
وَقَالَ لِي مَرَّةً:
«لَا أَتْرُكُ الذِّكْرَ إِلَّا بِنِيَّةِ إِجْمَامِ نَفْسِي وَإِرَاحَتِهَا، لِأَسْتَعِدَّ بِتِلْكَ الرَّاحَةِ لِذِكْرٍ آخَرَ».
أَوْ كَلَامًا هٰذَا مَعْنَاهُ.
Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Aku tidak meninggalkan dzikir kecuali dengan niat memberi jeda dan istirahat pada diriku, agar dengan istirahat itu aku bisa lebih kuat untuk berdzikir kembali.” Atau ungkapan dengan makna yang serupa.
[الثَّامِنَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يُورِثُ جَلَاءَ القَلْبِ مِنْ صَدَائِهِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي الحَدِيثِ، وَكُلُّ شَيْءٍ لَهُ صَدَأٌ، وَصَدَأُ القَلْبِ الغَفْلَةُ وَالهَوَى، وَجَلَاؤُهُ الذِّكْرُ وَالتَّوْبَةُ وَالاسْتِغْفَارُ، وَقَدْ تَقَدَّمَ هٰذَا المَعْنَى.
Kedelapan belas, dzikir menjadikan hati bersih dari karatnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Setiap sesuatu pasti ada karatnya, dan karat hati adalah kelalaian serta hawa nafsu. Pembersihnya adalah dzikir, taubat, dan istighfar. Makna ini telah dijelaskan sebelumnya.
[التَّاسِعَةُ عَشْرَةَ]
أَنَّهُ يَحُطُّ الخَطَايَا وَيُذْهِبُهَا، فَإِنَّهُ مِنْ أَعْظَمِ الحَسَنَاتِ، وَالحَسَنَاتُ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ.
Kesembilan belas, dzikir menggugurkan dosa-dosa dan menghapusnya. Sebab, dzikir termasuk amalan paling agung, sementara Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus keburukan-keburukan.” (QS. Hūd [11]: 114)
[العِشْرُونَ]
أَنَّهُ يُزِيلُ الوَحْشَةَ بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، فَإِنَّ الغَافِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحْشَةٌ لَا تَزُولُ إِلَّا بِالذِّكْرِ.
Kedua puluh, dzikir menghilangkan rasa asing dan jauh antara hamba dengan Rabb-nya ﷻ. Orang yang lalai dari dzikir, antara dirinya dengan Allah terdapat jurang keterasingan yang tidak akan hilang kecuali dengan dzikir.
[الحَادِيَةُ وَالعِشْرُونَ]
أَنَّ مَا يَذْكُرُ بِهِ العَبْدُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ جَلَالِهِ وَتَسْبِيحِهِ وَتَحْمِيدِهِ يُذْكَرُ بِصَاحِبِهِ عِنْدَ الشِّدَّةِ.
فَقَدْ رَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي المُسْنَدِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ العَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ. أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟»
هٰذَا الحَدِيثُ أَوْ مَعْنَاهُ.
Kedua puluh satu, segala tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil yang diucapkan hamba dalam menyebut nama Allah ﷻ akan menjadi penyelamatnya di saat sulit. Imam Aḥmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ الْعَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ، أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟
“Sesungguhnya apa yang kalian sebut dari keagungan Allah ﷻ, berupa tahlil, takbir, dan tahmid, semuanya akan berputar di sekitar ‘Arsy, suaranya berdengung seperti dengungan lebah. Ia akan disebut-sebut bersama pelakunya. Maka tidakkah salah seorang dari kalian suka jika ia memiliki amal yang bisa membuatnya disebut-sebut (di sisi Allah)?” (HR. Aḥmad, atau semakna dengannya).
[الثَّانِيَةُ وَالْعِشْرُونَ]
أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَعَرَّفَ إِلَى اللهِ تَعَالَى بِذِكْرِهِ فِي الرَّخَاءِ عَرَفَهُ فِي الشِّدَّةِ، وَقَدْ جَاءَ أَثَرٌ مَعْنَاهُ أَنَّ الْعَبْدَ الْمُطِيعَ الذَّاكِرَ لِلَّهِ تَعَالَى إِذَا أَصَابَتْهُ شِدَّةٌ أَوْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى حَاجَةً قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ صَوْتٌ مَعْرُوفٌ، مِنْ عَبْدٍ مَعْرُوفٍ، وَالْغَافِلُ الْمُعْرِضُ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا دَعَاهُ وَسَأَلَهُ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ، صَوْتٌ مُنْكَرٌ، مِنْ عَبْدٍ مُنْكَرٍ.
Kedua puluh dua, seorang hamba yang membiasakan diri mengenal Allah Ta‘ālā dengan banyak berdzikir di waktu lapang, maka Allah akan mengenalnya di waktu sempit. Ada sebuah atsar yang menjelaskan bahwa seorang hamba yang taat dan banyak berdzikir, ketika ia tertimpa kesulitan atau memohon kepada Allah, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang dikenal, dari hamba yang dikenal.” Sebaliknya, orang yang lalai dan berpaling dari Allah, jika suatu saat ia berdoa dan memohon, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang asing, dari hamba yang asing.”
[الثَّالِثَةُ وَالْعِشْرُونَ]
أَنَّهُ يُنَجِّي مِنْ عَذَابِ اللهِ تَعَالَى، كَمَا قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَيُرْوَى مَرْفُوعًا:
«مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى».
Kedua puluh tiga, dzikir dapat menyelamatkan dari azab Allah Ta‘ālā. Sebagaimana perkataan Mu‘ādz radhiyallāhu ‘anhu—dan diriwayatkan pula secara marfū‘—:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى
“Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatu amalan yang lebih menyelamatkan dari azab Allah ‘Azza wa Jalla melebihi dzikir kepada Allah Ta‘ālā.”
[الرَّابِعَةُ وَالْعِشْرُونَ]
أَنَّهُ سَبَبُ تَنْزِيلِ السَّكِينَةِ، وَغَشْيَانِ الرَّحْمَةِ، وَحُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ بِالذَّاكِرِ كَمَا أَخْبَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Kedua puluh empat, dzikir menjadi sebab turunnya sakīnah (ketenangan jiwa), turunnya rahmat, serta dikelilinginya para ahli dzikir oleh malaikat, sebagaimana diberitakan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
[الْخَامِسَةُ وَالْعِشْرُونَ]
أَنَّهُ سَبَبُ اشْتِغَالِ اللِّسَانِ عَنِ الْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالْكَذِبِ وَالْفُحْشِ وَالْبَاطِلِ.
فَإِنَّ الْعَبْدَ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ.
فَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّمْ بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَذِكْرِ أَوَامِرِهِ تَكَلَّمَ بِهَذِهِ الْمُحَرَّمَاتِ أَوْ بَعْضِهَا، وَلَا سَبِيلَ إِلَى السَّلَامَةِ مِنْهَا الْبَتَّةَ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى.
وَالْمُشَاهَدَةُ وَالتَّجْرِبَةُ شَاهِدَانِ بِذَلِكَ، فَمَنْ عَوَّدَ لِسَانَهُ ذِكْرَ اللهِ صَانَ لِسَانَهُ عَنِ الْبَاطِلِ وَاللَّغْوِ، وَمَنْ يَبِسَ لِسَانُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى تَرَطَّبَ بِكُلِّ بَاطِلٍ وَلَغْوٍ وَفُحْشٍ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.
Kedua puluh lima, dzikir menjadi sebab terjaganya lisan dari ghibah, namimah, dusta, kata-kata keji, dan ucapan batil.
Sebab, manusia pasti berbicara. Jika ia tidak mengisi lisannya dengan dzikir kepada Allah dan menyebut perintah-perintah-Nya, maka lisannya akan terisi dengan kata-kata haram atau sebagian darinya. Tidak ada jalan selamat dari semua itu kecuali dengan dzikir kepada Allah.
Pengalaman nyata menjadi saksi: siapa yang membiasakan lisannya dengan dzikir, Allah akan memelihara lisannya dari ucapan batil dan sia-sia. Sebaliknya, siapa yang lisannya kering dari dzikir, maka lisannya akan basah dengan ucapan batil, sia-sia, dan kotor. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.
[السَّادِسَةُ وَالْعِشْرُونَ]
أَنَّ مَجَالِسَ الذِّكْرِ مَجَالِسُ الْمَلَائِكَةِ، وَمَجَالِسَ اللَّغْوِ وَالْغَفْلَةِ مَجَالِسُ الشَّيَاطِينِ.
فَلْيَتَخَيَّرِ الْعَبْدُ أَعْجَبَهُمَا إِلَيْهِ وَأَوْلَاهُمَا بِهِ، فَهُوَ مَعَ أَهْلِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.
Kedua puluh enam, majelis dzikir adalah majelis para malaikat. Sedangkan majelis sia-sia dan lalai adalah majelis para setan. Maka hendaknya seorang hamba memilih: majelis manakah yang lebih ia sukai dan lebih layak baginya. Karena di dunia ia akan bersama mereka, dan di akhirat pun ia akan dikumpulkan bersama mereka.
[السَّابِعَةُ وَالعِشْرُونَ]
أَنَّهُ يُسْعِدُ الذَّاكِرَ بِذِكْرِهِ وَيُسْعِدُ بِهِ جَلِيسَهُ، وَهٰذَا هُوَ المُبَارَكُ أَيْنَ مَا كَانَ.
وَالغَافِلُ وَاللَّاغِي يَشْقَى بِلَغْوِهِ وَغَفْلَتِهِ، وَيَشْقَى بِهِ مُجَالِسُهُ.
Kedua puluh tujuh, dzikir membahagiakan orang yang berdzikir dengan lisannya, dan kebahagiaan itu juga menular kepada orang yang duduk bersamanya. Inilah hakikat keberkahan; di mana pun ia berada, selalu membawa kebaikan. Sebaliknya, orang yang lalai dan suka berbicara sia-sia akan menjerumuskan dirinya dalam kesengsaraan karena kelalaiannya, dan orang yang duduk bersamanya pun ikut celaka karenanya.
[الثَّامِنَةُ وَالعِشْرُونَ]
أَنَّهُ يُؤمِّنُ العَبْدَ مِنَ الحَسْرَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ.
فَإِنَّ كُلَّ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُ العَبْدُ فِيهِ رَبَّهُ تَعَالَى كَانَ عَلَيْهِ حَسْرَةً وَتْرَةً يَوْمَ القِيَامَةِ.
Kedua puluh delapan, dzikir menyelamatkan seorang hamba dari penyesalan di Hari Kiamat. Sebab, setiap majelis yang kosong dari dzikir akan menjadi penyesalan bagi pelakunya di hari akhir.
[التَّاسِعَةُ وَالعِشْرُونَ]
أَنَّهُ مَعَ البُكَاءِ فِي الخَلْوَةِ سَبَبٌ لِإِظْلَالِ اللهِ تَعَالَى العَبْدَ يَوْمَ الحَرِّ الأَكْبَرِ فِي ظِلِّ عَرْشِهِ، وَالنَّاسُ فِي حَرِّ الشَّمْسِ قَدْ صَهَرَتْهُم فِي المَوْقِفِ.
وَهٰذَا الذَّاكِرُ مُسْتَظِلٌّ بِظِلِّ عَرْشِ الرَّحْمٰنِ عَزَّ وَجَلَّ.
Kedua puluh sembilan, dzikir yang disertai tangisan dalam kesendirian menjadi sebab Allah menaungi seorang hamba di bawah naungan ‘Arsy pada hari panas yang dahsyat. Saat manusia lainnya tersengat terik matahari yang membakar, orang yang berdzikir itu berada dalam naungan penuh rahmat.
[الثَّلَاثُونَ]
أَنَّ الاشْتِغَالَ بِهِ سَبَبٌ لِعَطَاءِ اللهِ لِلذَّاكِرِ أَفْضَلَ مَا يُعْطِي السَّائِلِينَ، فَفِي الحَدِيثِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ».
Ketiga puluh, orang yang sibuk dengan dzikir akan diberi oleh Allah karunia terbaik, lebih daripada apa yang Dia berikan kepada para peminta. Rasulullah ﷺ bersabda, meriwayatkan dari Rabb-nya: “Allah Ta‘ala berfirman: Barang siapa yang disibukkan dengan mengingat-Ku hingga lupa meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik, lebih baik daripada apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta.”
[الحَادِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ]
أَنَّهُ أَيْسَرُ العِبَادَاتِ، وَهُوَ مِنْ أَجَلِّهَا وَأَفْضَلِهَا، فَإِنَّ حَرَكَةَ اللِّسَانِ أَخَفُّ حَرَكَاتِ الجَوَارِحِ وَأَيْسَرُهَا، وَلَوْ تَحَرَّكَ عُضْوٌ مِنَ الإِنسَانِ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ بِقَدْرِ حَرَكَةِ لِسَانِهِ لَشَقَّ عَلَيْهِ غَايَةَ المَشَقَّةِ، بَلْ لَا يُمْكِنُهُ ذٰلِكَ.
Ketiga puluh satu, dzikir adalah ibadah yang paling mudah, tetapi termasuk yang paling agung dan utama. Gerakan lisan adalah gerakan anggota tubuh yang paling ringan. Seandainya ada satu anggota tubuh manusia yang bergerak sebanyak gerakan lisannya dalam sehari semalam, tentu ia akan merasa sangat berat, bahkan tidak mungkin sanggup melakukannya.
[الثَّانِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ]
أَنَّهُ غِرَاسُ الجَنَّةِ. فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لَقِيتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي إِبْرَاهِيمَ الخَلِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ، عَذْبَةُ المَاءِ، وَأَنَّهَا قِيعَانٌ، وَأَنَّ غِرَاسَهَا: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ».
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ.
وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ».
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Ketiga puluh dua, dzikir adalah tanaman surga. Dalam riwayat Tirmiżī, dari Abdullah bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada malam Isra’, aku bertemu dengan Ibrāhīm al-Khalīl ‘alaihis-salām. Ia berkata: Wahai Muhammad, sampaikan salam kepada umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya baik, airnya segar, dan ia masih berupa tanah lapang. Tanaman surga adalah bacaan: Subḥānallāh, walḥamdulillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar.”* (HR. at-Tirmiżī, hasan gharib)
Juga dalam riwayat at-Tirmiżī dari Jābir radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:“Siapa yang mengucapkan: Subḥānallāhi wa biḥamdih, maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.” (HR. at-Tirmiżī, hasan ṣaḥīḥ).
[الثَّالِثَةُ وَالثَّلَاثُونَ]
أَنَّ العَطَاءَ وَالفَضْلَ الَّذِي رُتِّبَ عَلَيْهِ لَمْ يُرَتَّبْ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ.
Ketiga puluh tiga, keutamaan dan pahala yang Allah tetapkan bagi dzikir tidak diberikan kepada amal lainnya.
فَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذٰلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ.
وَمَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ».
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, seratus kali dalam sehari, maka baginya pahala setara dengan memerdekakan sepuluh budak. Dicatat baginya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan itu menjadi benteng dari setan pada hari itu hingga sore. Tidak ada yang membawa amal lebih baik darinya kecuali orang yang mengamalkannya lebih banyak. Dan siapa yang mengucapkan: subḥānallāhi wa biḥamdih seratus kali dalam sehari, maka dihapus dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.”
وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لَأَنْ أَقُولَ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ لِلهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ».
Dalam Shahih Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat: subḥānallāh, wal-ḥamdu lillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar lebih aku cintai daripada seluruh yang disinari matahari.”
وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ أَوْ يُمْسِي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَصْبَحْتُ أُشْهِدُكَ، وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلَائِكَتَكَ، وَجَمِيعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ، أَعْتَقَ اللهُ رُبُعَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا مَرَّتَيْنِ أَعْتَقَ اللهُ نِصْفَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا ثَلَاثًا أَعْتَقَ اللهُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا أَرْبَعًا أَعْتَقَهُ اللهُ تَعَالَى مِنَ النَّارِ».
Dalam riwayat at-Tirmiżī dari Anas, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika pagi atau sore membaca doa: Allāhumma innī aṣbaḥtu usy’hiduka wa usy’hidu ḥamalata ‘arsyika wa malāikataka wa jamī‘a khalqika, annaka anta Allāh, lā ilāha illā anta, wa anna Muḥammadan ‘abduka wa rasūluka, maka Allah membebaskan seperempat dirinya dari api neraka. Jika membacanya dua kali, Allah membebaskan separuh dirinya dari neraka. Jika membacanya tiga kali, Allah membebaskan tiga perempat dirinya dari neraka. Jika membacanya empat kali, Allah membebaskannya seluruhnya dari api neraka.”
وَفِيهِ عَنْ ثَوْبَانَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي وَإِذَا أَصْبَحَ: رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا، كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُرْضِيَهُ».
Dalam riwayat Tirmiżī dari Tsaubān, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika sore atau pagi membaca doa: raḍītu billāhi rabban, wa bil-islāmi dīnan, wa bi-Muḥammadin ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama rasūlā, maka Allah benar-benar menjadikan keridaan baginya.”
وَفِي التِّرْمِذِيِّ:
«مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، بِيَدِهِ الخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ».
Dan dalam riwayat Tirmiżī pula: “Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu, yuḥyī wa yumītu, wa huwa ḥayyullā yamūtu, biyadihi al-khayru wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, maka Allah mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta dosa, dan mengangkatnya seribu ribu derajat.”
[الرَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ]
أَنَّ دَوَامَ ذِكْرِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُوجِبُ الأَمَانَ مِنْ نِسْيَانِهِ الَّذِي هُوَ سَبَبُ شَقَاءِ العَبْدِ فِي مَعَاشِهِ وَمَعَادِهِ، فَإِنَّ نِسْيَانَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُوجِبُ نِسْيَانَ نَفْسِهِ وَمَصَالِحِهَا.
قَالَ تَعَالَى:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ﴾ [الحشر: ١٩].
Ketiga puluh empat, dzikir yang terus-menerus menjadikan seorang hamba aman dari kelalaian kepada Allah. Padahal, melupakan Allah adalah sebab utama kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat.
Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ
“Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Ḥashr [59]: 19)
وَإِذَا نَسِيَ العَبْدُ نَفْسَهُ أَعْرَضَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْهَا فَهَلَكَتْ وَفَسَدَتْ وَلَا بُدَّ، كَمَنْ لَهُ زَرْعٌ أَوْ بُسْتَانٌ أَوْ مَاشِيَةٌ أَوْ غَيْرُ ذٰلِكَ مِمَّا صَلَاحُهُ وَفَلَاحُهُ بِتَعَاهُدِهِ وَالقِيَامِ عَلَيْهِ، فَأَهْمَلَهُ وَنَسِيَهُ وَاشْتَغَلَ عَنْهُ بِغَيْرِهِ وَضَيَّعَ مَصَالِحَهُ، فَإِنَّهُ يُفْسِدُ وَلَا بُدَّ.
Apabila seorang hamba melupakan dirinya sendiri, ia akan berpaling dari hal-hal yang menjadi maslahat dan kebaikannya. Ia sibuk dengan perkara lain, meninggalkan apa yang seharusnya ia jaga, hingga dirinya rusak dan binasa.
Keadaannya bagaikan orang yang memiliki ladang, kebun, atau ternak, yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada perawatan dan pemeliharaan. Namun, jika ia mengabaikan dan melupakannya, sibuk dengan urusan lain, serta meninggalkan kewajiban menjaganya, niscaya semuanya akan rusak dan hancur tanpa bisa dihindari.
هٰذَا مَعَ إِمْكَانِ قِيَامِ غَيْرِهِ مَقَامَهُ فِيهِ، فَكَيْفَ الظَّنُّ بِفَسَادِ نَفْسِهِ وَهَلَاكِهَا وَشَقَائِهَا إِذَا أَهْمَلَهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَعَطَّلَ مُرَاعَاتَهَا وَتَرَكَ القِيَامَ عَلَيْهَا بِمَا يُصْلِحُهَا؟ فَمَا شِئْتَ مِنْ فَسَادٍ وَهَلَاكٍ وَخَيْبَةٍ وَحِرْمَانٍ.
وَهٰذَا هُوَ الَّذِي صَارَ أَمْرُهُ كُلُّهُ فَرَطًا، فَانْفَرَطَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَضَاعَتْ مَصَالِحُهُ، وَأَحَاطَتْ بِهِ أَسْبَابُ القُطُوعِ وَالخَيْبَةِ وَالهَلَاكِ.
Padahal, untuk urusan kebun, ladang, atau ternak, masih mungkin orang lain menggantikannya merawat dan memperbaikinya. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri? Jika ia mengabaikan jiwanya, melupakannya, sibuk dengan urusan lain, meninggalkan pemeliharaan hati, dan tidak menegakkan hal-hal yang bisa memperbaikinya, maka kehancuran, kesengsaraan, dan kerugian pasti menimpanya.
Inilah orang yang seluruh urusannya berantakan. Hidupnya tercerai-berai, maslahatnya hilang, dan berbagai sebab kehancuran, kebinasaan, serta kegagalan mengelilinginya dari segala sisi.
وَلَا سَبِيلَ إِلَى الأَمَانِ مِنْ ذٰلِكَ إِلَّا بِدَوَامِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَاللَّهْجِ بِهِ، وَأَنْ لَا يَزَالَ اللِّسَانُ رَطْبًا بِهِ، وَأَنْ يَتَوَلَّى مَنْزِلَةَ حَيَاتِهِ الَّتِي لَا غِنَى لَهُ عَنْهَا، وَمَنْزِلَةَ غِذَائِهِ الَّذِي إِذَا فَقَدَهُ فَسَدَ جِسْمُهُ وَهَلَكَ، وَبِمَنْزِلَةِ المَاءِ عِنْدَ شِدَّةِ العَطَشِ، وَبِمَنْزِلَةِ اللِّبَاسِ فِي الحَرِّ وَالبَرْدِ، وَبِمَنْزِلَةِ الكِنِّ فِي شِدَّةِ الشِّتَاءِ وَالسَّمُومِ.
Tidak ada jalan keselamatan dari kerusakan itu kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepada Allah dan membasahi lisan dengan menyebut nama-Nya. Dzikir harus ditempatkan pada posisi yang sangat penting—seperti kehidupan yang tak mungkin ditinggalkan, seperti makanan yang jika hilang membuat tubuh rusak dan binasa, seperti air bagi orang yang sangat haus, seperti pakaian di tengah panas dan dingin, serta seperti tempat berlindung saat musim dingin yang menusuk atau angin panas yang menyengat.
فَحَقِيقٌ بِالعَبْدِ أَنْ يُنَزِّلَ ذِكْرَ اللهِ مِنْهُ بِهَذِهِ المَنْزِلَةِ وَأَعْظَمَ. فَأَيْنَ هَلَاكُ الرُّوحِ وَالقَلْبِ وَفَسَادُهُمَا مِنْ هَلَاكِ البَدَنِ وَفَسَادِهِ؟ هٰذَا هَلَاكٌ لَا بُدَّ مِنْهُ وَقَدْ يَعْقُبُهُ صَلَاحٌ لَا بُدَّ. وَأَمَّا هَلَاكُ القَلْبِ وَالرُّوحِ فَهَلَاكٌ لَا يُرْجَى مَعَهُ صَلَاحٌ وَلَا فَلَاحٌ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ.
فِي فَوَائِدِ الذِّكْرِ وَإِدَامَتِهِ: لَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا هٰذِهِ الفَائِدَةُ وَحْدَهَا لَكَفَتْ. فَمَنْ نَسِيَ اللهَ تَعَالَى أَنْسَاهُ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا وَنَسِيَهُ فِي العَذَابِ يَوْمَ القِيَامَةِ.
قَالَ تَعَالَى:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى * قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا * قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى﴾ [طه: ١٢٤-١٢٦].
أَيْ: تُنْسَى فِي العَذَابِ كَمَا نَسِيتَ آيَاتِي فَلَمْ تَذْكُرْهَا وَلَمْ تَعْمَلْ بِهَا.
Maka sudah sepantasnya seorang hamba menempatkan dzikir pada posisi yang sangat penting, bahkan lebih tinggi lagi. Sebab, kerusakan hati dan ruh jauh lebih berbahaya dibanding kerusakan tubuh. Rusaknya tubuh adalah sesuatu yang pasti, namun sering kali setelah itu datang perbaikan. Adapun rusaknya hati dan ruh, itu adalah kerusakan yang tidak ada harapan lagi untuk diperbaiki dan tidak membawa keberuntungan sedikit pun. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.
Dalam faedah dzikir yang terus-menerus, seandainya hanya ada satu manfaat ini saja, sebenarnya sudah cukup: barang siapa melupakan Allah, maka Allah akan membuatnya lupa kepada dirinya sendiri di dunia, dan pada Hari Kiamat Allah pun akan melupakannya di dalam azab.
Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan kumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata: Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu dapat melihat? Allah berfirman: Demikianlah, ayat-ayat Kami telah datang kepadamu, lalu kamu melupakannya; maka pada hari ini kamu pun dilupakan (diabaikan dalam azab).” (QS. Ṭāhā [20]: 124–126). Yakni, seseorang akan ditinggalkan di dalam azab, sebagaimana dahulu ia melupakan ayat-ayat Allah, tidak mengingatnya, dan tidak mengamalkannya.
وَإِعْرَاضُهُ عَنْ ذِكْرِهِ يَتَنَاوَلُ إِعْرَاضَهُ عَنِ الذِّكْرِ الَّذِي أَنْزَلَهُ، وَهُوَ أَنْ يَذْكُرَ الَّذِي أَنْزَلَهُ فِي كِتَابِهِ، وَهُوَ المُرَادُ بِتَنَاوُلِ إِعْرَاضِهِ عَنْ أَنْ يَذْكُرَ رَبَّهُ بِكِتَابِهِ وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ وَآلَائِهِ وَنِعَمِهِ. فَإِنَّ هٰذِهِ كُلَّهَا تَوَابِعُ إِعْرَاضِهِ عَنْ كِتَابِ رَبِّهِ تَعَالَى.
فَإِنَّ الذِّكْرَ فِي الآيَةِ إِمَّا مَصْدَرٌ مُضَافٌ إِلَى الفَاعِلِ، أَوْ مُضَافٌ إِضَافَةَ الأَسْمَاءِ المَحْضَةِ. أَعْرَضَ عَنْ كِتَابِي وَلَمْ يَتْلُهُ وَلَمْ يَتَدَبَّرْهُ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ وَلَا فَهِمَهُ، فَإِنَّ حَيَاتَهُ وَمَعِيشَتَهُ لَا تَكُونُ إِلَّا مُضَيَّقَةً عَلَيْهِ مُنَكَّدَةً مُعَذَّبًا فِيهَا.
Berpaling dari dzikir mencakup juga berpaling dari dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Qur’an. Maksudnya, ia berpaling dari mengingat Allah dengan Kitab-Nya, dengan nama-nama dan sifat-Nya, dengan perintah-perintah-Nya, serta dengan nikmat dan karunia-Nya. Semua itu pada hakikatnya kembali kepada sikap berpaling dari Kitab Allah ﷻ.
Kata dzikir dalam ayat bisa dipahami sebagai mashdar yang disandarkan kepada pelakunya, atau sebagai isim yang bermakna Kitab (Al-Qur’an). Artinya, ia berpaling dari Kitab-Ku: tidak membacanya, tidak mentadabburinya, tidak mengamalkannya, dan tidak berusaha memahaminya. Maka kehidupannya pun tidak akan pernah lapang; justru sempit, penuh kesulitan, dan sengsara.
وَالدُّنْكُ: الضِّيقُ وَالشِّدَّةُ وَالبَلَاءُ.
وَوَصْفُ المَعِيشَةِ نَفْسِهَا بِالدُّنْكِ مُبَالَغَةٌ. وَفُسِّرَتْ هٰذِهِ المَعِيشَةُ بِعَذَابِ البَرْزَخِ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا تَتَنَاوَلُ مَعِيشَتَهُ فِي الدُّنْيَا وَحَالَهُ فِي البَرْزَخِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي دُنْكٍ فِي الدَّارَيْنِ، وَهُوَ شِدَّةٌ وَجَهْدٌ وَضِيقٌ.
وَفِي الآخِرَةِ تُنْسَى فِي العَذَابِ.
Kata ḍank dalam ayat berarti kesempitan, kesulitan, dan ujian yang berat. Allah bahkan menyifati kehidupan itu sendiri sebagai ḍank, sebuah bentuk penekanan yang kuat. Sebagian ahli tafsir menafsirkannya sebagai azab kubur, namun pendapat yang benar: ia mencakup kehidupan di dunia sekaligus di alam barzakh. Hidupnya akan sempit di dua alam tersebut—penuh dengan kesulitan, penderitaan, dan kesengsaraan. Sedangkan di akhirat, ia akan dibiarkan (dilupakan) di dalam azab.
وَهٰذَا عَكْسُ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَالفَلَاحِ، فَإِنَّ حَيَاتَهُمْ فِي الدُّنْيَا أَطْيَبُ الحَيَاةِ، وَلَهُمْ فِي البَرْزَخِ وَفِي الآخِرَةِ أَفْضَلُ الثَّوَابِ.
قَالَ تَعَالَى:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً﴾ فَهٰذَا فِي الدُّنْيَا.
ثُمَّ قَالَ: ﴿وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ فَهٰذَا فِي البَرْزَخِ وَالآخِرَةِ.
Keadaan ini berbanding terbalik dengan nasib orang-orang yang berbahagia. Hidup mereka di dunia adalah kehidupan yang paling baik, kemudian di alam barzakh dan akhirat kelak mereka mendapatkan pahala terbaik. Allah ﷻ berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barang siapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. an-Naḥl [16]: 97)
Ayat ini berbicara tentang kehidupan di dunia. Kemudian Allah berfirman:
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan sungguh Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Naḥl [16]: 97)
Ayat ini mencakup pahala di alam barzakh dan di akhirat.
—
(35) dzikir adalah cahaya bagi pemiliknya di dunia, kubur, dan hari berbangkit.
(36) dzikir adalah ro’sul umuur (inti segala perkara). Siapa yang dibukakan baginya kemudahan dzikir, maka ia akan memperoleh berbagai kebaikan. Siapa yang luput dari pintu ini, maka luputlah ia dari berbagai kebaikan.
(37) dzikir akan memperingatkan hati yang tertidur lelap. Hati bisa jadi sadar dengan dzikir.
(38) orang yang berdzikir akan semakin dekat dengan Allah dan bersama dengan-Nya. Kebersamaan di sini adalah dengan kebersamaan yang khusus, bukan hanya sekedar Allah itu bersama dalam arti mengetahui atau meliputi. Namun kebersamaan ini menjadikan lebih dekat, mendapatkan perwalian, cinta, pertolongan dan taufik Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl: 128)
وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 249)
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69)
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At Taubah: 40)
(39) dzikir itu dapat menyamai seseorang yang memerdekakan budak, menafkahkan harta, dan menunggang kuda di jalan Allah, serta juga dapat menyamai seseorang yang berperang dengan pedang di jalan Allah.
Sebagaimana terdapat dalam hadits,
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ
“Barangsiapa yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku, wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syain qodiir dalam sehari sebanyak 100 kali, maka itu seperti memerdekakan 10 budak.”[1]
(40) dzikir adalah inti dari bersyukur. Tidaklah bersyukur pada Allah Ta’ala orang yang enggan berdzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Mu’adz,
« يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ ». فَقَالَ « أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ »
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu. Demi Allah, aku mencintaimu.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menasehatkan kepadamu –wahai Mu’adz-, janganlah engkau tinggalkan di setiap akhir shalat bacaan ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah tolonglah aku untuk berdzikir dan bersyukur serta beribadah yang baik pada-Mu).”[2] Dalam hadits ini digabungkan antara dzikir dan syukur. Begitu pula Allah Ta’ala menggabungkan antara keduanya dalam firman Allah Ta’ala,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah: 152). Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan dzikir dan syukur merupakan jalan untuk meraih bahagia dan keberuntungan.
(41) makhluk yang paling mulia adalah yang bertakwa yang lisannya selalu basah dengan dzikir pada Allah. Orang seperti inilah yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Ia pun menjadikan dzikir sebagai syi’arnya.
(42) hati itu ada yang keras dan meleburnya dengan berdzikir pada Allah. Oleh karena itu, siapa yang ingin hatinya yang keras itu sembuh, maka berdzikirlah pada Allah.
Ada yang berkata kepada Al Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan padamu akan kerasnya hatiku.” Al Hasan berkata, “Lembutkanlah dengan dzikir pada Allah.”
Karena hati ketika semakin lalai, maka semakin keras hati tersebut. Jika seseorang berdzikir pada Allah, lelehlah kekerasan hati tersebut sebagaimana timah itu meleleh dengan api. Maka kerasnya hati akan meleleh semisal itu, yaitu dengan dzikir pada Allah ‘azza wa jalla.
(43) dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati. Obat hati yang sakit adalah dengan berdzikir pada Allah.
Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”
(44) tidak ada sesuatu yang membuat seseorang mudah meraih nikmat Allah dan selamat dari murka-Nya selain dzikir pada Allah. Jadi dzikir adalah sebab datangnya dan tertolaknya murka Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7). Dzikir adalah inti syukur sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan syukur akan mendatangkan nikmat dan semakin bersyukur akan membuat nikmat semakin bertambah.
(45) dzikir menyebabkan datangnya shalawat Allah dan malaikatnya bagi orang yang berdzikir. Dan siapa saja yang mendapat shalawat (pujian) Allah dan malaikat, sungguh ia telah mendapatkan keuntungan yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (41) وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (42) هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا (43)
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab: 41-43)
(46) dzikir kepada Allah adalah pertolongan besar agar seseorang mudah melakukan ketaatan. Karena Allah-lah yang menjadikan hamba mencintai amalan taat tersebut, Dia-lah yang memudahkannya dan menjadikan terasa nikmat melakukannya. Begitu pula Allah yang menjadikan amalan tersebut sebagai penyejuk mata, terasa nikmat dan ada rasa gembira. Orang yang rajin berdzikir tidak akan mendapati kesulitan dan rasa berat ketika melakukan amalan taat tersebut, berbeda halnya dengan orang yang lalai dari dzikir. Demikianlah banyak bukti yang menjadi saksi akan hal ini.
(47) dzikir pada Allah akan menjadikan kesulitan itu menjadi mudah, suatu yang terasa jadi beban berat akan menjadi ringan, kesulitan pun akan mendapatkan jalan keluar. Dzikir pada Allah benar-benar mendatangkan kelapangan setelah sebelumnya tertimpa kesulitan.
(48) dzikir pada Allah akan menghilangkan rasa takut yang ada pada jiwa dan ketenangan akan selalu diraih. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir akan selalu merasa takut dan tidak pernah merasakan rasa aman.
(49) dzikir akan memberikan seseorang kekuatan sampai-sampai ia bisa melakukan hal yang menakjubkan. Itulah karena disertai dengan dzikir. Contohnya adalah Ibnu Taimiyah yang sangat menakjubkan dalam perkataan, tulisannya, dan kekuatannya. Tulisan Ibnu Taimiyah yang ia susun sehari sama halnya dengan seseorang yang menulis dengan menyalin tulisan selama seminggu atau lebih. Begitu pula di medan peperangan, beliau terkenal sangat kuat. Inilah suatu hal yang menakjubkan dari orang yang rajin berdzikir.
(50) orang yang senantiasa berdzikir ketika berada di jalan, di rumah, di lahan yang hijau, ketika safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, gunung dan tanah, akan menjadi saksi bagi seseorang di hari kiamat. Kita dapat melihat hal ini pada firman Allah Ta’ala,
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5)
(51) jika seseorang menyibukkan diri dengan dzikir, maka ia akan terlalaikan dari perkataan yang batil seperti ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), perkataan sia-sia, memuji-muji manusia, dan mencela manusia. Karena lisan sama sekali tidak bisa diam. Lisan boleh jadi adalah lisan yang rajin berdzikir dan boleh jadi adalah lisan yang lalai. Kondisi lisan adalah salah satu di antara dua kondisi tadi. Ingatlah bahwa jiwa jika tidak tersibukkan dengan kebenaran, maka pasti akan tersibukkan dengan hal yang sia-sia.[3]
Dzikir itu Menenangkan Hati
Di antara faedah besar dari dzikir adalah menenangkan hati. Allah Ta‘ālā berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)
Dzikir juga menjadi tanda hidupnya hati seseorang. Dalam hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-nya dengan orang yang tidak berdzikir, bagaikan orang hidup dengan orang mati.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Dzikir juga merupakan sarana membersihkan hati. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا جِلَاؤُهَا؟ قَالَ: كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya hati ini berkarat sebagaimana besi berkarat ketika terkena air.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah penghapus karatnya?” Beliau menjawab, “Banyak mengingat mati dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqī)
Hadirkan Hati Ketika Berdzikir
Para ulama menegaskan bahwa dzikir terbaik adalah dzikir dengan lisan yang disertai hadirnya hati. Jika hanya lisan yang bergerak sementara hati lalai, maka itu berada pada tingkatan dzikir paling rendah.
An-Nafrawī menukil dari al-Qāḍī ‘Iyāḍ bahwa dzikir ada dua macam: dzikir dengan hati saja, dan dzikir dengan lisan bersama hati. Dzikir dengan hati terbagi dua:
- Dzikir berupa tadabbur dan tafakkur terhadap kebesaran Allah, keagungan-Nya, tanda-tanda-Nya, dan ciptaan-Nya yang ada di langit maupun bumi. Inilah dzikir yang paling tinggi dan paling agung.
- Mengingat Allah dengan cara menghadirkan-Nya dalam hati ketika berhadapan dengan perintah dan larangan-Nya.
Yang pertama lebih utama daripada yang kedua. Sedangkan yang kedua lebih utama dibandingkan dzikir dengan lisan yang disertai hati. Adapun dzikir dengan lisan saja tanpa hati, itu adalah tingkatan paling rendah, meskipun tetap ada pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Dari sini jelas, wahai saudaraku, bahwa dzikir dengan lisan saja sementara hati sibuk dengan hal lain—seperti membicarakan obrolan teman atau berita dunia—maka pelakunya tetap mendapat pahala karena lisannya dipenuhi dzikir kepada Allah Ta‘ālā, tetapi tidak akan menyamai derajat orang yang menggabungkan antara dzikir lisan dan hati sekaligus.
Adapun terkait melanjutkan dzikir setelah ada pemutus (terhenti sejenak), hal ini dirinci. Jika dzikir tersebut telah ditentukan jumlahnya dalam syariat, seperti dzikir setelah shalat fardhu, maka tidak mengapa melanjutkannya dari hitungan sebelumnya. Namun jika syariat tidak menentukan jumlahnya, maka menetapkan bilangan tertentu tidak dianjurkan, karena dapat mengarah pada bid‘ah dan membuat-buat dalam agama yang tidak ada tuntunannya.
Makna Dzikir
Dzikir memiliki makna yang luas, mencakup dua sisi:
a) Makna umum
Dzikir dalam makna umum meliputi seluruh bentuk ibadah, seperti shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, memuji Allah, berdoa, bertasbih, bertahmid, mengagungkan Allah, dan berbagai ketaatan lainnya. Semua ibadah itu pada hakikatnya ditegakkan untuk mengingat Allah, menaati-Nya, dan beribadah kepada-Nya.
Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata:
كُلُّ مَا تَكَلَّمَ بِهِ اللِّسَانُ، وَتَصَوَّرَهُ الْقَلْبُ مِمَّا يُقَرِّبُ إِلَى اللهِ مِنْ تَعَلُّمِ عِلْمٍ، وَتَعْلِيمِهِ، وَأَمْرٍ بِمَعْرُوفٍ، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ، فَهُوَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ
“Segala sesuatu yang diucapkan oleh lisan dan dihadirkan oleh hati yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti belajar ilmu, mengajarkannya, amar ma‘ruf, dan nahi munkar, maka itu termasuk dzikir kepada Allah.”
b) Makna khusus
Dzikir dalam makna khusus adalah menyebut Allah ‘Azza wa Jalla dengan lafaz yang bersumber dari Allah—seperti membaca Al-Qur’an—atau lafaz yang datang melalui lisan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang di dalamnya terdapat pengagungan, penyucian, pemuliaan, dan peneguhan tauhid kepada Allah. Makna inilah yang dimaksud dalam sunnah ketika berbicara tentang dzikir.
Dzikir yang paling agung adalah membaca Kitab Allah Ta‘ālā. Beribadah dengan membaca Al-Qur’an telah membuat mata para salaf sulit terpejam dan membuat mereka rela meninggalkan tidur nyenyak. Allah berfirman:
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan pada waktu sahur, mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS. adz-Dzāriyāt: 18)
Para salaf mengisi malam mereka dengan membaca Kitab Allah Ta‘ālā dan melantunkan dzikir-dzikir yang bersumber dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka sungguh, alangkah mulianya malam yang dihidupkan oleh mereka dengan ibadah. Sementara kita, betapa besar kerugian kita, betapa banyak kelalaian kita, dan betapa besar keteledoran kita dalam memanfaatkan malam dan waktu sahur! Semoga malam-malam kita selamat dari maksiat kepada Rabb kita, kecuali bagi yang dirahmati Allah Ta‘ālā.
Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad
Seorang hamba hendaknya bersemangat berdzikir kepada Allah Ta‘ālā dengan hati dan lisannya sekaligus. Inilah keadaan yang paling sempurna. Adapun dzikir hanya dengan lisan saja tanpa kehadiran hati, maka itu termasuk keadaan yang kurang. Sebab, ada sebagian orang yang ketika berdzikir tidak merasakan apa yang ia ucapkan. Lisannya memang bergerak, tetapi hatinya tidak ikut hidup. Seandainya hatinya ikut berdzikir, merenungi maknanya, tentu imannya akan bertambah dan hatinya akan lebih lembut.
Wahai saudaraku yang diberkahi Allah, ketahuilah juga bahwa dzikir ditinjau dari tempat atau waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua: dzikir muqayyad dan dzikir mutlak.
- Dzikir muqayyad adalah dzikir yang dibatasi oleh tempat, waktu, atau keadaan tertentu.
- Dzikir mutlak adalah dzikir yang tidak dibatasi oleh salah satu dari hal tersebut, melainkan bisa dilakukan kapan saja sepanjang hari.
Contohnya, dzikir setelah shalat fardhu, dzikir setelah adzan, atau dzikir lain yang diajarkan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pada waktu dan tempat tertentu. Semua dzikir muqayyad ini lebih utama dibandingkan dzikir mutlak, karena di dalamnya ada unsur mengikuti sunnah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Maka jika seseorang selesai dari shalat wajib, dzikir yang paling utama baginya adalah membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat. Ia tidak menggantinya dengan dzikir lain, meskipun dzikir itu juga utama, seperti membaca Al-Qur’an. Sebab, demikianlah yang dilakukan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kebaikan yang sempurna adalah dengan meneladani beliau.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
—
Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (20/03/2011), direvisi 12 September 2025 di Gunungkidul
Baca Juga:
- Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah
- Yang Sering Menjadi Pertanyaan Seputar Dzikir Pagi Petang
[1] HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691
[2] HR. Abu Daud no. 1522, An Nasai no. 1303, dan Ahmad 5/244. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[3] Disarikan dari Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, tahqiq: ‘Abdurrahman bin Hasan bin Qoid, terbitan Dar ‘Alam Al Fawaid, 94-198.