Shalat

Imam Shalat Seorang Perokok Berat, Sahkah?

Bolehkah yang menjadi imam shalat adalah seorang perokok? Apakah sah menjadi imam ketika itu?

Perlu dipahami mengenai istilah fasik. Fasik adalah orang yang melakukan dosa besar walau tidak terus menerus dan belum bertaubat, atau orang yang terus menerus melakukan dosa kecil. Inilah namanya fasik. Diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Fathu dzi Al-Jalali wa Al-Ikram, 4: 472.

Apakah orang fasik seperti itu boleh jadi imam?

Sebagian ulama berpandangan bahwa orang fasik tidaklah boleh menjadi imam. Di antara alasannya hadits berikut ini. Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَلاَ لاَ تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلاً وَلاَ يَؤُمَّنَّ أَعْرَابِىٌّ مُهَاجِرًا وَلاَ يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا

Janganlah wanita mengimami pria, jangan pula seorang arab gunung mengimami kaum mujhajirin, jangan pula orang fajir (yang suka maksiat) mengimami orang beriman.” (HR. Ibnu Majah no. 1081. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan). Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram juga menyatakan sanad hadits ini lemah.

Berdasarkan hadits di atas, para ulama ada yang berpendapat bahwa orang fasik (yang gemar maksiat) tidaklah sah jadi imam. Ulama yang menyatakan seperti itu sampai memasukkan orang yang fasik seperti para perokok, orang yang mencukur jenggot, orang yang suka mengghibah dan melakukan namimah (menukil berita dari satu pihak kepada pihak lain dengan tujuan untuk merusak hubungan). Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad.

Namun jumhur atau mayoritas ulama menganggap tetap sahnya orang fasik menjadi imam. Alasannya berikut ini:

Pertama: Ada suatu kaedah yang disebutkan oleh Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumthi’. Kaedahnya adalah,

كُلُّ مَنْ صَحَّتْ صَلاَتُهُ صَحَّتْ إِمَامَتُهُ

“Setiap orang yang sah shalatnya (ketika sendirian), maka sah shalatnya ketika menjadi imam” (Syarh Al-Mumti’, 4: 217, 227, 236, dan 238).

Maksud kaedah adalah setiap orang yang sah shalatnya ketika sendirian, maka sah shalatnya ketika menjadi imam dan diikuti oleh yang lain, begitu pula ketika makmum tidak mengetahui kondisi imam karena tidak ada dalil yang membedakan antara shalat sendiri dan ketika menjadi imam. Dan menjadi imam shalat merupakan masalah turunan dari masalah shalat ketika sendirian. Sehingga jika ada yang membedakan antara kedua keadaan ini, maka ia tidak tepat dalam menetapkan perbedaan.

Sebaliknya, orang yang tidak sah shalat sendirian, maka tidak sah pula ia menjadi imam. Misalnya dalam kasus ini adalah shalatnya orang kafir, murtad, majnun (orang gila) dan semacamnya.

Kedua: Kalau aturan orang yang fasik tidak boleh jadi imam, tentu tidak ada imam yang sah. Karena sulit kita lihat di zaman yang selamat dari dosa ghibah. Padahal ghibah (menggunjing) termasuk dosa besar. Siapa juga yang selamat dari dosa namimah, menipu dan mengelabui orang lain? Yang selamat sangat sedikit sekali.

Ketiga: Para sahabat radhiyallahu ‘anhum masih tetap shalat di belakang imam yang zalim. Mereka ada yang shalat di belakang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, padahal imam tersebut adalah pelaku dosa besar tanpa diragukan lagi. Ia termasuk orang fasik.

Keempat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ada pemimpin yang biasa mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya. Ketika itu, tetap kita diperintahkan shalat tepat waktu, lalu bermakmum lagi pada imam tersebut dan dinilai sebagai amalan sunnah. Ini tanda bahwa mengikuti imam yang fasik seperti itu tetap dibolehkan.

Empat alasan di atas disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Fathu dzi Al-Jalali wa Al-Ikram, 4: 474-475.

 

Baca juga:

Bagaimana hukum shalat di belakang seorang perokok? Jawabannya, boleh dan tetap sah. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

Referensi:

  • Al-Qawa’id wa Adh-Dhawabith Al-Fiqhiyyah ‘inda Syaikh Ibn ‘Utsaimin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Turkiy bin ‘Abdullah bin Shalih Al-Mayman. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
  • Fathu dzi Al-Jalali wa Al-Ikram Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama tahun 1429 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.
  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Selesai disusun 14:13 PM 23 Rajab 1436 H di Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

18 Komentar

  1. Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh

    Ingin mengetahui hal semacam itu, mesti pelajari ilmu ushul fikih, ilmu ushul hadits atau mustholah hadits dan ilmu kaedah fikih.
    Semoga Allah mudahkan antum untuk mempelajarinya.

    1. Barakallaahu feek. Ada referensi untuk struktur dan urutan bahasan yang harus saya tempuh?
      InshaaAllah ini saya minimal akan menggunakan untuk keperluan pribadi (atau dibagi dengan keluarga) saat sudah menguasainya. Tapi inshaaAllah, saya mohon doanya, akan ada keperluan lebih tinggi. Saya adalah dosen fakultas hukum di UGM, saya berfikir bahwa ada faedah besar dari ilmu ushul fiqih jika bisa diterapkan pada pendidikan ilmu hukum. Karena kami di fakultas hukum hanya mempelajari kaidah-kaidah yang sangat umum, tapi tidak ada pendidikan yang begitu sistematisnya untuk menafsirkan atau menemukan hukum dari step satu sampai step akhir (ini proyek jangka panjang sekali).
      Mohon nasehatnya Ustadz (termasuk apakah yang ingin saya lakukan bersifat bathil, sebab ini kan ‘hukum selain yang diturunkan oleh Allah’. InshaaAllah niat saya adalah menggunakan faedah faedah hukum Islam yang indah ini untuk pelan-pelan menimbulkan kecintaan pada agama kita).
      Jazakallaahu khayran katheera.

    2. Dasar yg mesti dipelajari dahulu:
      1- bahasa Arab, ilmu nahwu
      2- fikih dasar spt fikih dlm madzhab syafi’i, contoh Matan Abi Syuja 3- ushul fikih, contoh: al-ushul min ilmi al-ushul karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. 4- mustholah hadits, contoh: al-baiquniyah
      5- kaedah fikih, contoh: manzhumah qawaid fikih karya Syaikh As-Sa’di.
      Semuanya baiknya dipelajari dari seorang guru yang pakar.

      Barakallahu fiikum. Semoga Allah mudahkan.

    3. Jazakallaahu khayr Ustadz, mohon doanya ya. Siapa tau kelak saya akan ketemu dengan Ustadz untuk mengajak berdiskusi, mumpung sama-sama di Jogja posisinya.. hehe

    4. MashaaAllaah, dari Gunung Kidul dalam waktu seminggu muter-muternya jauh-jauh sekali Ustadz.. Saya sekali ke Gunung Kidul saja naik motor sudah agak trauma.. Semoga Allah membalas Ustadz dengan rahmat yang melimpah, dan semoga ilmu yang disebar ini menjadi amal jariyah..

    1. webnya kok bisa setenar ini bagaimana caranya? sy pengen belajar. Di search google juga banyak post teratas dr web ini. bgaimana sy mmbuat spt ini ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button