My Family

Hadir Lagi Buah Hati Tercinta, Adik Rumaysho

Hari Jum’at, 2 Juli 2010 (bertepatan dengan 19 Rajab 1431 H), pada pukul 16.00 kami mengantarkan istri tercinta pada seorang bidan di daerah Jetis, Saptosari, Gunung Kidul – DIY (sekitar 6 km dari kediaman mertua). Istri ingin memeriksa kondisi kehamilan yang ini dilakukan rutin setiap pekannya (ketika menjelang waktu persalinan). Dan tanggal 2 Juli ini sudah telat beberapa hari dari tanggal HPL yang diperkirakan. Sejak malam pun istri sudah dalam keadaan mulas dan susah tidur. Mulesnya lebih rutin lagi pada Jum’at pagi hingga sore hari.

Ketika telah sampai di kediaman si bidan, lalu diperiksa beberapa saat sambil istri mengutarakan keluhannya yang sudah sering mulas-mulas. Lantas bidan mengatakan sesudah memeriksa, “Sudah “buka empat”.” Alhamdulillah, begitu girangnya ketika kami mendengarnya. Bergegas kami pulang untuk mengambil peralatan yang diperlukan sedangkan kami meninggalkan istri di kediaman si bidan karena sudah tidak dibolehkan untuk pulang lagi. Begitu gembira hati ini dan kami pun menyampaikan pada mertua di rumah. Sungguh kami sangat bersyukur dan kami selalu mengingat perkataan beberapa sahabat[1],

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.” Maksud perkataan ini adalah di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat.

Pukul 18.30, selepas shalat maghrib dan makan malam, kami masih menunggu istri di luar ruangan. Sementara istri pun sudah ditemani di ruang bersalin bersama ibu-ibu tetangga dekat rumah. Saat itu, kami sambil ngobrol bisnis dengan tetangga dekat yang rela menemani kami. Istri masih terus merasa mulas. Allahumma yassir wa a’in.

Pada pukul 19.15 kami mengumandangkan adzan Isya’ di masjid Nurul Huda dekat kediaman si bidan. Ketika shalat selesai, kami pun beranjak ke ruang bersalin. “Sudah buka berapa?”, kami tanyakan pada seorang ibu yang merupakan tetangga dekat yang baru saja keluar dari kamar bersalin. Ia pun katakan, “Tinggal buka satu lagi”. Beranjak ke kamar bersalin, kami hanya bisa mendengar dari luar karena bidan pun sudah menutup pintu, sebab ketika itu tinggal satu pembukaan terakhir. Lalu terdengarlah suara ketuban pecah. Selang beberapa menit, terdengarlah isangan tangis seorang bayi tepat pada pukul 19.32. “Bayinya laki-laki, selamat”, teriak perawat dari ruang bersalin. Alhamdulillah, puji syukur pada Allah. Kami pun tersenyum tanda gembira.

Anak kami kedua pun lahir. Bayi laki-laki yang sungguh imut, hasil campuran darah Jawa dan Ambon. Hati ini begitu senang dan gembira. Kami menyempatkan melihat istri di ruang bersalin. Alhamdulillah istri dan bayi kedua-duanya dalam keadaan selamat. Ketika ditimbang bayi kami memiliki berat 3,3 kg dengan panjang 48 cm. Puji syukur hanya milik Allah. Setelah itu kami mentahnik si buah hati tercinta dengan kurma, sekaligus mendoakan kebaikan padanya, juga tak lupa untuk menciumnya. Yang aneh pada diri kami, kami tidak mengumandangkan adzan atau iqomah pada telinganya. Dan inilah pendapat yang kami pegang dalam masalah ini walaupun itu menyelisihi pendapat mayoritas ulama fiqh. Karena memang dalil yang membicarakan masalah adzan di telinga bayi adalah dalil-dalil yang dho’if yang tidak bisa terangkat sampai derajat hasan. Kami pun sependapat dengan Imam Malik dalam masalah ini.

Setelah itu, kami pun segera menyampaikan berita gembira ini kepada orang tua, kerabat dan sahabat-sahabat terdekat kami, serta lewat jejaring sosial Twitter (lewat layanan BB).

Anak ini kami beri nama Ruwaifi’ Tuasikal.

Ruwaifi’ secara bahasa artinya mulia, atau tinggi. Ruwaifi’ adl nama seorang sahabat sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggilnya:

يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ

Wahai Ruwaifi’! bisa jadi kamu akan memiliki umur yang panjang sepeninggalku, maka kabarkanlah kepada orang banyak, bahwa siapa yang mengikat jenggotnya atau mengikatkan kalung pada kudanya, atau beristinja dengan kotoran binatang atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari orang tersebut” (HR. Abu Daud no. 36, Shahih)

Perlu diketahui bahwa Tuasikal adalah nama marga kami dari Ambon yang harus dibawa turun temurun berdasarkan garis keturunan laki-laki. Jadi nama putera kami ini aslinya cuma satu kata. Alhamdulillah kami pun bisa mengikuti jejak para ulama yang biasa menggunakan nama yang ringkas, yang tidak menimbulkan kerancuan kalau itu dua orang atau lebih. Pembahasan tentang tuntunan dalam pemberian nama sudah kami bahas sebelumnya di rumaysho.com pada serial “Hadiah di Hari Lahirdi sini.

Semoga Allah memberkahi Rumaysho dan adiknya tersayang, Ruwaifi’.

Bagaimanakah do’a ucapan selamat kepada keluarga yang baru saja mendapatkan si buah hati?

An Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar memberikan pelajaran menarik sebagai berikut.

(باب استحباب التهنئة وجواب المهنأ) – يستحب تهنئة المولود له ، قال أصحابنا : ويستحب أن يهنأ بما جاء عن الحسين رضي الله عنه أنه علم إنسانا التهنئة فقال : قل : بارك الله لك في الموهوب لك ، وشكرت الواهب ، وبلغ أشده ، ورزقت بره. ويستحب أن يرد على المهنئ فيقول : بارك الله لك ، وبارك عليك ، وجزاك الله خيرا ، ورزقك الله مثله ، أو أجزل الله ثوابك ، ونحو هذا.

Bab dianjurkannya ucapan selamat dan jawaban dari ucapan selamat.

Dianjurkan ucapan selamat bagi orang tua yang baru saja mendapatkan buah hati, yaitu bacaan sebagaimana diajarkan oleh para ulama Syafi’iyah: Dianjurkan ucapan selamat kedapa orang tua yang mendapatkan buah hati, sebagaimana dikatakan bahwa Al Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengajarkan pada seseorang ucapakan selamat “Barokallahu laka fil mawhuubi laka wa syakarta al waahib, wa balagho asyuddahu, wa ruziqta birrohu” (Semoga Allah memberkahimu anak yang diberikan kepadamu. Semoga engkau pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dan dia dapat mencapai dewasa, serta engkau dikaruniai kebaikannya).

Lalu orang yang diberi ucapan selamat hendaklah menjawab, “Barokallahu laka wa baroka ‘alaika wa jazakallahu khoiron wa rozaqokallahu mitslahu aw ajzalallahu tsawabak” (Semoga Allah juga memberkahimu dan melimpahkan kebahagiaan untukmu. Semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baik balasan, mengaruniakan kepadamu sepertinya dan melipatgandakan pahalamu)

Dalam Al Futuhat Ar Robbaniyah ‘alal Adzkar An Nawawiyah, Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud An Nawawi di atas. Beliau berkata,

“An Nawawi tidak menyebutkan dari manakah riwayat tersebut dikeluarkan. Ulama lainnya menyebutkan bahwa yang mengatakan seperti itu adalah Al Hasan. As Suyuthi dalam “Wushul Al Amani bi Ushulit Tahani” mengatakan bahwa riwayat tersebut dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir dari Kultsum Ibnu Jausyan, ia berkata, “Seseorang pernah mendatangi Al Hasan dan orang tersebut baru saja dilahirkan seorang anak. … Lalu orang tadi berkata, “Wahai Abu Sa’id (ia menyeru Al Hasan,-pen), apa yang akan engkau ucapkan?” Al Hasan pun mengatakan,

بورِك لك في الموهوب، وَشَكَرتَ الواهب، ورزققت برَّه، وبلغ أشُدَّه

Buurika laka fil mauhubi, wa syakarta al waahib, wa ruziqta birrahu wa balagho asyuddahu” (Semoga anak yang diberikan kepadamu diberkahi. Semoga engkau pun bersyukur kepada Sang Pemberi, semoga engkau dikaruniai kebaikannya, dan dia dapat mencapai dewasa).

Ath Thobroni mengeluarkan dalam Ad Du’a’ dari jalur Al Yasri bin Yahya, ia berkata bahwa ketika seseorang dikarunai seorang anak, Al Hasan Al Bashri mendoakannya dengan do’a,

جَعَلَهُ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Ja’alallahu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin” (Semoga Allah memberinya keberkahan untukmu dan untuk ummat Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam).

Jika kita perhatikan riwayat pertama dan riwayat kedua yang secara tegas menyebutnya sebagai perkataan Al Hasan Al Bashri, maka kita bisa pastikan bahwa yang dimaksud dari riwayat di atas dari Al Hasan Al Bashri (bukan dari Al Hasan bin ‘Ali) karena nama kunyah dari Al Hasan Al Bashri adalah Abu Sa’id sedangkan nama kunyah Al Hasan bin ‘Ali adalah Abu ‘Abdillah. Yang menegaskan bahwa yang dimaksud adalah Al Hasan Al Bashri yaitu Al Awza’i. Akan tetapi dalam kitab At Tuhfah milik Ibnu Hajar, tetap dikatakan bahwa yang dimaksudkan adalah Al Hasan bin ‘Ali.” Sekian nukilan dari Al Futuhat Ar Robbaniyah.[2]

Dari penjelasan Ibnu ‘Allan di atas dari riwayat-riwayat yang ada, do’a tersebut berkisar antara do’a dari Al Husain bin ‘Ali, dari Al Hasan bin ‘Ali atau dari Al Hasan Al Bashri. Namun yang Nampak lebih kuat dari riwayat-riwayat yang ada adalah dari Al Hasan Al Bashri. Yang sungguh sangat tidak tepat jika do’a tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh kita mengatakan demikian. Minimal do’a ini berasal dari sahabat atau yang lebih tepatnya adalah dari tabi’in.

Satu catatan lagi yang perlu diperhatikan bahwa do’a di atas yang memakai lafazh “al waahib” sebagaimana disebutkan dalam Al Adzkar, kata “al waahib” yang dimaksudkan adalah Allah (Yang Maha Pemberi), namun kata sama sekali bukanlah asmaul husna.[3]

Sehingga lebih tepat jika do’a yang dipakai adalah dari riwayat yang kedua,

جَعَلَهُ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

Ja’alallahu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin” (Semoga Allah memberinya keberkahan untukmu dan untuk ummat Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam). Do’a ini adalah do’a dari Al Hasan Al Bashri dan tidak boleh diyakini dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika kita lihat dari penjelasan di atas, kita dapat ketahui bahwa ada kelonggaran dalam do’a ucapan selamat, boleh dengan do’a apa saja asal maknanya benar dan tidak mengapa pula dengan bahasa Indonesia.

 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Saptosari, Gunung Kidul, Jum’at, 19 Rojab 1431 H, 02 Juli 2010

Artikel www.rumaysho.com

Muhammad Abduh Tuasikal

 


[1] Di antara yang membawakan perkataan ini adalah Umar bin Khottob. Lihat Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 1/15, Mawqi’ Ya’sub dan Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 25/477, Darul Fikr

[2] Al Futuhat Ar Robbaniyah ‘alal Adzkar An Nawawiyah, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/74, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1424 H.

[3] Lihat penjelasan Syaikh ‘Ali Ridho di situs http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=377 , tertangal Oktober 2003.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button