Keluarga

Risalah Talak (1), Hukum dan Macam Talak

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Di saat zaman semakin jauh dari ilmu. Di saat ilmu diin tidak lagi menjadi perhatian, berbagai hukum pun menjadi rancu dan samar. Salah satunya dalam masalah perceraian antara suami istri. Tidak sedikit kaum muslimin yang blank akan hukum seputar talak. Sehingga sebagian suami begitu entengnya mengeluarkan kata talak dari lisannya. Ia seolah-olah tidak sadar bahwa hal itu sudah dihukumi jatuh talak. Itulah karena amalan dan lisan tidak didasarkan atas ilmu. Terjadilah kerusakan tanpa ia sadari. Oleh karena itu, berlatar belakang hal ini, rumaysho.com berusaha menyusun risalah ringkas mengenai talak (perceraian) yang moga bermanfaat bagi rumah tangga kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkanlah dan tolong kami dalam urusan ini).

Pengertian Talak

Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.

Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.[1]

Dalil Dibolehkannya Talak

Allah Ta’ala berfirman,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wajalla.”[2]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.[3]

Kritik Hadits

Adapun hadits yang berbunyi,

أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ

Perkara HALAL yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.[4] Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilai dho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi[5], Syaikh Al Albani[6], dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi[7].

Hukum Talak

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”

Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.

Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.

Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin  lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).

Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.

Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.[8]

Macam Talak: Talak Sunni dan Talak Bid’i

Sebagian ulama membagi talak menjadi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid’i.

Talak sunni adalah talak yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri ketika istri dalam keadaan suci (bukan masa haidh) dan belum disetubuhi.[9]

Talak bid’i adala talak yang menyelisihi petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri di saat istri dalam keadaan haidh atau mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi.[10]

***

Insya Allah risalah talak ini masih berlanjut pada serial berikutnya. Moga menjadi ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Panggang-GK, 25 Shafar 1432 H (29/01/2011)

www.rumaysho.com


[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darul Ma’rifah, 1379, 9/346.

[2] HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471.

[3] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki, Dr. ‘Abdul Fattah Muhammad Al Halawi, Dar ‘Alam Al Kutub, 10/323

[4] HR. Abu Daud no. 2178, Ibnu Majah no. 2018, dan Al Hakim 2/196.

[5] Sunan Al Baihaqi, 7/322.

[6] Irwaul Gholil no. 2040

[7] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Ibnu Taimiyah, cetakan pertama, 1409, 10-12.

[8] Lihat Fathul Bari, 9/346, Al Mughni, 10/323-324, Shahih Fiqh Sunnah, 3/224.

[9] Sebagian ulama ada yang menambahkan bahwa talak sunni adalah talak yang harus dihadiri oleh dua orang saksi.

[10] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, hal. 13-14.

Artikel yang Terkait

48 Komentar

  1. asalamualaikum. sahabat saya mau tanya,jika suami saya menjatuh kan talak pada tanggal 30 januari tapi pada tanggal 2 maret dia datang dan mensetubuh i saya,apa talak waktu itu sah?lalu jika suami saya mengatakan “saya pecat kamu” apa itu juga talak?dan jika saya sudah di talak berkali2 tapi setelah itu dia mensetubuhi saya apa talak itu juga masih sah?saya tunggu jawaban nya,

  2. asalammuallaikum . hai sahabat saya mau curhat . saya bingung , saya puya masalah saya mengucap kan talak kepada istri saya kerena dia meminta padahal saya sangat sayank pada nya, saya cuba sabar namun tak bisa , saya pun marah marah , dan tidak bisa berpikir lagi , apakah talak yang saya ucapkan itu sah ?

  3. Karena Keluarga istri terlalu ikut campur didalam rumah tangga A,
    sehingga suami mengatakan pada adik Ipar (adik laki2 istri) ” kalau
    begini keadaannya saya nyerah, mungkin lebih baik kamu ambil lagi aja
    kakakmu (istri), silahkan ambil lagi kakakmu”, sementara istri sedang
    hamil, apakah ini sudah ini sudah jatuh talak ustadz??? mohon
    penjelasannya…Jazakumullahu khairan

  4. Assalamu’alaikum Ustadz,

    Mohon penjelasannya atas kasus berikut:

    Ada pasangan suami-istri yang tinggal di kota A. Ketika
    suami harus dinas selama sebulan ke kota
    B, sang suami menitipkan istri yang hamil tua pada mertua di kota C karna tidak
    ada yang mengurus jika tetap berada di rumah, suami sebenarnya ingin si istri
    tinggal di rumah orang tua suami namun istri enggan karena disana juga tinggal abang
    iparnya. Singkat cerita si istri melahirkan, dan suami pun telah selesai dinas.
    Masalah muncul ketika suami hendak menjemput istri dan anaknya kembali ke
    rumah, namun si istri menolak dengan berbagai alasan diantaranya: suami telah
    menyakiti hati orang tuanya karena sangat berpegang teguh pada agamanya
    sehingga sering menyinggung hati orang tuanya ketika ada perbedaan pemahaman
    dan amalan, si istri ingin melanjutkan kuliah di kota C dengan pertimbangan
    dekat dengan ortu walaupun suami tidak
    mengijinkan karena khawatir akan ikhtilath dan jelas akan meninggalkan tanggung
    jawabnya kepada suami di kota A, istri merasa kurang terpenuhi nafkahnya secara
    biologis (kurang bisa memuaskan istri) dan secara materi ; walaupun utk
    permasalahan biologis si suami telah meminta maaf sambil terus berusaha berobat
    namun belum memperoleh kesembuhan dan secara materi telah berusaha
    sebaik-baiknya dalam menafkahi si istri (sudah membangunkan rumah, memberi
    pakaian dan makanan yang layak dan cukup); Si istri tetap tidak mau dijemput
    pulang oleh suami walaupun suami telah berusaha menjelaskannya, bahkan si istri
    meminta cerai.

    Suami pun pulang dan berusaha bersabar, mendiamkan istri
    selama 3 bulan dengan tujuan agar mau introspeksi diri namun tetap mengirim
    nafkah secukupnya dengan tujuan mendidik si istri.

    Setelah itu suami menjemput kembali, si istri tetap tidak
    mau dan tetap meminta cerai. Akhirnya si suami menceraikan istrinya karna si
    istri sudah tidak mau lagi melanjutkan rumah tangga. Namun kemudian si suami
    ragu apakah cerai yg jatuh ini merupakan talak atau khulu’ karena:

    1. Berawal dari keinginan istri

    2. Secara biologis suami memang belum mampu memuaskan istri,
    namun dia telah meminta maaf (keridhoan) istri dan berusaha untuk terus berobat

    3. secara materi dia telah berusaha menafkahi istri dengan
    baik.

    4. suami tidak meminta syarat tebusan mahar ketika
    menceraikan.

    5. pada dasarnya niat suami memang mentalak istri, bukan
    khulu’, sebagai bentuk pengajaran kepada si istri, dan masih ingin memberi
    kesempatan si istri untuk mau rujuk selama masa iddahnya karena suami masih
    mencintainya.

    Tolong dijelaskan status cerai yang telah jatuh ini ustadz. Apakah
    Khulu’ atau talak? Dengan pertimbangan kondisi dan alasan suami di atas.

    Jazakumullahu khairan ustadz, afwan jika terlalu panjang..

  5. Ustad, bagaimana hukumnya ketika istri minta cerai, dan kita timpal dengan kata2 persetujuan. Misal “ya sudah kita pisah saja kalau itu memang mau kamu”. Sebelumnya saya sudah jatuhkan talak 2 kali, makanya kehati2an sgt saya jaga. setelah itu kita saya coba menjauh pergi dari rumah, coba diskusi di sms mengenai masalah tp akhirnya semakin memanas. Akhirnya saya berniat dalam hati untuk ceraikan istri saya. Bagaimana keabsahan pernikahan kami? Terima kasih Ustad.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button